Almuhtada.org – Orang-orang Kafir Quraisy telah berusaha beberapa kali mencoba untuk menghentikan aktivitas dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah.
Akan tetapi usaha tersebut hasilnya nihil, hingga pada suatu waktu orang-orang Kafir Quraisy menganggap bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan dakwah Rasululullah secara mutlak adalah dengan membunuhnya.
Namun, orang-orang Kafir Quraisy merasa bingung karena Paman Rasulullah yang bernama Abu Thalib melindungi beliau sehingga mereka perlu menghadapi Abu Thalib terlebih dahulu yang mana sosok Abu Thalib sendiri kala itu cukup dihormati di kalangan orang-orang Quraisy saat itu.
Pembesar Quraisy mendatangi Abu Thalib dengan mengatakan bahwa mereka mengakui posisinya yang dihormati di tengah-tengah mereka. Mereka menyampaikan keprihatinan mereka terkait perilaku keponakan Abu Thalib, Nabi Muhammad.
Meskipun sudah beberapa kali diminta untuk menghentikan Nabi, Abu Thalib tidak menurutinya. Para pembesar Quraisy menyampaikan ketidakpuasan mereka dan memperingatkan bahwa jika Nabi Muhammad terus merusak kepentingan mereka, menghina kebiasaan leluhur mereka, dan mencela tuhan-tuhan mereka, maka konflik ini dapat berakhir dengan tumbangnya salah satu pihak.
Abu Thalib dihadapkan pada dilema yang sulit, di antara kepatuhan kepada keluarganya dan menjaga kedamaian dengan komunitas Quraisy. Ancaman yang disampaikan oleh para pemimpin Quraisy mengejutkan Abu Thalib dan menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya.
Dalam menghadapi situasi yang semakin tegang, Abu Thalib memutuskan untuk mengambil langkah-langkah yang bijak. Ia mengirimkan seorang utusan untuk menemui Rasulullah, menyampaikan berita bahwa kaum Quraisy telah mendatanginya dengan keluhan dan permintaan agar tindakan dakwah Rasulullah dihentikan.
Dalam pesan tersebut, Rasulullah diingatkan untuk mempertimbangkan baik-baik tindakannya demi kebaikan diri sendiri dan Abu Thalib. Paman Rasulullah tersebut memohon agar Nabi Muhammad tidak memberikan beban yang terlalu berat dan melebihi kemampuannya.
Maka, di tengah tekanan dan pertimbangan, Abu Thalib mencoba menjaga keseimbangan antara keluarganya dan komunitas Quraisy, menjalankan peran sulit sebagai penengah dalam konflik yang berkembang.
Rasulullah pada saat itu dalam momen khawatir bahwa pamannya yaitu Abu Thalib akan meninggalkannya dan tidak lagi memberikan dukungan. Akan tetapi beliau dengan tegas mengungkapkan tekadnya kepada Abu Thalib bahwa, walaupun mereka meletakkan matahari di tangan kanannya dan bulan di tangan kirinya, sebagai upaya memaksa Rasulullah untuk meninggalkan agama Islam, beliau tetap takkan berpaling.
Dengan kebulatan tekad, Rasulullah menyatakan bahwa agama ini akan dipertahankan hingga akhir, tidak peduli seberapa besar tekanan yang mungkin dihadapi. Suatu pernyataan keyakinan dan kesetiaan yang kuat terhadap ajaran-ajaran Islam, bahkan dalam situasi paling sulit.
Dalam momen yang penuh emosi, mata Abu Thalib mengucurkan air mata setelah mendengar pernyataan tegar dari Rasulullah. Tanpa ragu, Abu Thalib bangkit dari tempat duduknya, menunjukkan bahwa hatinya terharu oleh keteguhan keponakannya.
Sebelum Rasulullah beranjak pergi, Abu Thalib memanggilnya, memberikan dukungan tanpa syarat, dan berkata dengan penuh ketulusan, “Pergilah, wahai anak saudaraku, dan sampaikanlah apa pun yang engkau sukai. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkanmu kepada siapa pun.” Dengan dukungan dan perlindungan tulus dari pamannya, Rasulullah melangkah maju dalam perjalanan dakwahnya dengan keyakinan yang lebih kuat. [] Sholihul Abidin
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah