Almuhtada.org – Ada saat dalam hidup ketika diam menjadi jawaban terindah. Bukan karena kita lemah, bukan pula karena kita takut, tetapi karena di dalam diam tersembunyi kekuatan yang luar biasa.
Diam merupakan mahkota hikmah, yang menjaga hati kita dari keburukan, dan menjaga lisan dari ucapan sia-sia. Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengajarkan kepada kita, bahwa dalam menghadapi tuduhan atau luka, tidak semua harus dibalas dengan keburukan, tidak semua rasa harus diungkapkan.
Sebab kekuatan sejati ada pada ketenangan hati, pada pengendalian diri, dan pada keyakinan bahwa Allah adalah sebaik-baiknya penolong.
۞ قَالُوْٓا اِنْ يَّسْرِقْ فَقَدْ سَرَقَ اَخٌ لَّهٗ مِنْ قَبْلُۚ فَاَسَرَّهَا يُوْسُفُ فِيْ نَفْسِهٖ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْۚ قَالَ اَنْتُمْ شَرٌّ مَّكَانًا ۚوَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا تَصِفُوْنَ
Artinya: “Mereka (saudara-saudara Yusuf) berkata, “Jika dia (Bunyamin) mencuri, sungguh sebelum ini saudaranya pun (Yusuf) pernah mencuri.” Maka Yusuf menyembunyikan (kekesalan) dalam hatinya dan tidak menampakkannya kepada mereka. Dia berkata (dalam hatinya), “Kamu lebih buruk kedudukan (yakni sifat-sifat kamu). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan.”
Nabi Yusuf tidak memilih untuk membalas. Ia memilih diam, bukan karena kelemahan, tetapi karena keagungan jiwa yang penuh kesabaran dan keikhlasan.
Diamnya Nabi Yusuf ialah kekuatan, yang lahir dari keyakinan bahwa waktu dan kebenaran adalah milik Allah. “Ketenangan jiwa ada pada orang yang mampu diam, meski hatinya bergejolak.
Sebab diam bukan sekedar pilihan, melainkan cerminan kedewasaan. Dalam diam, terkandung keyakinan bahwa keadilan Allah tak pernah tidur.” – Habib Ali Alkaff
Ada masa dalam hidup di mana diam menjadi jawaban paling bijak. Diam bukan berarti kelemahan atau ketakutan, melainkan sebuah bentuk kekuatan yang tersembunyi. Di dalam diamnya, terdapat hikmah yang menjaga hati dari kezaliman dan lisan dari ucapan sia-sia.
Nabi Yusuf ‘alaihis salam memberikan teladan luar biasa tentang makna diam. Saat menghadapi tuduhan yang menyakiti, ia tidak membalas atau menjawab. Nabi Yusuf memilih menyimpan perasaan itu dalam hatinya.
Keputusan untuk diam bukanlah tanda kelemahan, namun wujud keagungan jiwa yang penuh kesabaran. Diamnya Nabi Yusuf menunjukkan keyakinan kuat bahwa Allah adalah penolong terbaik. Ia tahu, kebenaran dan keadilan hanya milik Allah, dan waktu akan membuktikan segalanya.
Seperti yang disampaikan Habib Ali Alkaff, “Ketenangan jiwa ada pada orang yang mampu diam, meski hatinya bergejolak.
Sebab diam bukan sekedar pilihan, melainkan cerminan kedewasaan. Dalam diam, terkandung kepercayaan bahwa keadilan Allah tak pernah tidur.”
Oleh karena itu, dalam menghadapi segala ujian atau cobaan, terkadang yang terbaik adalah berdiam diri. Biarkan waktu dan Allah yang berbicara, karena pada akhirnya, keadilan dan kebenaran akan terungkap. []Puan Sukowati