Review Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta

Oleh:

M. Qosim Ausath

Film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta merupakan sebuah film yang bergenre kolosal namun dibalut dengan bumbu percintaan antara Sultan Agung dengan tokoh fiktif bernama Lembayung ketika masih dalam satu padepokan sehingga memberikan keunikan tersendiri serta menarik dan diminati golongan muda. Selain menghadirkan kisah percintaan dalam film tersebut diceritakan mengenai gigihnya seorang raja Mataram yaitu Sultan Agung dalam melawan dan menentang penjajah VOC dengan gagah berani serta tegas tanpa kompromi. Film ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan rilis pada tanggal 23 Agustus 2018 yang lalu. Dalam review kali ini penulis tidak mengulas mengenai adegan percintaan, melainkan hanya fokus pada cerita sejarah Sultan Agung menjadi raja dan bagaimana perjuangannya ketika melawan VOC.

Cerita bermula ketika Senopati mengangkat Mas Jolang jadi raja kedua kerajaan Mataram. Mataram memasuki masa prahara yang berkepanjangan, banyak daerah yang memberontak dan didukung para pangeran yang tidak puas dengan pelantikan Mas Jolang sebagai penguasa Mataram. Untuk menjaga Mataram dan menjaga syariat Islam yang diwariskan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, Mas Jolang mengirimkan putranya kesebuah tempat yaitu padepokan Jejeran untuk dididik menjadi penerusnya. Namun sayangnya putra tersebut bukanlah seorang putra mahkota. Putra dari Mas Jolang tersebut bernama Raden Mas Rangsang (Sultan Agung). Dalam film tersebut Raden Mas Rangsang dikirim kepadepokan Jejeran sejak ia berumur 10 tahun untuk mendapatkan ilmu agama dan dipersiapkan untuk menjadi pewaris tahta mataram. Sebenarnya Raden Mas Rangsang bukanlah sebagai pewaris tahta Mataram karena ia bukanlah anak laki-laki pertama dari Mas Jolang. Anak pertama Mas Jolang yang seharunsnya sebagai pewaris tahta tidak dapat naik tahta Mataram dan dianggap tidak layak dikarenakan lahir dengan kondisi yang tidak normal atau cacat, sehingga dianggap tidak mempuni untuk menjadi pewaris kerajaan Mataram. Setelah sepeninggal Mas Jolang karena dibunuh oleh istrinya yang pertama. Raden Mas Rangsang dengan berat hati naik ketahta Mataram. Bukan hal mudah baginya untuk menggantikan peran sang ayah, terlebih saat itu usianya masih remaja. Sebenarnya ia juga tahu kalau dia bukanlah pewaris tahta, namun karena adanya ramalan dari Kanjeng Sunan Kalijaga bahwa dialah yang dapat mempersatukan bumi nusantara dan restu gurunya Ki Jejer untuk naik ke tahta kerajaan, pada akhinya Raden Mas Rangsang dilantik dan resmi menjadi raja Mataram ke-tiga.

Baca Juga:  HALU

Tahta dari Raden Mas Rangsang merupakan amanah dari Kanjeng Sunan Kalijaga untuk melindungi rakyat jawa dari penjajah dari Belanda yang menjarah Nusantara secara kejam. Belanda atau VOC datang ke Mataran dengan baik-baik untuk menawarkan kerjasama dengan Mataran, namun Raden Mas Rangsang mengetahui bahwa itu merupakan taktik dari Belanda untuk merampas sumberdaya dan menjadikan rakyat Mataram menjadi kacung,  Taktik ini sudah diketahui oleh Raden Mas Rangsang dari dengan belajar dari pengalaman beberapa kerajaan yang runtuh akibat VOC seperti Banda, Maluku dan Jayakarta. Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung merupakan orang yang sanggat menentang VOC. Ia sangat takut akan kesengsaraan anak cucunya akibat VOC serta takut akan tidak bisa menjalankan amanah dari Kanjeng Sunan Kalijaga.

Raden Mas Rangsang memiliki pemikiran bahwa kehati-hatian terbaik adalah menghancurkan mereka terlebih dahulu sebelum kita dihancurkan. Raden Mas Rangsang mengintruksikan untuk menyerang VOC di Batavia, ia mengintruksikan agar semua masyarakat yang masih di dalam kekuasaannya untuk mengikuti perang melawan VOC di Batavia. Raden Mas Rangsang secara sigap menyusun strategi untuk perang dan menyiapkan rakyat dengan ajaran beladiri dan menggunakan alat-alat atau senjata agar nantinya dapat menang melawan VOC.

Sekitar 14.000 rakyat Mataram dikerahkan untuk melawan VOC. Perang pun dimulai, perang pada awalnya terjadi secara sengit dan banyak tentara Mataram yang dapat memasuki benteng VOC, pada awalnya memang Mataram seolah-olah unggul, sayangnya tentara Mataram dapat dipukul mundur dengan mudah oleh VOC. Perangpun berlangsung sangatlah lama, banyak kendala yang dihadapi oleh Mataram ketika melawan VOC, banyak dari tentara yang gugur ketika pertempuran membuat mental dari tentara yang tersisa menjadi melemah.

Baca Juga:  Bisakah Menjadi Wanita Salehah di Akhir Zaman? Yuk Simak, Amalan Ini Rahasianya!

Banyak sekali kendala Mataram untuk menghadai VOC, kendala tersebut seperti banyaknya tentara yang gugur, ada konflik internal antar adipati serta persediaan makanan yang semakin menipis. Melihat keadaan makanan yang semakin menipis Raden Mas Rangsang pun mengintruksikan untuk membangun lumbung padi di pesisir pantai utara sebagai tempat penyimpanan makanan ketika panen sekaligus menjadi stok makanan untuk keperluan perang. Namun lumbung-lumbung padi tersebut diketahui oleh VOC dan lumbung padi tersebut dapat dibakar sampai tidak tersisa oleh VOC.

Kondisi tentara Mataram semakin memprihatinkan, tentara yang tersisa hanya sedikit serta banyak adipati-adipati yang gugur dalam peperangan serta diperparah dengan persediaan makanan yang semakin menipis dan tidak mencukupi untuk peperangan berkepanjangan. Dengan melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, Raden Mas Rangsang menginstruksikan para tentaranya untuk kembali ke Mataram. Mataram telah kalah dalam peperangan, para tentara dipersilahkan untuk kembali kepada keluarganya masing-masing. Namun Raden Mas Rangsang menganggap bahwa peperangan kali ini Mataram mengalami kemenangan, rakyat berani untuk melawan ketidakadilan dan penindasan merupakan suatu kemenagan dan prestasi yang sangatlah gemilang.

Perlawanan kepada VOC ini memberikan pengaruh yang baik pada kerajaan Nusantara melawan bangsa asing, banyak kerajaan-kerajaan dan pergerakan yang dilakukan untuk melawan bangsa asing, salah satunya adalah Kesultanan Banten yang dipimpinoleh Sultan Abdul Fatah Tirtayasa. Setelah sepeninggal JP Coen. Sultan Agung kembali memakmurkan mataram. Beliau juga memusatkan perhatian kepada ilmu dan kebudayaan. Menulis Kitab Sastra Gending yang berisi falsafah hidup Jawa. Melestarikan Tarian Bedoyo Ketawang, menciptakan tanggalan Jawa yang menggabungkan perhitungan penanggalan Hijriyah dan Caka.

Baca Juga:  Menangislah! Tapi Jangan Salah Arti

Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

Related Posts

Latest Post