Oleh:
Rikha Zulia
Angin berhembus perlahan bersama detak jarum jam yang semakin riuh. Di sudut pintu ku tatap bayangan pudar yang mengganggu.Sebenarnya bukan bayangan yang mengganggu, namun gelisah hati yang membuatku tak bisa memejamkan mata kala itu. Suara sayu-sayu jangkrik dan hewan malam lain yang setia menemani malamku kini terasa ikut mengganggu. Entah ada apa dengan perjaka muda ini. Memasang wajah lucu namun batinnya menggerutu. Dasar aku! Setahun sudah aku meninggalkan kampung halaman, bertolak ke kota dengan sebuah alasan. Alasan yang ku putuskan tanpa kesepakatan dengan orang tuaku, lebih tepatnya ibuku.Karena ayahku tengah mengaji dipangkuan Rabbku.
“ Aku hanya ingin pergi menuntut ilmu ibu!” rengekku kala itu. Sebenarnya aku tahu mengapa ibuku bersikukuh melarangku melanjutkan pendidikan di kota perantauan. Kesepian yang ia takutkan menjadi salah satu alasan, namun bukan itu alasan terkuatnya melarangku ke perantauan. Melainkan kekhawatirannya kepada perjaka muda yang belum begitu kokoh imannya.Ya, itulah aku dalam pikir ibuku. Berulang kali ku katakan bahwa aku kan berusaha menjaga imanku agar tak terjerumus ke lembah nar itu. Tapi bagaimana lagi ibuku tetap tak bisa menyingkirkan kekhawatirannya itu. Namun ku tetap bersikukuh tuk melanjutkan pendidikan ke kota. Ibupun akhirnya mengizinkan, walau dengan hati sedikit ragu.
Sayu suara kokok ayam bak bel merdu yang menambah semangatku tuk bergegas mengumandangkan adzan subuh. Kutunaikan kewajiban dengan bergegas ke mushola di depan gubuk syurgaku. Muadzin dan imam sholat, perankeduanya ku borong pagi itu, karena belum ada pertanda laki-laki lain yang datang kala itu. “ Allahu akbar” suara takbir ku kumandangkan dengan makmum tunggal yakni ibuku. Dua rakaatpun telah kutunaikan. “assalamualaikum warohmatullah” sebagai peutup sholat subuh berjamaah itu. Tak ku sangka ada sosok lelaki yang lebih tinggi dariku yang tak lain adalah sahabatku duduk tepat dibelakangku. Rupanya ia menjadi makmumku, awalnya ku rasa heran karena ini pertama kalinya ia berjamaah subuh di mushola depan rumahku. Aku merasa senang dengan berbagai pertanyaan yang ingin ku lontarkan.Namun untuk sekejap kutahan pertanyaan itu. Mulai kami dengungkan suara-suara taman syurga untuk mengingat-Nya. Kami panjatkan doa seraya ku sisipkan permohonan kepada Sang Penguasa alam raya. Dzikirpun selesai, bergegas ku memutar badanku tuk berhadapan dengan sahabatku Fahri.Lelaki tinggi yang sedikit kalah tampan denganku.
“Khib!” sapaku pada kawan akrabku ini.“ ada apa gerangan sampai kau berjamaah kemari?” celetukku.
“ Benarkah kau akan berangkat ke Malang pagi ini? Jawab aku Rasyid” paksanya padaku.
“ Benar Khib, aku akan berangkat ke Malang pagi ini. Maaf aku belum sempat bilang padamu.Darimana kau tahu?”Tanyaku.“Mohon doanya ya Khib, semoga bisa menambah bekalku tuk menggapai ridho Rabbku dan ibuku.” sambungku.
“Ya Syid, ku doakan semoga kau sukses dan mendapatkan Ridho Allah SAW. Lalu bagaimana ibumu? Apakah kau akan meninggalkannya sendiri bersama adikmu? “ tanyanya dengan raut wajah sedikit khawatir pada ibu dan adikku.
“ Bagaimana lagi Khib, jika aku tidak melanjutkan pendidikanku mungkin suatu saat nanti aku akan menyesal. Ini juga salah satu wasiat dari bapak, agar aku melanjutkan pendidikan.”Ucapku.
“Ya sudah, hati-hati kau disana.Semoga kau menjadi orang yang sukses.”
“ Dunia akhirat!” ucap kami dengan kompak.
Akupun bergegas pulang ke rumah, mengambil tas ransel besarku yang telah ku siapkan semalam. “sarapan dulu, Gus! Ibuk sudah masak masakan kesukaanmu.” Tutur lembut ibuku pada putra laki-laki satu-satunya itu.Air mata yang menggenang di ujung bola matanya seakan tak kuasa untuk jatuh.Namun ibuku tetap saja menyembunyikan itu.“inggih, Bu!” sahutku. Setelah sarapan akupun berpamitan, kucucup tangan pintu surgaku. ‘ nyuwun pamit, Bu!” kalih nyuwun pandonganipun, mugi angsal ilmu ingkang barokah, dados tiyang ingkang sukses dunia akhirat.” Pintaku lirih.Air matakupun tak lagi mampu ku bendung, apalagi ibuku.Air matanya bercucuran menggambarkan beratnya hati melepaskan putra satu-satunya itu.
“Iya gus, ibu selalu mendoakanmu. Satu pesan ibu, dimanapun kamu berada ingat selalu ada Allah di sampingmu.Pegang kuat aqidahmu. Jangan kau gadai dengan apapun.” Tuturnya sambil mengelus kepalaku.Akupun semakin tak kuasa, hatiku menjadi ragu.Ragu tuk meninggalkannya, ragu bila aku tak mampu menjaga aqidahku dengan berpisah jauh dari ibu.“ kamu harus kuat Syid!” ucapku dalam hati.
“Bismillahirrohmanirrohim” kata yang ku ucap dengan melangkahkan kaki kiriku tuk beranjak meninggalkan gubuk surgaku.Berjalan dan terus berjalan, tak mampu ku berbalik arah melihat ibuku yang entah bagaimana keadaannya. Ku susuri jalanan desaku, hingga tampak lalu lalang bus-bus besar menuju kota.
“Hati-hati, Gus!” teriak ibuku dari kejauhan yang membuatku menoleh dan meneteskan air mata.Ku balas pesan itu dengan anggukan karena bibirku terasa goyah tak mampu mengeluarkan kata. Sepuluh jam perjalanan ku lalui, dengan bayang-bayang air mata yang menetes di pipi ibuku. Akhirnya ku sampai di kota perantauan yang menjadi harapanku. “bismillah” kata yang sama tuk memulai kelanaku di kota perantauan. Bertemu banyak orang yang tak satupun ku kenal.Hanya Allah sekarang yang berada di sampingku.Bergegas ku cari masjid tuk bersandar pada Rabbku.Akhirnya kutemukan sebuah masjid besar di pinggir jalan.Ku tunaikan sholat asar sore itu.Selepas sholat asar, kebingungan mulai menerpa pikirku.
“Harus kemana aku sekarang?” pertanyaan besar yang ku sendiri tak tahu jawabannya.Tiba-tiba datang seorang laki-laki muda berwajah sumringah yang menyapaku.Kamipun berbincang dan mulai ta’arufan.Sepertinya dia tahu kebingungan yang melandaku.
Pertemuan yang tak sengaja ini menjadi salah satu bukti kuasa Allah yang tak pernah ku duga sebelumnya.Pertemuan ini membawaku pada sebuah tempat yang menarik bagiku.Kamar marbot masjid yang masih longgar jika ditiduri sendiri, kini menjadi agak sesak dengan tubuh kekarku. Berharap aku akan tetap terjaga di rumah Yang Maha Kuasa, sembari menhemat pundi-pundi rupiah yang tak perlu ku keluarkan. Menyapu, mengepel, dan membersihkan kaca-kaca menjadi rutinitasku setiap pagi dan sore. Tak apa, ini adalah rumah Rabbku. Jutaan syukur tak mampu menebusnya.
Tempat yang ku piker dapat menjagaku, namun nyatanya bukan tempat yang mampu membantu mengukuhkan aqidahku.Entah karena aku yang salah langkah atau lingkungan yang menjerumuskanku, entahlah. Yang pasti aku merasa sangat tersesat dan salah langkah. Wanita, ya salah satu bunga jalan yang meruntuhkan aqidahku.Entah bagaimana awalnya perasaan itu tumbuh dan membuatku pilu.Awalnya hanya perasaan takjub dan bangga dengan segudang ilmu yang dia punya. Ilmu agamanya tak perlu diragukan lagi, keluasan berpikirnya tak perlu dipertanyakan lagi dan kecantikannya seakan bunga yang bersemi ditengah taman yang asri. Tetap cantik tak terkalahkan dengan yang lainnya. Lincah gaya dan sedikit candaanya, ternyata mampu menebar benih rasa.Rasa yang awalnya tak kuharapkan, namun akhirnya sulit ku hilangkan.Mata ini seakan selalu ingin memandangnya, selalu ingin bercengkrama dan menghabiskan waktu lebih banyak dengannya.Bercanda, belajar bersama, berdebat dengan cinta menjadi hal-hal menyenangkan dengan dia. Begitulah aku melukiskan sosok wanita sholikhah idaman semua pria, dan mungkin aku salah satunya.
“Astaghfirullahal adzim”tanpa kusadari aku sudah melangkah terlalu jauh.Tujuan utama untuk belajar dan menuntut ilmu, terasa bergeser dan memudar. Entah ada apa denagnku, berbagai ilmu yang diajarkan bapak dulu terasa hilang dalam otakku. Lari jauh meninggalkanku.“Astaghfirullahal adzim” satu persatu ujian menghampiriku.Sulitnya belajar, hafalan yang mulai cepat hilang, akhlak yang semakin memudar membuatku menangis dan tersadar bahwa aku telah berbuat maksiat atas anggota tubuhku.Mata yang Rabbku beri untuk melihat keagungan kuasanya, malah ku nodai dengan memandang dan menatap seseorang yang bukan mukhrimku.Kaki yang Rabbku beri untuk menjelajahi bumi ilmu, malah ku buat pegal dengan hal yang tak ada manfaatnya bagiku.
Semua ini tak akan terjadi, jika aku bisa menjaga akidahku. Ini juga bukan lika-liku, namun maksiatku yang semakin kukuh.
“Astaghfirullahal adzim…………………………………………”
Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matemaika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang