Almuhtada.org – Buya Hamka, lahir dengan nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah, pada tanggal 17 Februari 1908, di Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam, Sumatra Barat, Indonesia.
Ia merupakan sosok terkemuka dalam bidang agama, sastra, dan pendidikan. Ia juga dikenal dengan sebutan Datuk Indomo, dan pengaruhnya melampaui batas Indonesia, mendapatkan pengakuan di seluruh dunia Muslim.
Buya Hamka adalah anak sulung dari empat bersaudara, lahir dari pasangan Haji Abdul Karim Amrullah dan Safiyah. Ayahnya, yang dikenal sebagai Haji Rasul, menjadi pelopor dalam Gerakan Ishlah (tajdid) di kalangan masyarakat Minangkabau, berupaya untuk memurnikan ajaran Islam.
Sebagai anak kecil, Buya Hamka sering mendengarkan pantun dan cerita tradisional Minangkabau dari neneknya saat ayahnya berpergian dalam perjalanan dakwah.
Pendidikan awalnya dimulai di sekolah desa, ditambah dengan kelas sore di sebuah sekolah Islam yang didirikan oleh Zainuddin Labay El-Yunusy pada tahun 1916.
Menunjukkan bakat yang luar biasa dalam bahasa, Buya Hamka dengan cepat menguasai bahasa Arab. Pada usia 10 tahun, ayahnya mendaftarkannya di Sumatra Thawalib, sebuah institusi di mana ia bisa mendalami studi agama, bahasa Arab, dan teks-teks klasik, termasuk nahwu dan sharaf.
Selain pendidikan formal, Buya Hamka juga mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid setempat yang diajarkan oleh ulama terkenal seperti Syekh Ibrahim Musa dan Syekh Ahmad Rasyid.
Pendidikan dan masa kecilnya sangat dipengaruhi oleh tradisi Minangkabau, namun tidak tanpa konflik. Benturan antara adat tradisional dan ajaran Islam menciptakan ketegangan batin bagi Buya Hamka. Sejak muda, ia dikenal sebagai seorang pelancong, bahkan mendapat julukan “Si Bujang Jauh” dari ayahnya.
Pada usia 16 tahun, pada tahun 1924, Buya Hamka memulai perjalanan ke Yogyakarta, di mana ia mulai mempelajari gerakan Islam modern di bawah bimbingan tokoh-tokoh terkenal seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto, dan H. Fachruddin.
Di Yogyakarta, ia mulai memahami perbedaan antara gerakan politik Islam seperti Sarekat Islam Hindia Timur dan gerakan sosial Muhammadiyah. Setelah kembali ke Minangkabau, Buya Hamka membawa semangat baru tentang Islam yang dinamis.
Ia mulai berbicara di depan publik, menggunakan pengetahuan yang dimilikinya untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Ia berlangganan berbagai publikasi untuk lebih memperluas pemahamannya tentang pembaruan Islam dan gerakan Islam di seluruh dunia.
Pada tahun 1927, ia berangkat menunaikan ibadah haji, sekaligus bekerja sebagai koresponden untuk surat kabar Pelita Andalas di Medan. Setelah pulang dari Mekah, ia tidak langsung kembali ke Minangkabau, melainkan tinggal beberapa waktu di Medan, di mana ia menulis berbagai artikel.
Buya Hamka adalah seorang otodidak sejati. Kerinduannya akan ilmu mencakup berbagai bidang, termasuk filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik, baik dalam konteks Islam maupun dunia Barat.
Keahliannya dalam bahasa Arab memungkinkannya untuk memeriksa karya-karya ulama dan cendekiawan terkemuka Timur Tengah, seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Husayn Haykal.
Melalui bahasa Arab, ia menjelajahi tulisan-tulisan cendekiawan Prancis, Inggris, dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.
Ketokohan Buya Hamka dan luasnya pengetahuannya tidak terbatas pada Indonesia. Pengaruhnya meluas ke seluruh dunia Muslim, terutama di Timur Tengah dan Malaysia.
Tun Abdul Razak, Perdana Menteri Malaysia, pernah mengatakan bahwa Buya Hamka bukan hanya harta nasional bagi Indonesia, tetapi juga menjadi sumber kebanggaan bagi Asia Tenggara secara keseluruhan.
Pada tanggal 24 Juli 1981, Buya Hamka meninggal dunia, meninggalkan warisan yang terus berlanjut hingga saat ini, terus membentuk peran Islam di Indonesia dan di luar negeri.
Ia dipandang sebagai seorang cendekiawan dan penulis terkemuka tidak hanya di negara kelahirannya, tetapi juga sebagai figur yang dihormati di seluruh kepulauan Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Karya hidupnya menjadi bukti kekuatan ilmu pengetahuan, pencerahan, dan evolusi dinamis Islam. [] Siti Nurjannah
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah