almuhtada.org – Bulan Ramadan merupakan bulan yang istimewa bagi umat Islam. Di dalamnya, banyak sekali berkah dan rahmat dari Allah Swt..
Pada bulan Ramadan, pintu ampunan untuk hamba-Nya terbuka lebar. Tak hanya itu, segala kebaikan dan amal ibadah yang dilaksanakan pada bulan ini juga akan dilipatgandakan.
Salah satu amalan yang istimewa di bulan Ramadan ialah iktikaf. Banyak orang-orang saleh yang konsisten dalam mengamalkan iktikaf di bulan ini.
Apa itu iktikaf? Yuk, simak penjelasan berikut!
Iktikaf merupakan berasal dari kata عكف (‘akafa) yang berarti menetap atau mengurung diri. Menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunah, pengertian iktikaf secara bahasa adalah berada di suatu tempat dan mengikat diri kepadanya.
Adapun menurut Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu, pengertian iktikaf secara bahasa yakni berdiam dan bertaut pada sesuatu, baik maupun buruk secara terus menerus.
Penggunaan kata iktikaf untuk sesuatu yang buruk bisa kita dapati pada Al-Qur’an Surat Al A’raf ayat 138 yang menggambarkan suatu kaum yang masih tetap menyembah berhala.
Sedangkan iktikaf dalam konteks yang baik, ada pada penggalan ayat 187 pada Al-Qur’an surah Al Baqarah yang berbunyi:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Artinya: “…Dan janganlah kalian mencampuri mereka (istri) dalam kondisi kalian sedang melakukan iktikaf di masjid…” (QS. Al Baqarah: 187)
Secara istilah, pengertian iktikaf adalah berdiam diri dan menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt.. Lalu bagaimana hukum iktikaf dalam Islam?
Hukum iktikaf yakni ada dua, yakni wajib dan sunah. Bagaimana ketentuannya?
Iktikaf bisa wajib apabila merupakan bagian dari nazar seseorang. Seperti yang kita tahu bersama bahwasanya hukum menepati nazar adalah wajib. Rasulullah saw. pernah bersabda:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
Artinya: “Barang siapa yang telah bernazar akan melakukan suatu kebaikan pada Allah, hendaklah dipenuhi nazar itu.” (HR. Bukhari)
Umar bin Khattab sendiri pernah bernazar untuk beriktikaf semalam di Masjidil Haram.
أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
Artinya: “Umar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, dulu aku di masa jahiliah pernah bernazar untuk beritikaf satu malam di Masjidil Haram.” Rasulullah lantas bersabda, “Maka penuhilah nazarmu itu.” (HR. Bukhari)
Hukum asal dari iktikaf yakni sunah. Terlebih pada 10 malam terakhir di bulan Ramadan, hukum iktikaf yakni sunah muakadah atau sunah yang sangat dianjurkan. Hal itu didasarkan pada hadis berikut.
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Artinya: “Dari Aisyah ra., istri Nabi saw., bahwa Nabi Muhammad saw. biasa iktikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Kemudian istri-istri beliau beriktikaf sesudah beliau wafat.” (HR. Bukhari)
Dalam melaksanakan iktikaf, niat merupakan hal yang utama. Niat itulah yang membedakan seseorang iktikaf atau tidak iktikaf meski keduanya sama-sama berada di masjid.
BACA JUGA (khusus ini abaikan saja, jangan dihapus ini kode untuk editor)
Bagi yang ingin menguatkan niat iktikaf, dapat melafalkan niatnya sebagai berikut.
نَوَيْتُ الْإِعْتِكَافَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى
Artinya: “Aku berniat itikaf, sunnah karena Allah Ta’ala”
Adapun waktu itikaf sunah ini tidak dibatasi. Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, meskipun waktunya singkat, seseorang yang berdiam diri di masjid dengan niat itikaf maka itu termasuk itikaf. Namun menurut mazhab Maliki, waktu beritikaf minimal adalah sehari semalam.
Menurut mazhab Syafi’i, waktu itikaf minimal adalah bisa disebut menetap atau berdiam diri di masjid. Lamanya yakni lebih panjang dari ukuran waktu tuma’ninah saat ruku’ atau sujud.
Jadi, menurut mazhab Syafii, Hanafi dan Hanbali, seseorang yang itikaf satu jam atau bahkan hanya setengah jam tetap dihitung sebagai iktikaf.
[Syukron Ma’mun]