Nasib Petani Dikala Pandemi

Oleh: Mohammad Fattahul Alim

Petani, kata yang sebagian besar masyarakat awam akan mengatakan bahwa petani merupakan orang yang bermata pencaharian di bidang pertanian atau perkebunan. Secara teoretis, pengertian tersebut tidaklah salah karena sesuai dengan kondisi empirisnya di lapangan. Petani juga memiliki makna, hakikat, dan peran yang sangat mendalam dan berarti terkhusus untuk bangsa Indonesia itu sendiri yang mendapatkan julukan “Negara Agraris”. Peran petani sangat besar untuk negeri ini karena mereka merupakan penyangga ketahanan pangan nasional sejak dahulu hingga sekarang. Hal ini tidaklah mengherankan jika waktu itu Presiden Ir. Soekarno pernah memberikan singkatan khusus yakni Petani (Penyangga Tatanan Negara Indonesia). Nasib para petani sejak dulu sampai sekarang belum dapat menunjukkan progres kesejahteraan yang semakin meningkat, terlebih dikala Pandemi Covid-19 saat ini.

Tingkat kesejahteraan petani selama pandemi ini justru menurun, walaupun aktivitas pertanian para petani terlihat berlangsung normal seperti biasa. Stok hasil pertanian yang semakin melimpah tidak dibarengi dengan peningkatan permintaan oleh masyarakat. Ini tidak terlepas dari adanya pembatasan mobilisasi sosial demi memutuskan rantai penyebaran Covid-19 sepertipasar yang berakibat terhadap distribusihasil pertanian menjadi terganggu dan tersendat. Konsekuensi dari kondisi itu secara tidak langsung mengakibatkan hukum permintaan pun berlaku. Harga-harga komoditas pertanian menjadi turun sedangkan kebutuhan sehari-hari petani justru meningkat. Petani sangat kesulitan menjual hasil panennya dengan harga wajar atau normal. Contohnya di Kabupaten Demak, berbagai komoditas pertanian seperti padi dan bawang merah memiliki harga jual yang sangat rendah di pasaran. Harga jual panen bawang merah pada saat kondisi normal berkisar antara Rp25.000 sampai Rp30.000 per kilogramnya. Akan tetapi, pada masa panen saat pandemi Covid-19, harganya menurun drastissekitar antara Rp5.000 sampai Rp10.000 per kilogramnya. Harga ini berlaku jika kondisi bawang merah berkualitas bagus, jika kualitas kurang bagus makaharganyabisa beradadi bawah Rp5.000 per kilogram atau tidak bernilai sama sekali.

Kondisi yang dialami para petani ini tidak hanya berlangsung sekali, tetapi telah dua sampai tiga kali terhitung sejak awal pandemi Covid-19. Para petani banyak mengalami kerugian belasan sampai puluhan juta setiap panennya karena telahmengeluarkan biaya untuk membeli bibit, membayar tenaga kerja, dan membeli pupuk dan pestisida hama tanaman. Biaya faktor-faktor produksi (input) tersebut tiap tahunnya semakin meningkat sedangkan harga hasilkomoditas pertanian (output)nyajustru menurun atau tidak stabil. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya serangan hama dan penyakit pada tanaman. Adanya pembatasan mobilitas masyarakat seperti PPKM yang diberlakukan saat ini cukup menyulitkan distribusi hasil komoditaspertanian. Dengan demikian, situasi tersebut akhirnya berimbas terhadap tingkat penghasilan dan kesejahteraan petani yang menurun.

Langkah dan upaya konkret harus segera dilakukan demi menjaga dan menyelamatkan nasib petani terlebih di masa pandemi Covid-19. Peran petani sangatlah vital sebagai penyangga ketahanan pangan nasional demi memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dan untuk mencegah terjadinya krisis pangan nasional selama pandemi. Upaya ini bisa dilakukan mulai dari unit terkecil seperti pemerintah desa masing-masing. Komunikasi sangat penting dilakukan antara pejabat desa dan para petani untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan permasalahan ini. Contoh langkah konkret seperti membuat kelompok tanisebagai upaya pemberdayaan dibidang pertanian, dan membuat kreasi dan inovasi berbagai olahan atau makanan dari hasil pertanian yang dibutuhkan oleh masyarakat selama pandemi. Pemerintah desa juga perlu berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan dinas-dinas terkait agar harga dan distribusi komoditas pertanian kembali normal dengan tetap mematuhi PPKM yang sedang berlangsung.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Islam: Perihal Mencintai bukan Menghakimi

Oleh: Fafi Masiroh

Salah satu anugerah yang harus selalu kita syukuri hingga saat ini yaitu karena Allah telah menjadikan kita sebagai umat muslim, yakni umat yang memeluk agama islam. Mungkin sejak kecil sebagian atau bahkan hampir dari kita memeluk agama islam karena alasan “mengikuti jalan orang tua”, tetapi sejatinya ketika kita sudah lebih besar kelak kita akan menyadari bahwa menjadi seorang muslim adalah sebuah jalan yang indah. Akan tetapi, masih menjadi sebuah keresahan ketika orang di luar yang cukup banyak menganggap agama islam sebagai agama yang keras, bahkan beberapa menganggap islam mengajarkan perbuatan yang bersifat radikal. Menyadur dari nu.online bahwa islam sebenarnya secara tidak langsung dijebak sebagai agama teroris, misalnya dalam kutipan Adian Husaini (2004) yang menganalisis pendapat Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Who Are We?:The Challenges to America’s National Identity” pada tahun 2004. Huntington menuliskan Islam sebagai musuh utama Barat pasca Perang Dingin dengan bahasa yang lugas. Disebutkan juga dalam buku Muslim Society karya Ernest Gelner (1981) bahwa komunitas Muslim dipahami sebagai sumber pemikiran dan gerakan radikal, sedangkan anggapan tersebut sebenarnya cara  bagi komunitas Muslim  tertentu dalam mengembangkan nilai-nilai keyakinan akibat desakan penguasa, kolonialisme maupun westernisasi. Hal tersebut yang mendorong persepsi terhadap islam mengerucut terlihat buruk dan kemudian menimbulkan kerugian besar bagi keseluruhan umat islam.

Keadaan yang sedemikian seharusnya tidak boleh dibiarkan untuk terus berkelajutan. Agama islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW pertama kali merupakan rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran islam di tengah masyarakat saat masa Rasulullah SAW mendatangkan beribu kebaikan. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita untuk melanjutkan langkah Rasulullah SAW. Menyampaikan islam dengan bahasa yang santun, sikap yang sopan dan selalu mendatangkan kegembiraan. Agama islam bukan hanya sekedar perihal hukum-hukum agama terkait halal atau haram, yang pada akhirnya menuju jalan yang terkesan menghakimi. Misalnya saja, masih bisa ditemui beberapa orang yang menganggap dirinya sebagai “ustadz” kemudian dengan sesukanya mengharamkan seseorang berbuat sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan syariah islam. Hingga kemudian dia menjudge seseorang ataupun kelompok berbuat bid’ah, kelak akan masuk neraka dan ancaman sebagainya yang menghadirkan islam sebagai agama yang keras dan menakutkan.

Agama islam sejatinya agama yang mendatangkan kegembiraan dan sama sekali tidak menyusahkan. Allah memperbolehkan bagi orang yang sedang kelaparan untuk memakan daging babi ketika sudah tidak ditemukan lagi makanan sebagai usaha mempertahankan hidup. Allah memberikan kemudahan bagi orang sakit untuk salat dengan duduk jika tidak mampu berdiri, bahkan Allah memperbolehkan tayamum ketika tidak ditemukan lagi air untuk berwudhu saat akan sholat. Agama islam sangat luas, tidak hanya mengenai halal-haram tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Allah menciptakan bumi tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi umat islam, tetapi mereka umat non-islam pun leluasa untuk tinggal dan menikmati hidupnya di bumi. Sungguh betapa besar kasih sayang Allah, sehingga alangkah baiknya kita sebagai hamba Allah untuk saling mencintai dan mengasihi, bukan menghakimi.

Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menyampaikan kebaikan islam dengan ma’ruf dan kegembiraan. Begitupun dalam melarang sesuatu yang bertentangan ajaran islam kepada lainnya dengan ma’ruf, tanpa ada paksaan, ancaman pun menghakimi.

Sumber:

Saifuddin,Ahmad. 2020. Islam, Radikalisme, dan Terorisme. https://www.nu.or.id/post/read/64719/islam-radikalisme-dan-terorisme diakses pada 11 Juli 2021.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Apakah Kamu Tidak Berfikir?

Oleh : FafiMasiroh

Akhir-akhir ini kehidupan semakin terasa tidak baik-baik saja. Belum selesai dalam diri kita untuk menerima sepenuhnya adanya pandemi, kemudian ditambah beberapa kehilangan yang menyelimuti. Kehilangan waktu berkumpul bersama dengan keluarga dan teman-teman, hingga beberapa ratusan lebih orang-orang kehilangan keberadaan manusia-manusia terkasihnya. Dari setumpuk peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, kita masih saja mudah lalai untuk sekedar mengambil nilai positif dari apa yang telah kita lalui.

Misalnya saja adanya pandemi yang masih berkelanjutan sampai saat ini, mengingatkan kita bahwa sikap saling peduli itu sangat penting. Bisa kita realisasikan dengan berbagai hal kecil, seperti mengingatkan memakai masker, menanyakan kabar atau paling kecil kita menahan diri untuk di rumah saja ketika tidak ada keperluan yang mendesak. Sedihnya, hal tersebut masih saja kita lalai untuk benar-benar memahami dan menindakinya.

Manusia memang mudah lalai terlebih jika selalu mengedapankan nafsu dalam setiap melangkah. Sehingga, bila saja kita selalu berangkat dari Al-Quran dalam mengambil setiap langkah, maka kelalaian tersebut tidak akan selalu berkelanjutan. Allah dalam firman-Nya berkali-kali mengingatkan kita untuk selalu berfikir“Afalaata’qilun, Afalaatadzakkaruun” terhadap apa yang terjadi di setiap kehidupan kita, supaya kita tidak merasa putus asa melainkan selalu percaya bahwa selalu ada kebaikan bahkan dalam keadaan yang sangat sempit.

أَفَمَنيَعْلَمُأَنَّمَآأُنزِلَإِلَيْكَمِنرَّبِّكَٱلْحَقُّكَمَنْهُوَأَعْمَىٰٓۚإِنَّمَايَتَذَكَّرُأُو۟لُوا۟ٱلْأَلْبَٰبِ

Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkanTuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,(Ar-Ra’d 13:19).

Sebagai makhluk Allah yang berakal, sudah sebaiknya kita untuk selalu berfikir, merenungi dan memahami setiap hal. Dalam sebuah kitab “Ta’limul Muata’alim” karya Syekh Az-Zarnuji menyebutkan bahwa bagi pelajar supaya ilmu mereka dapat tersimpan dengan baik, maka tidak hanya sekedar mengulang-ngulang pelajaran tetapi juga perlu untuk merenungi dan memahami pelajaran tersebut. Sehingga kita memang sangat perlu untuk berkali-berkali berfikir, merenungi dan intropeksi diri terhadap berbagai hal yang bahkan terlewat bagi kita tetapi sebenarnya memberikan kebaikan besar untuk diri kita.

Oleh karena itu, salah satu bentuk iman kita kepada Sang Ilahi Rabbi ialah sebaiknya kita selalu percaya atas setiap hal yang terjadi khususnya di luar kendali kita. Percaya bukan hanya sekedar meyakini kemudian berpangku tangan, tetapi meyakini juga merenungi untuk kemudian kita dapat lebih bijak dalam bersikap terhadap apa-apa yang terjadi. Sungguh dengan demikian akan terasa lebih indah juga menyadarkan kita akan setiap kuasa Allah. Maka, apakah kamu tidak berfikir?

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

HUMOR DI GRUP NERAKA EURO 2020: Dari Tumbangnya Sang Juara Bertahan Melawan Tim Dagelan, Hingga Sang Kuda Hitam yang Mampu Menahan Imbang Tim Bertabur Bintang

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

Pertandingan yang sangat menarik tersaji di Grup F yang disebut sebagai Grup Neraka dalam pergelaran Piala Eropa atau Euro 2020 tahun ini. Memang, meskipun digelar pada tahun 2021, akan tetapi UEFA memutuskan untuk tidak mengubah nama pesta sepakbola eropa tersebut. Karena alasan Pandemi Covid-19, membuat pentas sepakbola empat tahunan tersebut akhirnya diundur dan baru dilaksanakan pada tahun 2021.

Alasan Grup F Euro 2020 tersebut disebut sebagai Grup Neraka, dikarenakan diisi oleh beberapa Tim tangguh, diantaranya Portugal, Perancis, dan Jerman yang merupakan semifinalis Euro tahun lalu (2016), serta Hungaria yang merupakan Tim Kuda Hitam pada pentas sepakbola eropa tahun ini.

Portugal merupakan sang juara bertahan Piala Eropa setelah pada pergelaran tahun lalu (2016) mampu mengalahkan Perancis di partai final. Oleh sebab itu, dalam pergelaran Euro tahun ini, Tim besutan Fernando Santos tersebut dianggap sebagai Tim tangguh dan dijagokan untuk kembali meraih juara dalam pergelaran tersebut.

Akan tetapi, hasil pertandingan yang cukup mengejutkan terjadi pada pertandingan kedua Portugal dalam penyisihan di Grup F, yakni saat melawan Jerman. Sang Juara Bertahan harus menelan kekalahan dengan skor yang cukup mencolok, yakni 2 vs 4 dari Tim yang pada Piala Dunia 2018 menjadi Tim Dagelan, karena tidak lolos dalam putaran final.

Jerman memang pantas disebut sebagai Tim Dagelan pada pergelaran Piala Dunia 2018 yang diselenggarakan di Russia. Jerman yang merupakan peraih 4 (empat) kali gelar juara dalam Piala Dunia, serta peraih 3 (tiga) kali gelar juara dalam Piala Eropa harus rela takluk di hadapan Korea Selatan serta menempati posisi keempat Grup F, sehingga tidak lolos ke babak 16 besar pada pergelaran yang diselenggarakan di Russia tersebut.

Sementara itu, hasil yang mengejutkan juga terjadi pada pertandingan Perancis melawan Hungaria. Hungaria yang merupakan Sang Kuda Hitam mampu mengimbangi perlawanan dari Tim yang penuh dengan pemain bintang tersebut. Perancis memang memiliki banyak pemain bintang, diantaranya Kylian Mbappe, Karim Benzema, Paul Pogba, Ngo’lo Kante, Antoine Griezmann, Ousman Dembele, dll. Disamping itu, Perancis juga merupakan juara bertahan Piala Dunia (2018), serta Runner-up Piala Eropa tahun lalu (2016).

Kendati demikian, keempat Tim penghuni Grup Neraka tersebut masih memiliki peluang untuk melaju ke babak selanjutnya, yakni babak 16 besar. Setiap Tim masih menyisakan satu pertandingan di penyisihan Grup F, yang juga merupakan pertandingan penentuan. Perancis akan bersua Portugal, serta Jerman akan bersua dengan Hungaria pada hari Kamis, 24 Juni 2021, pukul 02.00 WIB. Maka dari itu, menarik untuk kita saksikan bersama akhir dari drama Grup Neraka di Piala Eropa 2020 ini.

Hallo Indonesia….!!!. adakah rencana lolos ke Piala Dunia…? Ah entahlah. Melawan Nguyen CS saja masih terseok-seok……

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

PK: Film Kontroversial yang Mengangkat Agama dan Budaya

Oleh: Mohammad Naelul A.

Poster Film PK

 

Eksistensi agama sebagai suatu kepercayaan kemudian menciptakan suatu gejala sosial yang begitu beragam. hal ini begitu banyak dibahas dalam film PK yang mana PK sendiri merujuk pada kata “Pekay” yang berarti “Mabuk” dalam hal ini bisa dimaknai bahwa seorang yang mengalami suatu yang membuatnya merasa keanehan dan membuatnya bertanya-tanya tidak jelas dipandang oleh orang berbudaya tertentu sebagai orang aneh atau mabuk, disini diceritakan seseorang yang benar-benar asing yang tak mengenal budaya atau agama ditempat ia berada. Berawal dari remot kontrol yang telah dicuri seseorang sehingga membuatnya termotivasi untuk mencari remot kontrol tersebut dan melalui banyak rintangan budaya serta agama. Mulai dari sinilah kritik tentang agama dan gejala sosial yang ia rasakan dimulai.

Agama seringkali digunakan sebagai suatu identitas yang tampak, bukan terkhusus pada perilaku atau perbuatan yang baik dalam beragama, melainkan sebuah identitas yang tampak karena simbol-simbol tertentu, sehingga setiap agama dipandang dari segi tampilannya. PK mengkritisi ini sebagai suatu yang seharusnya bukan menjadi patokan, perihal dari awal cerita bahwa ada satu agama yang dipandang radikal secara merata mealui pandangan dari identitasnya, seperti pemaknaan islam sebagai orang munafik atau radikal. Pada suatu kesempatan ia bereksperimen kepada lawan utamanya yaitu Tapaswi untuk memberi tahu apa agama dari setiap orang yang dibawa PK dan jawaban yang diberikan Tapaswi salah, karena sebenarnya mereka adalah orang yang memakai atribut yang saling ditukar satu sama lain.

Pandangan mengenai hal ini bagus, sebab banyak orang yang radikal atau melakukan kejahatan mengatasnamakan agama tertentu dengan memakai atribut/ identitas dari agama tersebut, sehingga memicu munculnya kebencian dimana-dimana, dan untuk identitas aslinya tidak ketahui apakah memang dari agama tersebut atau oknum yang sengaja menebar kebencian. Adanya label agama radikal bukan suatu hal yang patut dipercaya, sebab hampir semua agama menuntun untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak. Label tersebut hanya sebagai pengkategorian dari media massa, tidak ada agama yang radikal yang ada hanyalah orang radikal namun kebetulan mengangkat agama tertentu, sehingga agama tak bisa disamaratakan hanya dari satu perspektif saja. Seperti Islam yang dianggap radikal di beberapa negara oleh karena media hanya memperlihatkan Islam penuh dengan kekerasan yang terlihat dari oragnisasi Teroris ISIS.

Secara ringkas beberapa pesan yang bisa yang bisa diambil dari film PK ini, yang pertama adalah toleransi, secara tidak langsung apa yang dilakukan oleh PK ini memberi pesan untuk saling toleransi antar agama, di mana ia saat hanya mengetahui tuhan namun bukan agamanya ia melakukan beberapa kesalahan seperti ketika ia berupaya berdoa kepada tuhan dengan memberi sesembahan air kelapa (wujud doa orang Hindu) namun tempat yang ia tuju ialah sebuah gereja maka ditentang oleh orang geraja, kemudian saat mengetahui bahwa yang benar adalah memberikan wine atau anggur (Kristen) ia malah mendatangi rumah ibadah orang islam dan ditentang juga, begitu seterusnya. Hal ini menandakan bahwa setiap agama memiliki cara masing-masing untuk menyembah Tuhannya, sehingga ketika ada yang mengusik maka akan terjadi pertentangan atau kemarahan pihak tertentu.

Kedua, yang bisa diambil adalah kepedulian, nampak pada kecintaan terhadap agama atau tradisi agama yang kurang tepat. Pada film ini ditunjukan seseorang lebih mau untuk memberikan sesajen, hadiah atau sumbangan kepada tempat ibadah dari pada orang yang sebenarnya lebih membutuhkan seperti diungkap bahwa banyak orang yang membiarkan orang kelaparan diluar tempat ibadah sedang tempat itu diberi sesajen atau sumbangan terus menerus. Kemudian ada satu pernyataan PK yang menarik yaitu : “Jika Tuhan  memang merupakan Kebaikan Mutlak, kita tidak perlu menuang susu ke atas-Nya. Susu itu justru lebih baik diberikan kepada anak-anak yang kekurangan gizi”.

Ketiga, agama bukanlah suatu alat, terlihat pada persoalan utama film yang mengangkat masalah perdebatan antara PK dan pemuka agama yaitu Tapaswi, PK mengatakan adanya salah sambung yang dilakukan atau disampaikan oleh tapaswi kepada pengikutnya yang tampak sebagai pernyataan subjektif seorang tapaswi. Selain itu, Tapaswi hidup dalam kemegahan dan perannya selalu menyarankan orang lain untuk memberi sumbangan pada tempat ibadah,tetapi ternyata hanya untuk kepentingan golongannya pribadi. Disini ditegaskan bahwa agama bukanlah alat untuk mencari keuntungan, akan tetapi sebagai naungan dan pijakan. Kemudian PK mengkritisi sebenarnya ada dua Tuhan, yaitu Tuhan yang menciptakan manusia dan Tuhan yang diciptakan manusia (Tuhan Palsu) yang mana pada kasus Tapaswi memanfaatkan ketakutan manusia terhadap Tuhan untuk keuntungan dirinya dan kelompoknya.

Dalam film PK kebudayaan menjadi fokus utama yang dikritik, terutama kebudayaan yang berkaitan dengan agama, dan gejala sosial lainnya. Wujud kebudayaan sendiri dibagi menjadi 3 yaitu gagasan, aktivitas, dan artefak.

 

Pertama, gagasan atau wujud ideal. Dalam  film PK ini ditunjukan norma-norma penting yang ada dalam sebuah kebudayaan agama, sebagai contoh yang ditampilkan dalam film ini yaitu  aturan agama yang sudah melekat pada setiap pemeluknya, seperti aturan islam yang mengharamkan minuman beralkohol sehingga saat PK mencoba berdoa menggunakan wine tapi tempat yang ia tuju ialah wilayahnya umat islam maka langsung ditentang oleh umatnya.

Kedua, wujud kebudayaan berupa aktivitas atau tindakan. Termasuk diantaranya adalah adat istiadat yang berhubungan dengan agama dan cara beribadah atau melakukan ritual keagamaan. Seperti agama hindu berdoa dengan memberikan sesembahan, kemudian menganggap suatu yang nampak keramat sebagai tempat untuk berdoa, kemudian pada agamaKristen ritual keagamaan dilakukan dengan bernyanyi. Begitu pula dengan pemaknaan suatu yang dikenakan, pada agama hindu memakai kain serba putih untuk menunjukan seseorang sedang menjanda, sebaliknya pada kegiatan umum sebagai lambang kesucian untuk sebuah pernikahan. Lalu orang mengenakan baju htam sebagai lambang berduka sedang hitam juga digunakan sebagai penutup aurat atau pakaian penanda golongan wanita muslim,

Selain itu yang fenomenal dari film ini menegaskan tentang tanda suatu kebudayaan, seperti orang beragama dengan mengenakan atributnya masing-masing. oleh sebab itu agama telah membentuk suatu identitas seseorang dari apa yang dikenakan. Secara keseluruhan film PK ini disajikan dengan apik dan rapi, jalan cerita seorang tokoh yang mengembara mencari barangnya yang berharga berujung pada pembelajaran budaya dan agama yang disampaikan sesuai dengan realitas budaya yang ada. Realitas kebudayaan yang berpadu dengan agama membentuk suatu kebudayaan yang menciptakan identitas dari setiap pemeluknya. Film PK ini menunjukan banyak perbedaan, akan tetapi juga memberi pesan untuk saling bertoleransi antar umat agama dan kebudayaan serta prioritas dalam kepedulian, dan karena itulah film ini berhasil memberikan pesan positif kepda para penontonnya terlepas dari kontroversi yang menyelimuti film ini.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

Program Percepatan Kelulusan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada

Pertemuan Program Percepatan Kelulusan Mahasantri Secara Virtual

Jum’at, 18 Juni 2021 – Pesantren Riset Al-Muhtaada menggelar pertemuan virtual bersama para mahasantri angkatan pertama. Pertemuan tersebut dilatarbelakangi oleh salah satu agenda besar pesantren yakni“Program Percepatan Kelulusan Mahasantri”. Keberadaan program tersebut bertujuan untuk mempersiapkan mahasantri di fase akhir studi serta mempersiapkan rencana diri pasca studi.

Pengasuh pesantren, Ustadz Dani Muhtada menyampaikan banyak pesan serta arahan kepada mahasantri sebagai bekal untuk melangkah kedepan. Beliau berpesan bahwa mahasantri Angkatan pertama (Angkatan 2018) sesegara mungkin harus menyelesaikan mata kuliah di semester 7.  Pada semester 7 itu pula seluruh mahasantri diharapkan sudah kaffah melaksanakan KKN, PLP / PPL / PKL, dan draft Skripsi. Beliau juga memberikan arahan bahwa selayaknya skripsi yang diambil adalah skripsi yang dapat dan mampu diselesaikan dengan baik oleh mahasantri. Selanjutnya pengasuh berpesan untuk menyiapkan rencana pasca studi yang akan diambil. Dalam perencanaan pacsa studi sebaiknya membuat banyak rencana agar mudah beralih, ketika menuai ketidakberhasilan.

Terakhir, pesan yang begitu penting bagi mahasantri adalah untuk senantiasa memberikan kontribusi terbaik bagi lingkungan. Baik jika mahasantri akan meneruskan karir di Semarang maupun di kampung halaman masing-masing. Pertemuan tersebut hakikatnya memberikan banyak pandangan bagi mahasantri dan merupakan sebuah wejangan hebat dari pengasuh yang luar biasa. (WIA)

KONSEPSI DASAR HUBUNGAN ANTARA MUSLIM DENGAN NON- MUSLIM DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

Salah satu hal yang menjadi penyebab adanya Islamphobia di beberapa negara, khususnya di negara-negara barat adalah anggapan bahwa agama Islam adalah sumber teroris. Di samping realita yang terjadi pada saat ini, yaitu pelaku pengeboman yang mengatasnamakan Islam juga anggapan-anggapan bahwa agama Islam disebarkan dengan pedang, sebagaimana yang banyak ditulis oleh kaum-kaum orientalis. Sayangnya, banyak juga diantara kita khususnya kaum muslim sendiri yang masih percaya bahwa agama Islam disebarkan dengan pedang atau kekerasan.

Banyak pertanyaan, jika Islam itu cinta damai, mengapa Rasulullah SAW berperang?. Terdapat 2 (dua) pendapat mengenai konsepsi dasar hubungan antara muslim dengan non-muslim dalam perspektif Islam, yaitu pertama, atas dasar damai kah, dalam artian peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW hanya bersifat insidentil, dan kedua, atas dasar perang kah, dalam artian damai hanya bersifat insidentil.

Kelompok pertama berpendapat bahwa memerangi orang kafir hanya bersifat pembelaan, disebabkan karena mereka yang terlebih dahulu memerangi orang Islam (Jihad ad-daf atau jihad defensif). Sementara itu kelompok kedua berpendapat bahwa memerangi orang kafir itu atas dasar kekufurannya (Jihad at- thalab atau jihad ofensif).

Gus Nadir dalam bukunya “Islam Yes, Khilafah No! Jilid I (2018)”mengatakan bahwa pendapat pertama lah yang dipandang paling kuat, dimana peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW didasarkan atas jihad defensif, dalam artian membela diri atau karena ada alasan tertentu, bukan semata-mata hendak memaksa atau menaklukan dunia agar semua orang di muka bumi ini masuk Islam.

Pertama, adanya ijma’ bahwa dalam peperangan tidak dibenarkan membunuh wanita, pendeta (pemuka agama non-muslim), dan anak-anak yang belum dewasa. Dengan demikian, jika memerangi orang kafir disebabkan karena kekufurannya, maka seharusnya pendeta lah yang seharusnya paling utama untuk dibunuh, karena ialah sumber atau orang yang menyebarkan kekufuran.

Kedua, ayat-ayat al-Qur’an tentang peperangan tidak bersifat mutlak, melainkan muqoyyad, yakni dibatasi dan dikaitkan dengan suatu sebab yaitu membela diri atau pembelaan terhadap penganiayaan. Maka andaikata orang kafir meminta damai, al-Qur’an memerintahkan agar kaum muslimin menerima perdamaian tersebut.

Ketiga, al-Qur’an menganjurkan umat muslim untuk mengadakan hubungan baik dengan orang-orang kafir yang tidak memerangi dan mengusir kita.

Hal ini sebagaimana dalam QS. al-Mumtahanah: 8-9, dan QS. an-Nisa: 90, yang artinya:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil” (QS. al-Mumtahanah: 8).

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang- orang yang zalim (QS. al-Mumtahanah: 9).

“Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka (QS. an- Nisa: 90).

Misi Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Anbiya: 107 adalah sebagai rahmat untuk semesta alam, dan kemudian dijelaskan oleh nabi sendiri dalam hadist sahih Riwayat Imam Bukhori, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Menebar rahmat dan memperbaiki akhlak adalah misi utama Rasulullah SAW, bukan memaksa-maksa orang lain untuk masuk Islam atau mengikuti fatwa tafsiran sendiri, atau bahkan memaksa orang lain
untuk mengikuti pilihan politik kita.

“Kalau Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua orang di bumi. Maka apakah engkau (Muhammad) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?” (QS. Yunus: 99).

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Dzulqo’dah: Bulan di Antara 2 Hari Raya

Oleh: Muhamad Mahfud Muzadi

Dzulqadah berasal dari bahasa Arab  ذُو القَعْدَة (dzul-qa’dah) ysng dalam kamus al-Ma’ānī, kata dzū artinya pemilik, sementara kata “qa’dah” adalah tasyrif dari kata “qa’ada”, salah satu artinya tempat yang diduduki. Sehingga Dzulqadah secara etimologi bemakna orang yang memiliki tempat duduk (orang itu banyak duduk di kursi). Kemudian kata ini berkembang ke beberapa bentuk dan pemaknaan, antara lain taqā’ud yang artinya pensiun, yang berarti berkurang pekerjaannya sehingga dia akan banyak duduk.Dalam Lisānul ‘Arab disebutkan, bahwa bulan ke-11 ini dinamai Dzulqadah, karena pada bulan itu orang Arab tidak bepergian, tidak mencari pakan ternak, dan tidak melakukan peperangan. Hal itu dilakukan guna menghormati dan mengagunggkan bulan ini sehingga seluruh jazirah Arab dipenuhi ketenangan. Dan ada lagi yang mengatakan bahwa mereka tidak bepergiaan itu karena untuk persiapan ibadah haji di bulan dzulhijjah.Dalam kalender Jawa bulan ke-11 itu dinamai Dulkangidah. Bulan ini dikenal pula dengan nama bulan Apit atau Hapit (Jawa Kuno). Menurut masyarakat Jawa, apit berarti terjepit. Hal ini karena bulan tersebut terletak di antara dua hari raya besar yaitu, Idul Fitri (Syawal) dan Idul Adha (Dzulhijah).

Keutamaan Bulan Dzulqa’dah adalah diagungkan karena dalam bulan tersebut Allah melarang manusia untuk berperang. Hal ini senada dengan makna secara harfiyah dari “Dzulqa’dah” yaitu “penguasa genjatan senjata.” Disebutkan dalam Zaadul Masiir karena mulianya bulan itu, sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan. Kemudian, Bulan Dzulqa’dah merupakan salah satu dari bulan-bulan haji (asyhrul hajj) yang dijelaskan Allah SWT. Dalam tafsir Ibnu Katsir dikemukakan bahwa asyhur ma’lumat merupakan bulan yang tidak sah ihram untuk menunaikan ibadah haji kecuali pada bulan-bulan ini. Dan disebutkan pula bahwa bulan-bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Ibnu Rajab menyatakan dalam kitabnya “Lathaaiful Ma’arif” bahwa Rasulullah SAW melaksanakan ibadah umrah sebanyak empat kali dalam bulan-bulan haji. Sedangkan Ibnul Qayyim  menjelaskan bahwasannya menunaikan umrah di bulan-bulan haji sama halnya dengan menunaikan haji di bulan-bulan haji.Bulan-bulan haji ini dikhususkan oleh Allah SWT dengan ibadah haji, dan Allah mengkhususkan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya. Sementara umrah merupakan haji kecil (hajjun ashghar). Maka, waktu yang paling utama untuk umrah adalah pada bulan-bulan haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan haji tersebut.

Selain itu, pada bulan ini pahala amalan dilipatgandakan. At-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa bulan Dzulqa’dah adalah bulan haram. Yaitu bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai bulan yang suci lagi diagungkan kehormatannya. Di mana di dalamnya amalan-amalan yang baik akan dilipatgandakan pahalanya sedangkan amalan-amalan yang buruk akan dilipatgandakan dosanya.

Terakhir, hal penting lain yang membuat  bulan Dzulqa’dah istimewa ialah bahwa masa tiga puluh malam yang dijanjikan oleh Allah kepada Nabi Musa untuk bertemu dengan-Nya terjadi pada bulan Dzulqa’dah, sedangkan sepuluh malam sisanya terjadi pada bulan Dzulhijjah.

Semoga di bulan ini kita tidak loyo untuk terus meningkatkan ibadah kita kepada Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya agar menjadi hamba yang tidak merugi.

Wallahu A’lam.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.

SKRIPSI, DERITA MAHASISWA SEMESTER TUA

Oleh : Sudarto

Entah sudah berlangsung sejak kapan istilah skripsi yang menjadi derita bagi mahasiswa tingkat akhir muncul. Penulis sendiri sebagai seorang mahasiswa yang mulai memasuki tingkat akhir penasaran akan istilah tersebut. Apakah benar istilah itu benar adanya atau hanya sesuatu hal yang dibuat-buat oleh mahasiswa yang sebenarnya malas mengerjakannya? Tapi entahlah, sebelum menjajalnya sendiri kita tidak akan tahu persis apa yang dirasakan mereka (mahasiswa akhir).

Sebelum lebih jauh, skripsi merupakan tugas paling akhir yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjananya. Sama halnya dengan ujian nasional pada saat masih menjadi bangku sekolah. Namun, bedanya dengan ujian nasional adalah skripsi membutuhkan banyak hal dan harus dikerjakan dengan sebaik mungkin (jika ingin cepat selesai). Akan tetapi, namanya manusia kadang ada saja yang ketika tinggal sejengkal atau tinggal didepan mata selesai dan merasakan kedamaian tiba-tiba semua berubah ketika halangan dan rintangan datang menyerang (seperti negara api saja, haha). Pada akhirnya akan menyalahkan segalanya baik itu dosen yang sulit ditemui, banyaknya revisisan yang harus dibenarkan, ataupun terhalang oleh godaan untuk bekerja saja.

Banyak bukti sebenarnya dari testimoni para kating (kakak tinngkat) tentang lika liku mereka dalam mengerjakan skripsi. Ada yang dapat mengerjakan skripsi dengan cepat dan baik. Namun, tak sedikit juga dari mereka yang hingga kini masih belum menyelesaikannya. Ada yang beralasan dosennya kurang friendly, susah untuk ditemui, banyak revisiannya, dan masih banyak
lagi lainnya. Bahkan kenalan sendiri dari kampus sebelah (mungkin) malah ingin bekerja dulu dan meninggalkan skripsiannya dengan alasan belum mempunyai niat dan lelah menganggur. Jujur saja penulis merasa menyanyangkan keputusannya. Namun, memang banyak hal dibalik keputusannya itu.

Sebagai informasi atau sebagai bahan referensi menonton film diakhir minggu depan penulis menyarankan untuk menonton film dengan judul yang hampir sama dengan judul tulisan ini yaitu “ Skripsick: Derita Mahasiswa Abadi”, Dalam film ini diceritakan perjalanan mahasiswa tingkat akhir dalam mengerjakan skripsi hingga mendapatkan julukan mahasiswa abadi (Sedih sih,). Sedikit sinopsisnya, “Ditengah-tengah kegembiraan mahasiswa yang merayakan kelulusannya. Chara (Karakter utama) hanya dapat memandang sedih dari kejauhan. Junior-juniornya yang pernah ia ospek 4 tahun lalu telah lulus semua sementara dirinya yang telah 8 tahun kuliah masih belum lulus juga. Akhirnya, dimulailah keseriusan Chara untuk dapat lulus tahun ini, Namun seperti halnya dengan film komedi lainnya banyak hal yang akan menanti Chara kedepannya.“

Dari dalam film tersebut banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Seperti, bagaimana kita harus dapat dengan sungguh-sungguh dalam belajar agar tidak mengulang di tahun depan ataupun bahkan hingga tertinggal tidak oleh teman seangkatan melainkan malah tertinggal oleh junior kita. Dan pada intinya itulah pesan yang juga ingin saya sampaikan disini. Betapa pentingnya dalam menjalankan segala sesuatu. Jika kita sudah memulai sesuatu maka sudah seharusnya juga kita untuk menyelesaikannya. Semoga kita dapat menyelesaiakan kuliah kita tepat waktu. Aamiin.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

“Ats-tsabit wal mutaghayyir”

Oleh: Rayyan Alkhair

Kalimat diatas adalah adalah sedikit nasihat yang disampaikan oleh DR. Ahwan Fanani dalam acara “Halal Bi Halal Keluarga Besar Pesantren Riset Al-Muhtada” yang dilaksanakan pada tanggal 31 Mei tahun 2021 pukul 19.30 WIB melalui media daring zoom meeting. Acara halal bi halal tersebut bertemakan “Sucikan Hati Dengan Pererat Silaturahmi Dimasa Pandemi”.

Jika kita melakukan kilas balik sebelum masa pandemi covid-19, seluruh kegiatan baik itu kegiatan ekonomi, sosial ataupun keagamaan dilakukan secara bebas tanpa adanya pembatasan atau bahkan pelarangan dalam ruang publik. Namun, setelah datangnya covid-19 ke Indonesia dan statusnya naik menjadi pandemi, kegiatan sosial, ekonomi dan keagamaan dibatasi bahkan dilarang untuk dilakukan dalam ruang publik untuk mencegah penyebaran virus.

Namun, bagaimanapun buruknya kondisi yang dialami oleh sebuah negara, ia harus tetap menjalankan fungsi dan perannya sekalipun dalam keadaan pandemi ini. Konstelasi yang dihadapi oleh Indonesia membuat negara ini melakukan penyesuaian-penyesuaian atau proses adaptasi dimasa pandemi. Tidak hanya negara saja yang sedang melalui “state of survival”, namun masyarakat juga beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat negara.

Dua kali sudah kita melalui hari raya idul fitri dimasa pandemi ini, dimana baik tahun  2020 maupun sekarang pembatasan atau larangan untuk pulang ke kampung halaman atau pergi ke tempat tertentu untuk bersilaturahim diberlakukan. Dengan adanya pembatasan bahkan larangan mudik atau berpergian, kebutuhan emosional masyarakat agaknya susah dipenuhi.

Hal ini mungkin kita dapat ketahui dari beberapa story atau upload teman-teman kita di sosmed tentang betapa pandemi ini menghalangi mereka untuk sekedar melepas rindu dengan bertemu keluarga atau kerabat di tempat nun jauh. Namun, keadaan yang sudah kita lalui bersama selama satu tahun lebih ini membuat kita terbiasa atau beradaptasi dalam situasi pandemi.

Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya kegiatan-kegiatan daring seperti webminar (seminar daring), khataman online, silaturahmi online dan kegiatan-kegiatan lain yang sebelum pandemi melanda dilakukan secara luring, namun setelah pandemi dilakukan melalui jaringan internet.

Hal ini menurut DR. Ahwan Fanani selaku narasumber acara halal bi halal Pesantren Riset Al-Muhtada adalah lumrah bahkan sudah diprediksi sejak tahun 60an atau yang disebut oleh para ilmuan sebagai sebuah era “postmodern”. DR. Ahwan menjelaskan bahwa salah satu ciri khas dari era ini adalah terjalinnya hubungan yang sekedar simbolis atau simulasi lewat media (interaksi sekunder).

Proses inilah yang sedang kita lalui mulai dari satu tahunlalu, bahkan adaptasi yang kita lakukan bisa dikatakan cepat dan cenderung menyasar kepada sendi-sendi kehidupan yang fundamental atau kita kenal dengan era disruptif. Dalam era disruptif, perubahan-perubahan terjadi secara cepat, manusia didalamnya termasuk negara-negara bersaing satu sama lain untuk beradaptasi dengan perubahan yang niscaya. Perubahan-perubahan inilah yang menciptakan tantangan bagi insan modern di era disruptif.

Ada hal-hal yangberubah dan ada hal-hal yang ajeg atau kita mengenal sebuah asas  “ats-tsabit wal mutaghayyir”. Hal-hal yang cenderung trivial atau periferal akan mudah berubah namun, hal-hal yang sifatnya substansial seperti nilai dan norma akan sulit diubah. Kaidah inilah yang memegang kunci bagi insan agamis dalam melihat dan menghadapi perubahan dimasa pandemi.

Mungkin, metode atau perbuatan, pranata dan media dalam melakukan sesuatu boleh berganti menyesuaikan kebutuhan atau keadaan dalam suatu waktu dan tempat. Namun, substansi yang menjiwai akan sama atau tetap. Sama ketika kita melakukan kegiatan-kegiatan virtual dimasa pandemi ini, dimana kegiatan dilakukan secara dari atau tanpa tatap muka secara harfiah. Namun, substansi yang ada pada kegiatan yang dilaksanakan tetap tidak berubah.

Kemampuan meninjau seperti inilah yang dibutuhkan oleh insan di era disruptif ini, jangan sampai hal-hal yang trivial mengacaukan kita dan kita malah menganggapnya sebagai sebuah hal yang substansial atau krusial. Tempatkan apa yang menjadi tantangan sebagai tantangan, kelemahan sebagai kelemahan, kekuatan sebagai kekuatan dan kesempatan sebagai kesempatan. Dengan demikian, perubahan seperti apapun akan mudah dilalui.

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki kemampuan dibidang olahraga sepak bola, maka ia akan mengasahnya dengan mengikuti pelatihan sekolah sepak bola atau memasuki program studi keolahragaan dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penambahan kualitasnya bermain sepak bola.

Namun, kelebihan ini merupakan pedang bermata dua, ia juga bisa berlaku sebagai kelemahan yang hanya akan mengarah kepada diri sendiri, bukan mengatasi persaingan yang ketat di era disruptif ini dimana perubahan sangat cepat dan membutuhkan pengataman yang cermat dalam melihat perubahan. Bisa jadi ia hanya akan berfokus melatih kemampuan sepak bolanya dan hanya memiliki kemampuan dibidang tersebut.

Namun, karena suatu pesepak bolaan di negaranya diisi oleh praktik korup dan diwarnai tindakan anarkis, maka akhirnya liga sepak bola ditiadakan dalam jangka waktu tertentu. ia akan kehilangan profesinya sebagai atlet profesional tanpa memiliki kemampuan lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.