Islam: Perihal Mencintai bukan Menghakimi

Oleh: Fafi Masiroh

Salah satu anugerah yang harus selalu kita syukuri hingga saat ini yaitu karena Allah telah menjadikan kita sebagai umat muslim, yakni umat yang memeluk agama islam. Mungkin sejak kecil sebagian atau bahkan hampir dari kita memeluk agama islam karena alasan “mengikuti jalan orang tua”, tetapi sejatinya ketika kita sudah lebih besar kelak kita akan menyadari bahwa menjadi seorang muslim adalah sebuah jalan yang indah. Akan tetapi, masih menjadi sebuah keresahan ketika orang di luar yang cukup banyak menganggap agama islam sebagai agama yang keras, bahkan beberapa menganggap islam mengajarkan perbuatan yang bersifat radikal. Menyadur dari nu.online bahwa islam sebenarnya secara tidak langsung dijebak sebagai agama teroris, misalnya dalam kutipan Adian Husaini (2004) yang menganalisis pendapat Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Who Are We?:The Challenges to America’s National Identity” pada tahun 2004. Huntington menuliskan Islam sebagai musuh utama Barat pasca Perang Dingin dengan bahasa yang lugas. Disebutkan juga dalam buku Muslim Society karya Ernest Gelner (1981) bahwa komunitas Muslim dipahami sebagai sumber pemikiran dan gerakan radikal, sedangkan anggapan tersebut sebenarnya cara  bagi komunitas Muslim  tertentu dalam mengembangkan nilai-nilai keyakinan akibat desakan penguasa, kolonialisme maupun westernisasi. Hal tersebut yang mendorong persepsi terhadap islam mengerucut terlihat buruk dan kemudian menimbulkan kerugian besar bagi keseluruhan umat islam.

Keadaan yang sedemikian seharusnya tidak boleh dibiarkan untuk terus berkelajutan. Agama islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW pertama kali merupakan rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran islam di tengah masyarakat saat masa Rasulullah SAW mendatangkan beribu kebaikan. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita untuk melanjutkan langkah Rasulullah SAW. Menyampaikan islam dengan bahasa yang santun, sikap yang sopan dan selalu mendatangkan kegembiraan. Agama islam bukan hanya sekedar perihal hukum-hukum agama terkait halal atau haram, yang pada akhirnya menuju jalan yang terkesan menghakimi. Misalnya saja, masih bisa ditemui beberapa orang yang menganggap dirinya sebagai “ustadz” kemudian dengan sesukanya mengharamkan seseorang berbuat sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan syariah islam. Hingga kemudian dia menjudge seseorang ataupun kelompok berbuat bid’ah, kelak akan masuk neraka dan ancaman sebagainya yang menghadirkan islam sebagai agama yang keras dan menakutkan.

Agama islam sejatinya agama yang mendatangkan kegembiraan dan sama sekali tidak menyusahkan. Allah memperbolehkan bagi orang yang sedang kelaparan untuk memakan daging babi ketika sudah tidak ditemukan lagi makanan sebagai usaha mempertahankan hidup. Allah memberikan kemudahan bagi orang sakit untuk salat dengan duduk jika tidak mampu berdiri, bahkan Allah memperbolehkan tayamum ketika tidak ditemukan lagi air untuk berwudhu saat akan sholat. Agama islam sangat luas, tidak hanya mengenai halal-haram tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Allah menciptakan bumi tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi umat islam, tetapi mereka umat non-islam pun leluasa untuk tinggal dan menikmati hidupnya di bumi. Sungguh betapa besar kasih sayang Allah, sehingga alangkah baiknya kita sebagai hamba Allah untuk saling mencintai dan mengasihi, bukan menghakimi.

Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menyampaikan kebaikan islam dengan ma’ruf dan kegembiraan. Begitupun dalam melarang sesuatu yang bertentangan ajaran islam kepada lainnya dengan ma’ruf, tanpa ada paksaan, ancaman pun menghakimi.

Sumber:

Saifuddin,Ahmad. 2020. Islam, Radikalisme, dan Terorisme. https://www.nu.or.id/post/read/64719/islam-radikalisme-dan-terorisme diakses pada 11 Juli 2021.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Apakah Kamu Tidak Berfikir?

Oleh : FafiMasiroh

Akhir-akhir ini kehidupan semakin terasa tidak baik-baik saja. Belum selesai dalam diri kita untuk menerima sepenuhnya adanya pandemi, kemudian ditambah beberapa kehilangan yang menyelimuti. Kehilangan waktu berkumpul bersama dengan keluarga dan teman-teman, hingga beberapa ratusan lebih orang-orang kehilangan keberadaan manusia-manusia terkasihnya. Dari setumpuk peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, kita masih saja mudah lalai untuk sekedar mengambil nilai positif dari apa yang telah kita lalui.

Misalnya saja adanya pandemi yang masih berkelanjutan sampai saat ini, mengingatkan kita bahwa sikap saling peduli itu sangat penting. Bisa kita realisasikan dengan berbagai hal kecil, seperti mengingatkan memakai masker, menanyakan kabar atau paling kecil kita menahan diri untuk di rumah saja ketika tidak ada keperluan yang mendesak. Sedihnya, hal tersebut masih saja kita lalai untuk benar-benar memahami dan menindakinya.

Manusia memang mudah lalai terlebih jika selalu mengedapankan nafsu dalam setiap melangkah. Sehingga, bila saja kita selalu berangkat dari Al-Quran dalam mengambil setiap langkah, maka kelalaian tersebut tidak akan selalu berkelanjutan. Allah dalam firman-Nya berkali-kali mengingatkan kita untuk selalu berfikir“Afalaata’qilun, Afalaatadzakkaruun” terhadap apa yang terjadi di setiap kehidupan kita, supaya kita tidak merasa putus asa melainkan selalu percaya bahwa selalu ada kebaikan bahkan dalam keadaan yang sangat sempit.

أَفَمَنيَعْلَمُأَنَّمَآأُنزِلَإِلَيْكَمِنرَّبِّكَٱلْحَقُّكَمَنْهُوَأَعْمَىٰٓۚإِنَّمَايَتَذَكَّرُأُو۟لُوا۟ٱلْأَلْبَٰبِ

Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkanTuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,(Ar-Ra’d 13:19).

Sebagai makhluk Allah yang berakal, sudah sebaiknya kita untuk selalu berfikir, merenungi dan memahami setiap hal. Dalam sebuah kitab “Ta’limul Muata’alim” karya Syekh Az-Zarnuji menyebutkan bahwa bagi pelajar supaya ilmu mereka dapat tersimpan dengan baik, maka tidak hanya sekedar mengulang-ngulang pelajaran tetapi juga perlu untuk merenungi dan memahami pelajaran tersebut. Sehingga kita memang sangat perlu untuk berkali-berkali berfikir, merenungi dan intropeksi diri terhadap berbagai hal yang bahkan terlewat bagi kita tetapi sebenarnya memberikan kebaikan besar untuk diri kita.

Oleh karena itu, salah satu bentuk iman kita kepada Sang Ilahi Rabbi ialah sebaiknya kita selalu percaya atas setiap hal yang terjadi khususnya di luar kendali kita. Percaya bukan hanya sekedar meyakini kemudian berpangku tangan, tetapi meyakini juga merenungi untuk kemudian kita dapat lebih bijak dalam bersikap terhadap apa-apa yang terjadi. Sungguh dengan demikian akan terasa lebih indah juga menyadarkan kita akan setiap kuasa Allah. Maka, apakah kamu tidak berfikir?

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Dzulqo’dah: Bulan di Antara 2 Hari Raya

Oleh: Muhamad Mahfud Muzadi

Dzulqadah berasal dari bahasa Arab  ذُو القَعْدَة (dzul-qa’dah) ysng dalam kamus al-Ma’ānī, kata dzū artinya pemilik, sementara kata “qa’dah” adalah tasyrif dari kata “qa’ada”, salah satu artinya tempat yang diduduki. Sehingga Dzulqadah secara etimologi bemakna orang yang memiliki tempat duduk (orang itu banyak duduk di kursi). Kemudian kata ini berkembang ke beberapa bentuk dan pemaknaan, antara lain taqā’ud yang artinya pensiun, yang berarti berkurang pekerjaannya sehingga dia akan banyak duduk.Dalam Lisānul ‘Arab disebutkan, bahwa bulan ke-11 ini dinamai Dzulqadah, karena pada bulan itu orang Arab tidak bepergian, tidak mencari pakan ternak, dan tidak melakukan peperangan. Hal itu dilakukan guna menghormati dan mengagunggkan bulan ini sehingga seluruh jazirah Arab dipenuhi ketenangan. Dan ada lagi yang mengatakan bahwa mereka tidak bepergiaan itu karena untuk persiapan ibadah haji di bulan dzulhijjah.Dalam kalender Jawa bulan ke-11 itu dinamai Dulkangidah. Bulan ini dikenal pula dengan nama bulan Apit atau Hapit (Jawa Kuno). Menurut masyarakat Jawa, apit berarti terjepit. Hal ini karena bulan tersebut terletak di antara dua hari raya besar yaitu, Idul Fitri (Syawal) dan Idul Adha (Dzulhijah).

Keutamaan Bulan Dzulqa’dah adalah diagungkan karena dalam bulan tersebut Allah melarang manusia untuk berperang. Hal ini senada dengan makna secara harfiyah dari “Dzulqa’dah” yaitu “penguasa genjatan senjata.” Disebutkan dalam Zaadul Masiir karena mulianya bulan itu, sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan. Kemudian, Bulan Dzulqa’dah merupakan salah satu dari bulan-bulan haji (asyhrul hajj) yang dijelaskan Allah SWT. Dalam tafsir Ibnu Katsir dikemukakan bahwa asyhur ma’lumat merupakan bulan yang tidak sah ihram untuk menunaikan ibadah haji kecuali pada bulan-bulan ini. Dan disebutkan pula bahwa bulan-bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Ibnu Rajab menyatakan dalam kitabnya “Lathaaiful Ma’arif” bahwa Rasulullah SAW melaksanakan ibadah umrah sebanyak empat kali dalam bulan-bulan haji. Sedangkan Ibnul Qayyim  menjelaskan bahwasannya menunaikan umrah di bulan-bulan haji sama halnya dengan menunaikan haji di bulan-bulan haji.Bulan-bulan haji ini dikhususkan oleh Allah SWT dengan ibadah haji, dan Allah mengkhususkan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya. Sementara umrah merupakan haji kecil (hajjun ashghar). Maka, waktu yang paling utama untuk umrah adalah pada bulan-bulan haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan haji tersebut.

Selain itu, pada bulan ini pahala amalan dilipatgandakan. At-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa bulan Dzulqa’dah adalah bulan haram. Yaitu bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai bulan yang suci lagi diagungkan kehormatannya. Di mana di dalamnya amalan-amalan yang baik akan dilipatgandakan pahalanya sedangkan amalan-amalan yang buruk akan dilipatgandakan dosanya.

Terakhir, hal penting lain yang membuat  bulan Dzulqa’dah istimewa ialah bahwa masa tiga puluh malam yang dijanjikan oleh Allah kepada Nabi Musa untuk bertemu dengan-Nya terjadi pada bulan Dzulqa’dah, sedangkan sepuluh malam sisanya terjadi pada bulan Dzulhijjah.

Semoga di bulan ini kita tidak loyo untuk terus meningkatkan ibadah kita kepada Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya agar menjadi hamba yang tidak merugi.

Wallahu A’lam.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.

Dua Pilar Keislaman Bangsa Indonesia

Oleh: Fafi Masiroh

Indonesia memiliki penduduk yang banyak dengan berbagai keragaman, baik dari suku, budaya ataupun agama. Bangsa Indonesia sendiri mayoritas penduduknya beragama islam. Berdasarkan data World Population Review dilansir dari Industry.co.id, jumlah masyarakat muslim di Indonesia pada tahun 2020 yaitu mencapai 220 juta jiwa atau 87,2% dari total masyarakat Indonesia sebanyak 273,5 juta jiwa. Keberadaan masyarakat Indonesia yang identik dengan keberagaman pun terjadi di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia, yakni di dalamnya sendiri terdapat dua organisasi besar sebagai lembaga dakwah sekaligus yang menaungi masyarakat islam di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Kedua organisasi tersebut merupakan dua pilar keislaman Bangsa Indonesia yang berperan penting dalam keberadaan Indonesia, bahkan keduanya sama-sama berdiri sebelum Indonesia merdeka. Nahdlatul Ulama didirikan oleh KH Muhammad Hasyim Asy’ari sedangkan Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan,  yang keduanya merupakan sahabat karib dan sama-sama berguru dengan KH Sholeh Darat di Semarang.  Beberapa keadaan, akan tetapi sering dijumpai bahwa penduduk yang berada di bawah naungan masing-masing organisasi tersebut, menganggap bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan dua hal yang sangat berbeda. Misalnya beberapa tanggapan NU dan Muhammadiyah dalam menanggapi berbagai hal secara berbeda, seperti tata cara sholat dan masalah furu’iyah lainnya. Sehingga kerap kali keadaan tersebut mendorong beberapa pihak masyarakat islam Indonesia terkesan terpecah belah karena tampak fanatik terhadap perbedaan pemahaman tersebut.

Rasa toleransi yang tinggi sudah seharusnya selalu dipraktikkan oleh muslim dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dengan masyarakat non islam lainnya tetapi juga toleransi dengan sesama masyarakat islam juga justru harus lebih kuat. Sama sekali tidak untuk memaksakan kehendak terhadap masyarakat yang ada di bawah naungan masing-masing organisasi tersebut, namun jika dilihat terdapat sejumlah ulama, kiai dan tokoh masyarakat islam lainnya yang memiliki hubungan dinamis meskipun latar belakang mereka berbeda yaitu dari kalangan NU dam Muhammadiyah. Hal tersebut seharusnya mampu dijadikan contoh bagi masyarakat islam secara luas serta mampu mendorong  mereka untuk saling merangkul di antara perbedaan mereka.  Sehingga keberadaan islam di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia mendorong mereka untuk saling menghormati, menghargai dan peduli terlepas dari keberagaman mereka.

Habib Husein Ja’far Al Hadar salah satu pendakwah mengungkapkan, bahwa keberadaan NU dan Muhammadiyah di tengah-tengah Bangsa Indonesia bagaikan kedua sayap yang ada pada burung garuda sebagai lambang Indonesia. Keduanya memang memiliki masing-masing ciri identik sebagai organisasi islam yang sholihul likulli zaman wa makan yaitu islam yang relevan dengan semua waktu dan tempat. NU identik dengan islam nusantaranya yang sesuai dengan setiap tempat, sedangkan Muhammadiyah identik dengan gerakan islam berkemajuan yang sesuai dengan islam di semua waktu. Terlepas dari perbedaan mereka, pada intinya mereka sama-sama bergerak dalam menjadikan Indonesia agar memiliki peradaban yang tinggi sebagai tempat bagi umat musim yang kelak diharapkan dapat turut serta memberikan kontribusi besar bagi umat islam di dunia.

Setiap masyarakat memang memiliki kebebasan dalam memandang dan menilai suatu perbedaan baik dari sisi positif ataupun negatif, akan tetapi alangkah baiknya jika dalam memandang setiap perbedaan tidak mendorong untuk menjadikan kita saling terpecah belah namun mendorong untuk menjadikan kita sebagai masyarakat (muslim pada khususnya) yang saling merangkul dan menghargai, sehingga mampu melahirkan kekuatan untuk menebar kebaikan yang dapat dirasakan oleh masyarakat lainnya secara luas.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Maafku Bahagiaku

Oleh : Fafi Masiroh

Kesempurnaan bukanlah milik dari manusia. Karena sejatinya manusia akan selalu diliputi kesalahan dan kekurangan. Entah kesalaham tersebut diperbuat kepara dirinya sendiri atau kepada orang lain. Perasaan menyesal, kecewa dan gelisah kerap kali dirasakan ketika mereka berbust kesalahan atau mungkin orang lain berbuat kesalahan kepada mereka. Hingga akhirnya perasaan tersebut akan mendorong manusia untuk saling membenci satu sama lain hanya karena sebuah kesalahan yang diakhiri dengan keegoisan. Memang begitulah adanya, manusia terlalu mudah memikirkan hal penting terksit diirinya sendiri, harga diri hingga kemudian merasa terpuruk dan sangat susah untuk mendapat kebahagiaan. Padahal kebahagiaan dapat dirasakan dengan sangat sederhana. Bagaimana tidak, karena sejatinya manusia penuh kesalahan maka memaafkan adalah langkah termudah untuk menciptakan kebahagiaan itu sendiri. Memaafkan semua kesalahan pada diri sendiri atau orang lain dan terus selalu mengingat bahwa salah benar itu relstif. Karena yang utama yaitu bagaimana kesalahan tersebut mampu mendewasakan dan memberi penerangan bahwa kesalahan bukan selamanya hal buruk. Ada banyak orang orang hebat di luar sana, yang kokoh dan kuat karena mereka mampu untuk memaafkan atas segala kesalahannya atau orang lain.

Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman bagi muslim pun selalu mengingatkan umatnya untuk selalu memaafkan. Dalam berbagai kesempatan, beliau kerapkali bersabda bahwa memaafkan adalah salah satu hal yang dapat menjadi kunci untuk mendapatkan surga. Seperti sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadits “ Jika hari kiamat tiba terdengatlah suara panggilan Manakah orang orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya? Datanglah kamu kepada Tuhanmu dan terimalah pahala pahalahmu. Dan menjadi hak setiap muslim jika ia memaafkan kesalahana orang lain untuk masuk surga”. (HR. Adh-Dhahak dari Ibnu Abbas r.a). Maka dapat diketahui bahwa memaafkan memanglah hal penting yang perlu kita lakukan ketika mendapat suatu kesalahan baik dari diri kita sendiri atau orang lain. Dengan memaafkan maka kebahagiaan akan menghampiri kita, dan surga adalah kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Bahkan katena pentingnya memafkan, Allah swt berfirman Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf :199).

Memaafkan tidak hanya mampu memperbaiki masalah tetapi dengan memaafkan hati kita akan senantiasa lebih lapang dan tidak mudah menyimoan dendam. Rasulullah ketika beliau diolok olok dengan orang kafir, dilempati kotoran, beliau dengan senang hati memaafkan kesalahan mereka dan mendoakan mereka supaya selalu diberi keselamatan. Maka sudah sewajarnya bagi kita, sebagai umat Rasulullah saw untuk mengikuti suri tauladan beliau termasuk mudah untuk memaafkan. Memaafkan memang bukan perkara yang mudah, terkadang kita bilang sudah memaafkan tetapi hati masih dipenuhi amarah terlebih ketika mengingat ingat kesalahan. Oleh karena itu memulai dengan langkah langkah kecil akan lebih mudah untuk mendorong kita supaya tidak berat hati memaafkan kesalahan. Misalnya dengan senantiasa membiasakan, mengingat kebaikan orang yang berbuat kesalahan kepada kita, serta selalu mengingat pesan Allah dan Rasulullah saw bahwa memaafkan adalah hal mulia untuk selalu dilakukan.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

 

GUS BAHA’: INTELEKTUAL MUDA MUSLIM PEMBAWA OPTIMISME DALAM BERAGAMA

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

KH. Ahmad Baha’udin Nur Salim atau yang lebih akrab disapa dengan sebutan Gus Baha’ saat ini tengah menjadi idola baru di berbagai kalangan masyarakat, khususnya di kalangan santri-santri dan millenial muslim. Beliau lahir di Rembang, dan pada saat kecil menimba ilmu dari abahnya sendiri, yakni KH. Nur Salim Al Hafizh. Setelah beranjak remaja, beliau kemudian nyantri ke Ponpes Al Anwar Sarang di bawah bimbingan Alm. KH. Maimoen Zoebair (Mbah Moen). Setelah menikah, beliau pindah ke Yogyakarta dan menetap disana.

Meski tidak memiliki riwayat pendidikan formal, namun keilmuan Gus Baha’ sudah tidak diragukan lagi. Sejak tahun 2006 hingga sekarang beliau menjadi Ketua Tim Lajnah Mushaf UII serta Dewan Tafsir Nasional bersama Prof. Quraisy Shihah, Prof. Zaini Dahlan dan lainnya. Suatu ketika beliau pernah ditawari gelar Doctor Honoris Causa dari UII, namun beliau menolaknya.

Berbagai rekaman pengajian Gus Baha’ saat ini bertebaran di berbagai media sosial, mulai dari youtube, instagram, facebook dan sebagainya. Penyampaiannya yang renyah, sederhana namun berbobot menjadi ciri khas beliau. Beliau juga tidak mudah menghakimi atas berbagai peristiwa yang terjadi. Kehadiran beliau membawa angin segar atas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya bagi kita yang hidup di zaman akhir seperti sekarang ini.

Dalam suatu kesempatan, Gus Baha’ pernah mengatakan bahwa ciri khas thoriqoh Syadziliyah adalah menganggap kesalahan bukan sebagai kesalahan. Maksudnya, kesalahan yang bukan maksiat, seperti merasa kurang khusyu’ atau merasa kurang sempurna saat sholat. Beliau mengatakan bahwa itu adalah salah satu bentuk dari bisikan syaitan. Jika diterus-teruskan, lama-lama dapat membuat kita merasa janggal terhadap sholat. Awalnya kita akan bertanya-tanya apakah sholat kita diterima atau tidak, dan lama-lama kita akan bertanya, jika tidak diterima lalu untuk apa kita harus capek-capek melakukan sholat.

Padahal kata beliau, kita ditakdir masih bisa melakukan sholat atau masih bisa sujud itu adalah anugerah yang sangat luar biasa. Betapa hinanya kita, sebagai seorang hamba namun tidak pernah sujud kepadaNya. Beliau menegaskan bahwa manusia generasi akhir seperti sekarang yang ditakdir masih bisa melakukan sholat dan sujud adalah kebanggaan yang luar biasa.

Hadirnya Gus Baha’ di tengah hingar bingar kehidupan modern seperti saat ini memang membawa berkah yang luar biasa. Islam yang dibawakannya terasa sangat indah dan damai. Berbagai cara pandang beliau tawarkan untuk memahami berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Dan yang paling terasa adalah penyampaiannya yang membawa kita kepada optimisme beragama.

Wallaahu a’lam

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Hakikat Tawadlu

Oleh: Muhamad Mahfud Muzadi

Tawadlu; humble; rendah hati; andap asor; merupakan salah satu akhlaq terpuji yang sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap manusia. Telah banyak dalil yang menerangkan tentang perintah tawadlu, baik yang disebutkan dalam al-Quran maupun Hadits. Namun pada kenyataannya akhlak ini susah untuk diamalkan karena harus melawan sifat sifat tercela yang dekat dengan kita, seperti takabbur, riya, sumah, bahkan ujub. Karena sejatinya penyakit-penyakit ini lebih berbahaya dan lebih susah disembuhkan dibanding dengan Covid-19 yang sedang viral ini.

Covid-19 baru muncul akhir 2019 dan insya Allah akan segera berakhir dan ditemukan vaksinnya. Akan tetapi sifat takabur dan saudara-saudaranya itu telah ada sejak Nabi Adam AS diciptakan yaitu dilakukan pertama kali oleh iblis yang tidak mau bersujud kepada nabi adam karena merasa dirinya lebih mulia. Inilah perbuatan takabur pertama yang dilakukan oleh seorang makhluk.

Sekarang ini, bahkan lebih ngeri lagi, sifat tawadu yang mulia ini dilakukan oleh seseorang dengan tujuan agar semakin dipuji oleh orang lain. Terjadi kesalahan implementasi dari tawadlu ini yang sering dikenal dengan merendah untuk meroket. Yaitu merendah dengan sengaja agar lebih dipuji-puji orang lain. Naudzubuliilah

Lantas bagaimanakah hakikat tawadlu yang sebenarnya? Ada dua kisah tentang tawadhu’ yang sangat menakjubkan yang dilakukan oleh Wali Allah yang bisa kita jadikan sebagai teladan dalam memahami hakikat tawadlu

Pertama adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam kajian Hikam-nya:

Salah satu orang sholih tengah berthawaf kala itu, kemudian ia melihat seseorang bersujud sambil menangis sesenggukan. Setelah ia dekati, ternyata orang tersebut adalah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, sosok ulama besar yang dijuluki sebagai Sulthonul awliya’ (Sultan para wali). Kala itu Dalam tangis dan sujud panjangnya, Syaikh Abdul Qadir berdoa: “Ya Allah. jika engkau memang tidak ingin mengampuni dosa-dosaku kelak di hari kiamat maka bangkitkanlah diriku kelak dalam keadaan buta. Sehingga aku tidak malu kepada orang-orang yang dulu berbaik sangka kepadaku”

Sungguh doa beliau ini merupakan contoh akhlak yang sangat terpuji. Beliau selalu menganggap dirinya seorang pendosa meski sebagaimana yang kita ketahui beliau merupakan pemimpin atau raja dari para kekasih Allah.

Kisah kedua adalah kisah yang dituliskan oleh Syaikh Ibnu Ajibah al-Hasani dalam Syarah Hikam-nya:

Suatu hari di musim hujan Syaikh Abdurrahman Bin Said yang merupakan seorang ulama besar sedang melewati jalanan yang becek dan berlumpur. Tiba-tiba tampak seekor anjing datang dari arah yang berlawanan. Melihat anjing itu semakin mendekat, beliau menepi ke tempat yang bersih dan tak berlumpur agar anjing itu melewati jalan yang berlumpur. Akan tetapi tak lama kemudian beliau justru berpindah ke tempat yang berlumpur lagi seakan mempersilahkan anjing tersebut untuk berjalan melalui tempat bersih yang tadi sempat ditempatinya.

Saksi mata yang melihat kejadian “aneh” tersebut segera mendatangi Syaikh Abdurrahman. Ketika itu di atas kubangan lumpur beliau tampak sedih dan termenung.

“Wahai Syaikh. barusan aku melihat engkau melakukan hal yang sangat aneh. Mengapa engkau mengalah dan membiarkan anjing itu lewat melalui jalan yang bersih dan tak berlumpur?”

“Awalnya aku memang ingin membiarkan anjing itu lewat melalui jalan yang kotor, namun kemudian aku berfikir dan berkata dalam hati: “bukankah anjing itu lebih baik dan lebih mulia dari diriku? Aku punya banyak dosa dan masih sering bermaksiat sedangkan anjing itu tidak mempunyai dosa sama sekali? Kalau begitu bukankah ia lebih pantas dimuliakan daripada diriku yang hina ini? Sekarang aku sedih dan takut Allah tidak akan mengampuni dosaku karena aku telah merendahkan salah satu mahluk-Nya yang lebih mulia dariku”

Masya Allah. Akhlak seperti ini yang di pegang teguh oleh para kekasih Allah sehingga budi pekerti mereka selalu indah dan luhur. Ibarat padi yang semakin tinggi semakin merunduk, semakin berisi semakin merendah. Merekalah teladan dari hakikat tawadlu yang sebenarnya.

Lalu kita yang manusia biasa dengan segala kesalahan dan kekhilafannya, masih pantaskah kita menyombongkan diri? Jika memang meneladani para Wali Allah masih dirasa sangat berat, setidaknya kita tidak terlalu jauh melenceng dari akhlak-akhlak mulia mereka.

Terakhir, jika ada pertanyaan kapan seseorang bisa dikatakan orang yang tawadlu? Yaitu: “ketika ia tidak melihat kebaikan atau keistimewaan apapun dalam dirinya, dan selalu meyakini bahwa di bumi ini tidak ada orang yang lebih hina dari dirinya” – Abu Yazid al-Bustomi.
Wallahu A’lam…

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang

Biologi, Bukti Teramat Apik Sang Pencipta Menata Jagat Raya

Oleh:

Rikha Zulia

Pernakah Anda ditanya atau malah Anda yang bertanya, Mengapa pohon tidak bisa berpindah tempat sendiri? Kenapa daun berwarna hijau dan berbentuk helaian tipis?Kenapa lubang hidung manusia menghadap ke arah depan? Kenapa telapak kaki manusia lebih lebar daripada telapak tangan? Mengapa ada rasa lapar? Mengapa ketika ada bahaya, tubuh kita merespon dengan menghindar? Mengapa ada siang dan ada malam? Mengapa ada bulan? dan pertanyaan cukup membingungkan lainnya. Apa jawaban saudara ketika disuguhkan dengan pertanyaaan demikian?

Pertanyaan-pertanyaan demikian tentunya akan membuat kita berpikir. Namun tak sedikit orang yang akan menjawab “SUDAH TAKDIR”. Benar itu memang sudah takdir, takdir dengan suatu alasan dan perhitungan yang sangat apik yang telah di rancang pemiliki semesta dalam menata jagat raya. Bayangkan saja, jika ada seseorang yang memiliki tangan berbentuk seperti kaki. Naudzu billahi mindalik (semoga kita dijauhkan dari hal yang demikian), pasti akan teramat sulit dalam melakukan berbagai pekerjaan, benar bukan?

Setiap hal yang terjadi di jagat raya ini, sudah barang tentu atas kuasa dari Sang Pencipta yakni Allah SWT. Bukan tanpa alasan atau hanya kebetulan, namun setiap apa yang Allah ciptakan pasti dengan perhitungan dan susunan yang sempurna. Allah telah mengisyaratkan apa maksud dan tujuan penciptaan. Isyarat-isyarat yang telah diberikan Allah membuat manusia mulai berfikir dan mencoba menemukan jawaban dari tujuan sebuah penciptaan. Mulai muncul berbagai bidang ilmu pengetahuan yang menelisik bukti keagungannya, Biologi misalnya. Biologi, berasal dari kata “bios” dan “logos”. Bios yang artinya hidup dan logos yang artinya ilmu pengetahuan, sehingga Biologi dapat dimaknai sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang kehidupan. Jika ada yang mengatakan bahwa biologi hanya melulu menghafal nama ilmiah dan hafalan lainnya memang tidak dapat disalahkan, namun kurang tepat saja. Karena Biologi berusaha membuktikan keagungan-Nya.

Biologi sebagai suatu ilmu pengetahuan mampu menjawab berbagai fenomena mengenai kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan. Para ahli biologi juga telah mengembangkan berbagai disiplin ilmu untuk mempelajari dan mengungkap tanda-tanda kekuasannya. Salah satu fenomena luar biasa yang mungkin disepelekan oleh banyak orang, yakni sistem kerja keamanan tubuh manusia. Tubuh manusia telah dirancang dengan begitu maha dasyatnya, ketika ada benda asing (virus, kuman dan benda berbahaya lainnya), tubuh telah siap sedia dengan tameng yang berlapis-lapis. Misalkan saja ada suatu virus yang akan masuk melalui hidung manusia, apa respon tubuh untuk mencegahnya masuk? Benar, hidung akan merespon dengan bersin agar si virus terpental. Rambut-rambut hidung dan lendir akan medeteksi keberadaannya dan mencegahnya masuk dengan respon bersin tadi. Namun bagaimana jika si virus tetap berhasil menerobos masuk? Pasukan pelindung ke dua yakni rambut-rambut yang berada dalam batang tenggorokan akan menjadi tameng untuk menghalangnya, ini ditunjukkan dengan respon tubuh berupa batuk-batuk. Apabila si virus masih lolos lagi, tubuh akan mengerahkan pasukan sel darah putih untuk memakannya, membuang dan mengeluarkannya dari tubuh. Begitu seterusnya, hingga pertahanan tubuh memang benar-benar telah dikalahkan virus yang kuat. Begitu luar biasanya Sang Pencipta mencipatakan jagat raya.

Jadi, bagaimana? Masih tidak mau bersyukur? Masih ingin kufur dengan nikmat-Nya?

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.