Manakah yang Menjadi Prioritas?

Oleh: Zahrotuz Zakiyah

Prioritas yang kita ketahui adalah apa yang kita utamakan atau apa yang selalu kita anggap paling utama. Dalam KBBI prioritas adalah yang didahulukan dan diutamakan daripada yang lain, sedangkan memprioritaskan berarti mendahulukan atau mengutamakan sesuatu daripada yang lain.

Berbicara mengenai prioritas, pastinya bagi orang yang beragama islam memprioritaskan hal beribadah kepada sang kholiq. Namun yang saya bahas adalah prioritas dalam hal waktu, atau lebih tepatnya mana waktu yang kita prioritaskan dalam hal melakukan aktivitas sehari-hari.

Contoh hal lain dalam lingkup prioritas yang kita ketahui umumnya yaitu dalam hal berpacaran. Dalam hal ini pastinya kita tahu bahwa pacar ini selalu menjadi prioritas kita, padahal belum tentu dia (sang cowok) memprioritaskan kita. Seorang wanita yang bucin (budak cinta) pastinya lebih memprioritaskan seorang cowoknya, seperti dalam hal chattingan, dia menyematkan chat cowoknya, karena menurutnya dia orang yang diprioritaskan dalam hal berhubungan, padahal cowoknya belum tentu memprioritaskan.

Kita sebagai orang yang berpendidikan jangan sampai terjerumus dalam hal yang negatif, terutama dalam hal percintaan ini. Karena menurut saya, pacar bukanlah seorang yang patut di prioritaskan, tetapi dia hanyalah seorang yang dapat memacu semangat kita. Lantas apa yang patut kita prioritaskan?

Seorang mahasiswa yang sekaligus menjadi seorang santri, mereka harus pandai dalam hal memprioritaskan waktu. Karena mereka di hadapkan dengan 2 waktu, yaitu waktu untuk kuliah dan waktu untuk kegiatan pondoknya. Apakah kita harus memprioritaskan keduannya atau salah satunya?

Menurut saya, jadikan keduanya sebagai prioritas di waktu yang tepat. Maksudnya yaitu, dimana saat kita sedang melakukan kegiatan kuliah, maka prioritaskan waktu kuliah kita dan gunakan dengan sungguh-sungguh. Kemudian dimana saat waktu untuk pondok tiba, maka jadikanlah prioritas waktu tersebut. Jangan sampai kita memprioritaskan waktu pondok di dalam waktu kuliah, dan sebaliknya. Karena pasti keduanya memiliki waktu sendiri-sendiri. Sesibuk apapun semua itu, kita harus pandai dalam mengaturnya.

Contohnya, kita kuliah diwaktu pagi hingga sore, mungkin ada beberapa yang waktu kuliahnya di malam hari. Sedangkan kegiatan pondok biasanya dilaksanakan pada malam hari. Jangan sampai kita absent dalam kegiatan pondok dikarenakan terlalu banyak tugas kuliah yang belum kita kerjakan. Jikapun itu bukan karena tugas kuliah, kita biasakan izin kepada orang yang sudah ditentukan untuk mengatur jalannya kegiatan tersebut. Hal tersebut sudah jelas, dimana kita harus memprioritaskan dua waktu yang tepat.

Jika kita memprioritaskan dua waktu yang tepat, maka itu akan menjadikan sebuah kebiasaan bagi diri kita. Selalai apapun orang, jika dia sudah memprioritaskannya maka dia akan tetap melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Maka, jangan biarkan dua waktu yang berharga kita biarkan bertaburan karena kita hanya memprioritaskan salah satunya.

Bukan hanya untuk seorang mahasiswa yang sekaligus santri, tetapi siapapun itu kita harus memprioritaskan yang tepat. Mana yang patut menjadi prioritas, maka prioritaskan! Jangan sampai karena kita sudah memprioritaskannya, tetapi kita malah membiarkannya begitu saja. Dan jangan biarkan karena kita telah memprioritaskannya, ternyata dibalik itu ada hal yang lebih penting tetapi kita biarkan begitu saja karena kita telah memprioritaskan satu hal.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

 

Berharap dengan Berdoa

Oleh: Khasiatun Amaliyah

Beberapa sifat manusia di antaranya, tidak pernah puas akan sesuatu yang sudah ia miliki atau dapatkan. Selalu menginginkan dan mengharapkan lebih dari apa yang sudah ia peroleh saat ini. Menjadi baik jika rasa tidak puas tersebut adalah bentuk rasa ingin dan haus akan ilmu pengetahuan dan hal-hal lain yang pada dasarnya adalah untuk mencari ridha-Nya. Begitu pun sebaliknya, menjadi buruk apabila rasa ingin dan haus untuk mencari lebih itu mengarahkan pada perilaku dan niat-niat buruk. Misalnya ingin dipandang baik di mata manusia, munculnya perilaku sombong, dan perasaan bahwa segala sesuatu yang diperoleh karena kerja kerasnya, sebab hebatnya diri, padahal semua tidak lain karena ada campur tangan-Nya. Manusia lemah tanpa pertolongan dari-Nya.

Bolehkah seseorang berharap? Boleh atau tidak? Bagaimana jadinya jika dalam hidup manusia tidak memiliki harapan? Menjalani hidup apa adanya, tidak adanya gairah dan semangat dalam meraih harapan tersebut. Ibaratnya harapan merupakan sesuatu yang begitu ingin direngkuh bagaimana pun itu. Menjadikan diri menjadi manusia optimis dan penuh semangat. Terus saja langkahnya berjalan menggapai harapan, tapi sayap dipatahkan bahkan sebelum terbang.

Gagal. Satu kata yang mampu membuatnya kecewa, bahkan sempat meremehkan, dan menyalahkan diri. Mempertanyakan kenapa harus gagal? Sebenarnya permasalahan bukan terletak pada kegagalan itu, tapi bagaimana seseorang bersikap setelah berada pada titik keadaan gagal atau berhasil.

Kebanyakan manusia lebih sering memperbesar harapan dan angan-angan tanpa disertai kesadaran diri dengan doa yang pasti. Berdoa dan ingat pada-Nya hanya pada saat dan situasi tertentu saja, seolah-olah hanya dengan mengucap beberapa bait kata seketika langsung terjadi.

Berdoa ibarat senjata yang luar biasa bagi kita, terlebih seorang muslim. Akan tetapi tanpa mau mengusahakan sendiri dan keyakinan yang benar dalam berdoa, bagaimana bisa apa yang diharapkan akan terwujudkan?

Jikalau saja seseorang ragu terhadap apa yang mereka doakan, harapkan, dan usahakan bagaimana mungkin Dia akan percaya bahwa kita siap menerima apa yang kita minta?

Berharap dengan berdoa, mempercayainya, dan yakin dalam mengucapkan serta mengusahakan. Harusnya menjadikan manusia sadar, bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan kehendak-Nya. Berharap melalui doa, jika harapan itu terjadi maka itulah bentuk kebaikan dan kasih sayang-Nya pada kita sebagai seorang hamba. Dia melihat usaha, kepayahan, kesulitan, dan apa-apa yang telah kita lakukan. Jikalau pun harapan itu ternyata tidak terjadi, tidak apa-apa, Dia masih ingin melihat kesungguhan kita dalam berdoa dan berusaha. Bisa jadi ternyata, apa yang kita harapkan ternyata bukanlah yang terbaik, dan ada sesuatu yang lebih baik, maka bersabarlah dan jangan berputus asa.

Rasakan bedanya, saat berharap dengan benar-benar melibatkan-Nya. Tidak akan ada rasa kecewa, sedih, dan prasangka buruk lainnya. Justru kita akan menjadi pribadi yang senantiasa mudah bersyukur terhadap segala sesuatu yang terjadi, dari yang terkecil sekalipun.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang Angkatan 2020

Nasib Petani Dikala Pandemi

Oleh: Mohammad Fattahul Alim

Petani, kata yang sebagian besar masyarakat awam akan mengatakan bahwa petani merupakan orang yang bermata pencaharian di bidang pertanian atau perkebunan. Secara teoretis, pengertian tersebut tidaklah salah karena sesuai dengan kondisi empirisnya di lapangan. Petani juga memiliki makna, hakikat, dan peran yang sangat mendalam dan berarti terkhusus untuk bangsa Indonesia itu sendiri yang mendapatkan julukan “Negara Agraris”. Peran petani sangat besar untuk negeri ini karena mereka merupakan penyangga ketahanan pangan nasional sejak dahulu hingga sekarang. Hal ini tidaklah mengherankan jika waktu itu Presiden Ir. Soekarno pernah memberikan singkatan khusus yakni Petani (Penyangga Tatanan Negara Indonesia). Nasib para petani sejak dulu sampai sekarang belum dapat menunjukkan progres kesejahteraan yang semakin meningkat, terlebih dikala Pandemi Covid-19 saat ini.

Tingkat kesejahteraan petani selama pandemi ini justru menurun, walaupun aktivitas pertanian para petani terlihat berlangsung normal seperti biasa. Stok hasil pertanian yang semakin melimpah tidak dibarengi dengan peningkatan permintaan oleh masyarakat. Ini tidak terlepas dari adanya pembatasan mobilisasi sosial demi memutuskan rantai penyebaran Covid-19 sepertipasar yang berakibat terhadap distribusihasil pertanian menjadi terganggu dan tersendat. Konsekuensi dari kondisi itu secara tidak langsung mengakibatkan hukum permintaan pun berlaku. Harga-harga komoditas pertanian menjadi turun sedangkan kebutuhan sehari-hari petani justru meningkat. Petani sangat kesulitan menjual hasil panennya dengan harga wajar atau normal. Contohnya di Kabupaten Demak, berbagai komoditas pertanian seperti padi dan bawang merah memiliki harga jual yang sangat rendah di pasaran. Harga jual panen bawang merah pada saat kondisi normal berkisar antara Rp25.000 sampai Rp30.000 per kilogramnya. Akan tetapi, pada masa panen saat pandemi Covid-19, harganya menurun drastissekitar antara Rp5.000 sampai Rp10.000 per kilogramnya. Harga ini berlaku jika kondisi bawang merah berkualitas bagus, jika kualitas kurang bagus makaharganyabisa beradadi bawah Rp5.000 per kilogram atau tidak bernilai sama sekali.

Kondisi yang dialami para petani ini tidak hanya berlangsung sekali, tetapi telah dua sampai tiga kali terhitung sejak awal pandemi Covid-19. Para petani banyak mengalami kerugian belasan sampai puluhan juta setiap panennya karena telahmengeluarkan biaya untuk membeli bibit, membayar tenaga kerja, dan membeli pupuk dan pestisida hama tanaman. Biaya faktor-faktor produksi (input) tersebut tiap tahunnya semakin meningkat sedangkan harga hasilkomoditas pertanian (output)nyajustru menurun atau tidak stabil. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya serangan hama dan penyakit pada tanaman. Adanya pembatasan mobilitas masyarakat seperti PPKM yang diberlakukan saat ini cukup menyulitkan distribusi hasil komoditaspertanian. Dengan demikian, situasi tersebut akhirnya berimbas terhadap tingkat penghasilan dan kesejahteraan petani yang menurun.

Langkah dan upaya konkret harus segera dilakukan demi menjaga dan menyelamatkan nasib petani terlebih di masa pandemi Covid-19. Peran petani sangatlah vital sebagai penyangga ketahanan pangan nasional demi memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dan untuk mencegah terjadinya krisis pangan nasional selama pandemi. Upaya ini bisa dilakukan mulai dari unit terkecil seperti pemerintah desa masing-masing. Komunikasi sangat penting dilakukan antara pejabat desa dan para petani untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan permasalahan ini. Contoh langkah konkret seperti membuat kelompok tanisebagai upaya pemberdayaan dibidang pertanian, dan membuat kreasi dan inovasi berbagai olahan atau makanan dari hasil pertanian yang dibutuhkan oleh masyarakat selama pandemi. Pemerintah desa juga perlu berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan dinas-dinas terkait agar harga dan distribusi komoditas pertanian kembali normal dengan tetap mematuhi PPKM yang sedang berlangsung.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Islam: Perihal Mencintai bukan Menghakimi

Oleh: Fafi Masiroh

Salah satu anugerah yang harus selalu kita syukuri hingga saat ini yaitu karena Allah telah menjadikan kita sebagai umat muslim, yakni umat yang memeluk agama islam. Mungkin sejak kecil sebagian atau bahkan hampir dari kita memeluk agama islam karena alasan “mengikuti jalan orang tua”, tetapi sejatinya ketika kita sudah lebih besar kelak kita akan menyadari bahwa menjadi seorang muslim adalah sebuah jalan yang indah. Akan tetapi, masih menjadi sebuah keresahan ketika orang di luar yang cukup banyak menganggap agama islam sebagai agama yang keras, bahkan beberapa menganggap islam mengajarkan perbuatan yang bersifat radikal. Menyadur dari nu.online bahwa islam sebenarnya secara tidak langsung dijebak sebagai agama teroris, misalnya dalam kutipan Adian Husaini (2004) yang menganalisis pendapat Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Who Are We?:The Challenges to America’s National Identity” pada tahun 2004. Huntington menuliskan Islam sebagai musuh utama Barat pasca Perang Dingin dengan bahasa yang lugas. Disebutkan juga dalam buku Muslim Society karya Ernest Gelner (1981) bahwa komunitas Muslim dipahami sebagai sumber pemikiran dan gerakan radikal, sedangkan anggapan tersebut sebenarnya cara  bagi komunitas Muslim  tertentu dalam mengembangkan nilai-nilai keyakinan akibat desakan penguasa, kolonialisme maupun westernisasi. Hal tersebut yang mendorong persepsi terhadap islam mengerucut terlihat buruk dan kemudian menimbulkan kerugian besar bagi keseluruhan umat islam.

Keadaan yang sedemikian seharusnya tidak boleh dibiarkan untuk terus berkelajutan. Agama islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW pertama kali merupakan rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran islam di tengah masyarakat saat masa Rasulullah SAW mendatangkan beribu kebaikan. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita untuk melanjutkan langkah Rasulullah SAW. Menyampaikan islam dengan bahasa yang santun, sikap yang sopan dan selalu mendatangkan kegembiraan. Agama islam bukan hanya sekedar perihal hukum-hukum agama terkait halal atau haram, yang pada akhirnya menuju jalan yang terkesan menghakimi. Misalnya saja, masih bisa ditemui beberapa orang yang menganggap dirinya sebagai “ustadz” kemudian dengan sesukanya mengharamkan seseorang berbuat sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan syariah islam. Hingga kemudian dia menjudge seseorang ataupun kelompok berbuat bid’ah, kelak akan masuk neraka dan ancaman sebagainya yang menghadirkan islam sebagai agama yang keras dan menakutkan.

Agama islam sejatinya agama yang mendatangkan kegembiraan dan sama sekali tidak menyusahkan. Allah memperbolehkan bagi orang yang sedang kelaparan untuk memakan daging babi ketika sudah tidak ditemukan lagi makanan sebagai usaha mempertahankan hidup. Allah memberikan kemudahan bagi orang sakit untuk salat dengan duduk jika tidak mampu berdiri, bahkan Allah memperbolehkan tayamum ketika tidak ditemukan lagi air untuk berwudhu saat akan sholat. Agama islam sangat luas, tidak hanya mengenai halal-haram tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Allah menciptakan bumi tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi umat islam, tetapi mereka umat non-islam pun leluasa untuk tinggal dan menikmati hidupnya di bumi. Sungguh betapa besar kasih sayang Allah, sehingga alangkah baiknya kita sebagai hamba Allah untuk saling mencintai dan mengasihi, bukan menghakimi.

Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menyampaikan kebaikan islam dengan ma’ruf dan kegembiraan. Begitupun dalam melarang sesuatu yang bertentangan ajaran islam kepada lainnya dengan ma’ruf, tanpa ada paksaan, ancaman pun menghakimi.

Sumber:

Saifuddin,Ahmad. 2020. Islam, Radikalisme, dan Terorisme. https://www.nu.or.id/post/read/64719/islam-radikalisme-dan-terorisme diakses pada 11 Juli 2021.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Apakah Kamu Tidak Berfikir?

Oleh : FafiMasiroh

Akhir-akhir ini kehidupan semakin terasa tidak baik-baik saja. Belum selesai dalam diri kita untuk menerima sepenuhnya adanya pandemi, kemudian ditambah beberapa kehilangan yang menyelimuti. Kehilangan waktu berkumpul bersama dengan keluarga dan teman-teman, hingga beberapa ratusan lebih orang-orang kehilangan keberadaan manusia-manusia terkasihnya. Dari setumpuk peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, kita masih saja mudah lalai untuk sekedar mengambil nilai positif dari apa yang telah kita lalui.

Misalnya saja adanya pandemi yang masih berkelanjutan sampai saat ini, mengingatkan kita bahwa sikap saling peduli itu sangat penting. Bisa kita realisasikan dengan berbagai hal kecil, seperti mengingatkan memakai masker, menanyakan kabar atau paling kecil kita menahan diri untuk di rumah saja ketika tidak ada keperluan yang mendesak. Sedihnya, hal tersebut masih saja kita lalai untuk benar-benar memahami dan menindakinya.

Manusia memang mudah lalai terlebih jika selalu mengedapankan nafsu dalam setiap melangkah. Sehingga, bila saja kita selalu berangkat dari Al-Quran dalam mengambil setiap langkah, maka kelalaian tersebut tidak akan selalu berkelanjutan. Allah dalam firman-Nya berkali-kali mengingatkan kita untuk selalu berfikir“Afalaata’qilun, Afalaatadzakkaruun” terhadap apa yang terjadi di setiap kehidupan kita, supaya kita tidak merasa putus asa melainkan selalu percaya bahwa selalu ada kebaikan bahkan dalam keadaan yang sangat sempit.

أَفَمَنيَعْلَمُأَنَّمَآأُنزِلَإِلَيْكَمِنرَّبِّكَٱلْحَقُّكَمَنْهُوَأَعْمَىٰٓۚإِنَّمَايَتَذَكَّرُأُو۟لُوا۟ٱلْأَلْبَٰبِ

Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkanTuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,(Ar-Ra’d 13:19).

Sebagai makhluk Allah yang berakal, sudah sebaiknya kita untuk selalu berfikir, merenungi dan memahami setiap hal. Dalam sebuah kitab “Ta’limul Muata’alim” karya Syekh Az-Zarnuji menyebutkan bahwa bagi pelajar supaya ilmu mereka dapat tersimpan dengan baik, maka tidak hanya sekedar mengulang-ngulang pelajaran tetapi juga perlu untuk merenungi dan memahami pelajaran tersebut. Sehingga kita memang sangat perlu untuk berkali-berkali berfikir, merenungi dan intropeksi diri terhadap berbagai hal yang bahkan terlewat bagi kita tetapi sebenarnya memberikan kebaikan besar untuk diri kita.

Oleh karena itu, salah satu bentuk iman kita kepada Sang Ilahi Rabbi ialah sebaiknya kita selalu percaya atas setiap hal yang terjadi khususnya di luar kendali kita. Percaya bukan hanya sekedar meyakini kemudian berpangku tangan, tetapi meyakini juga merenungi untuk kemudian kita dapat lebih bijak dalam bersikap terhadap apa-apa yang terjadi. Sungguh dengan demikian akan terasa lebih indah juga menyadarkan kita akan setiap kuasa Allah. Maka, apakah kamu tidak berfikir?

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

HUMOR DI GRUP NERAKA EURO 2020: Dari Tumbangnya Sang Juara Bertahan Melawan Tim Dagelan, Hingga Sang Kuda Hitam yang Mampu Menahan Imbang Tim Bertabur Bintang

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

Pertandingan yang sangat menarik tersaji di Grup F yang disebut sebagai Grup Neraka dalam pergelaran Piala Eropa atau Euro 2020 tahun ini. Memang, meskipun digelar pada tahun 2021, akan tetapi UEFA memutuskan untuk tidak mengubah nama pesta sepakbola eropa tersebut. Karena alasan Pandemi Covid-19, membuat pentas sepakbola empat tahunan tersebut akhirnya diundur dan baru dilaksanakan pada tahun 2021.

Alasan Grup F Euro 2020 tersebut disebut sebagai Grup Neraka, dikarenakan diisi oleh beberapa Tim tangguh, diantaranya Portugal, Perancis, dan Jerman yang merupakan semifinalis Euro tahun lalu (2016), serta Hungaria yang merupakan Tim Kuda Hitam pada pentas sepakbola eropa tahun ini.

Portugal merupakan sang juara bertahan Piala Eropa setelah pada pergelaran tahun lalu (2016) mampu mengalahkan Perancis di partai final. Oleh sebab itu, dalam pergelaran Euro tahun ini, Tim besutan Fernando Santos tersebut dianggap sebagai Tim tangguh dan dijagokan untuk kembali meraih juara dalam pergelaran tersebut.

Akan tetapi, hasil pertandingan yang cukup mengejutkan terjadi pada pertandingan kedua Portugal dalam penyisihan di Grup F, yakni saat melawan Jerman. Sang Juara Bertahan harus menelan kekalahan dengan skor yang cukup mencolok, yakni 2 vs 4 dari Tim yang pada Piala Dunia 2018 menjadi Tim Dagelan, karena tidak lolos dalam putaran final.

Jerman memang pantas disebut sebagai Tim Dagelan pada pergelaran Piala Dunia 2018 yang diselenggarakan di Russia. Jerman yang merupakan peraih 4 (empat) kali gelar juara dalam Piala Dunia, serta peraih 3 (tiga) kali gelar juara dalam Piala Eropa harus rela takluk di hadapan Korea Selatan serta menempati posisi keempat Grup F, sehingga tidak lolos ke babak 16 besar pada pergelaran yang diselenggarakan di Russia tersebut.

Sementara itu, hasil yang mengejutkan juga terjadi pada pertandingan Perancis melawan Hungaria. Hungaria yang merupakan Sang Kuda Hitam mampu mengimbangi perlawanan dari Tim yang penuh dengan pemain bintang tersebut. Perancis memang memiliki banyak pemain bintang, diantaranya Kylian Mbappe, Karim Benzema, Paul Pogba, Ngo’lo Kante, Antoine Griezmann, Ousman Dembele, dll. Disamping itu, Perancis juga merupakan juara bertahan Piala Dunia (2018), serta Runner-up Piala Eropa tahun lalu (2016).

Kendati demikian, keempat Tim penghuni Grup Neraka tersebut masih memiliki peluang untuk melaju ke babak selanjutnya, yakni babak 16 besar. Setiap Tim masih menyisakan satu pertandingan di penyisihan Grup F, yang juga merupakan pertandingan penentuan. Perancis akan bersua Portugal, serta Jerman akan bersua dengan Hungaria pada hari Kamis, 24 Juni 2021, pukul 02.00 WIB. Maka dari itu, menarik untuk kita saksikan bersama akhir dari drama Grup Neraka di Piala Eropa 2020 ini.

Hallo Indonesia….!!!. adakah rencana lolos ke Piala Dunia…? Ah entahlah. Melawan Nguyen CS saja masih terseok-seok……

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Program Percepatan Kelulusan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada

Pertemuan Program Percepatan Kelulusan Mahasantri Secara Virtual

Jum’at, 18 Juni 2021 – Pesantren Riset Al-Muhtaada menggelar pertemuan virtual bersama para mahasantri angkatan pertama. Pertemuan tersebut dilatarbelakangi oleh salah satu agenda besar pesantren yakni“Program Percepatan Kelulusan Mahasantri”. Keberadaan program tersebut bertujuan untuk mempersiapkan mahasantri di fase akhir studi serta mempersiapkan rencana diri pasca studi.

Pengasuh pesantren, Ustadz Dani Muhtada menyampaikan banyak pesan serta arahan kepada mahasantri sebagai bekal untuk melangkah kedepan. Beliau berpesan bahwa mahasantri Angkatan pertama (Angkatan 2018) sesegara mungkin harus menyelesaikan mata kuliah di semester 7.  Pada semester 7 itu pula seluruh mahasantri diharapkan sudah kaffah melaksanakan KKN, PLP / PPL / PKL, dan draft Skripsi. Beliau juga memberikan arahan bahwa selayaknya skripsi yang diambil adalah skripsi yang dapat dan mampu diselesaikan dengan baik oleh mahasantri. Selanjutnya pengasuh berpesan untuk menyiapkan rencana pasca studi yang akan diambil. Dalam perencanaan pacsa studi sebaiknya membuat banyak rencana agar mudah beralih, ketika menuai ketidakberhasilan.

Terakhir, pesan yang begitu penting bagi mahasantri adalah untuk senantiasa memberikan kontribusi terbaik bagi lingkungan. Baik jika mahasantri akan meneruskan karir di Semarang maupun di kampung halaman masing-masing. Pertemuan tersebut hakikatnya memberikan banyak pandangan bagi mahasantri dan merupakan sebuah wejangan hebat dari pengasuh yang luar biasa. (WIA)

Dzulqo’dah: Bulan di Antara 2 Hari Raya

Oleh: Muhamad Mahfud Muzadi

Dzulqadah berasal dari bahasa Arab  ذُو القَعْدَة (dzul-qa’dah) ysng dalam kamus al-Ma’ānī, kata dzū artinya pemilik, sementara kata “qa’dah” adalah tasyrif dari kata “qa’ada”, salah satu artinya tempat yang diduduki. Sehingga Dzulqadah secara etimologi bemakna orang yang memiliki tempat duduk (orang itu banyak duduk di kursi). Kemudian kata ini berkembang ke beberapa bentuk dan pemaknaan, antara lain taqā’ud yang artinya pensiun, yang berarti berkurang pekerjaannya sehingga dia akan banyak duduk.Dalam Lisānul ‘Arab disebutkan, bahwa bulan ke-11 ini dinamai Dzulqadah, karena pada bulan itu orang Arab tidak bepergian, tidak mencari pakan ternak, dan tidak melakukan peperangan. Hal itu dilakukan guna menghormati dan mengagunggkan bulan ini sehingga seluruh jazirah Arab dipenuhi ketenangan. Dan ada lagi yang mengatakan bahwa mereka tidak bepergiaan itu karena untuk persiapan ibadah haji di bulan dzulhijjah.Dalam kalender Jawa bulan ke-11 itu dinamai Dulkangidah. Bulan ini dikenal pula dengan nama bulan Apit atau Hapit (Jawa Kuno). Menurut masyarakat Jawa, apit berarti terjepit. Hal ini karena bulan tersebut terletak di antara dua hari raya besar yaitu, Idul Fitri (Syawal) dan Idul Adha (Dzulhijah).

Keutamaan Bulan Dzulqa’dah adalah diagungkan karena dalam bulan tersebut Allah melarang manusia untuk berperang. Hal ini senada dengan makna secara harfiyah dari “Dzulqa’dah” yaitu “penguasa genjatan senjata.” Disebutkan dalam Zaadul Masiir karena mulianya bulan itu, sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan. Kemudian, Bulan Dzulqa’dah merupakan salah satu dari bulan-bulan haji (asyhrul hajj) yang dijelaskan Allah SWT. Dalam tafsir Ibnu Katsir dikemukakan bahwa asyhur ma’lumat merupakan bulan yang tidak sah ihram untuk menunaikan ibadah haji kecuali pada bulan-bulan ini. Dan disebutkan pula bahwa bulan-bulan tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab.

Ibnu Rajab menyatakan dalam kitabnya “Lathaaiful Ma’arif” bahwa Rasulullah SAW melaksanakan ibadah umrah sebanyak empat kali dalam bulan-bulan haji. Sedangkan Ibnul Qayyim  menjelaskan bahwasannya menunaikan umrah di bulan-bulan haji sama halnya dengan menunaikan haji di bulan-bulan haji.Bulan-bulan haji ini dikhususkan oleh Allah SWT dengan ibadah haji, dan Allah mengkhususkan bulan-bulan ini sebagai waktu pelaksanaannya. Sementara umrah merupakan haji kecil (hajjun ashghar). Maka, waktu yang paling utama untuk umrah adalah pada bulan-bulan haji. Sedangkan Dzulqa’dah berada di tengah-tengah bulan haji tersebut.

Selain itu, pada bulan ini pahala amalan dilipatgandakan. At-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya bahwa bulan Dzulqa’dah adalah bulan haram. Yaitu bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai bulan yang suci lagi diagungkan kehormatannya. Di mana di dalamnya amalan-amalan yang baik akan dilipatgandakan pahalanya sedangkan amalan-amalan yang buruk akan dilipatgandakan dosanya.

Terakhir, hal penting lain yang membuat  bulan Dzulqa’dah istimewa ialah bahwa masa tiga puluh malam yang dijanjikan oleh Allah kepada Nabi Musa untuk bertemu dengan-Nya terjadi pada bulan Dzulqa’dah, sedangkan sepuluh malam sisanya terjadi pada bulan Dzulhijjah.

Semoga di bulan ini kita tidak loyo untuk terus meningkatkan ibadah kita kepada Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya agar menjadi hamba yang tidak merugi.

Wallahu A’lam.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.

SKRIPSI, DERITA MAHASISWA SEMESTER TUA

Oleh : Sudarto

Entah sudah berlangsung sejak kapan istilah skripsi yang menjadi derita bagi mahasiswa tingkat akhir muncul. Penulis sendiri sebagai seorang mahasiswa yang mulai memasuki tingkat akhir penasaran akan istilah tersebut. Apakah benar istilah itu benar adanya atau hanya sesuatu hal yang dibuat-buat oleh mahasiswa yang sebenarnya malas mengerjakannya? Tapi entahlah, sebelum menjajalnya sendiri kita tidak akan tahu persis apa yang dirasakan mereka (mahasiswa akhir).

Sebelum lebih jauh, skripsi merupakan tugas paling akhir yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjananya. Sama halnya dengan ujian nasional pada saat masih menjadi bangku sekolah. Namun, bedanya dengan ujian nasional adalah skripsi membutuhkan banyak hal dan harus dikerjakan dengan sebaik mungkin (jika ingin cepat selesai). Akan tetapi, namanya manusia kadang ada saja yang ketika tinggal sejengkal atau tinggal didepan mata selesai dan merasakan kedamaian tiba-tiba semua berubah ketika halangan dan rintangan datang menyerang (seperti negara api saja, haha). Pada akhirnya akan menyalahkan segalanya baik itu dosen yang sulit ditemui, banyaknya revisisan yang harus dibenarkan, ataupun terhalang oleh godaan untuk bekerja saja.

Banyak bukti sebenarnya dari testimoni para kating (kakak tinngkat) tentang lika liku mereka dalam mengerjakan skripsi. Ada yang dapat mengerjakan skripsi dengan cepat dan baik. Namun, tak sedikit juga dari mereka yang hingga kini masih belum menyelesaikannya. Ada yang beralasan dosennya kurang friendly, susah untuk ditemui, banyak revisiannya, dan masih banyak
lagi lainnya. Bahkan kenalan sendiri dari kampus sebelah (mungkin) malah ingin bekerja dulu dan meninggalkan skripsiannya dengan alasan belum mempunyai niat dan lelah menganggur. Jujur saja penulis merasa menyanyangkan keputusannya. Namun, memang banyak hal dibalik keputusannya itu.

Sebagai informasi atau sebagai bahan referensi menonton film diakhir minggu depan penulis menyarankan untuk menonton film dengan judul yang hampir sama dengan judul tulisan ini yaitu “ Skripsick: Derita Mahasiswa Abadi”, Dalam film ini diceritakan perjalanan mahasiswa tingkat akhir dalam mengerjakan skripsi hingga mendapatkan julukan mahasiswa abadi (Sedih sih,). Sedikit sinopsisnya, “Ditengah-tengah kegembiraan mahasiswa yang merayakan kelulusannya. Chara (Karakter utama) hanya dapat memandang sedih dari kejauhan. Junior-juniornya yang pernah ia ospek 4 tahun lalu telah lulus semua sementara dirinya yang telah 8 tahun kuliah masih belum lulus juga. Akhirnya, dimulailah keseriusan Chara untuk dapat lulus tahun ini, Namun seperti halnya dengan film komedi lainnya banyak hal yang akan menanti Chara kedepannya.“

Dari dalam film tersebut banyak hal yang dapat kita jadikan pelajaran dalam menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Seperti, bagaimana kita harus dapat dengan sungguh-sungguh dalam belajar agar tidak mengulang di tahun depan ataupun bahkan hingga tertinggal tidak oleh teman seangkatan melainkan malah tertinggal oleh junior kita. Dan pada intinya itulah pesan yang juga ingin saya sampaikan disini. Betapa pentingnya dalam menjalankan segala sesuatu. Jika kita sudah memulai sesuatu maka sudah seharusnya juga kita untuk menyelesaikannya. Semoga kita dapat menyelesaiakan kuliah kita tepat waktu. Aamiin.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

“Ats-tsabit wal mutaghayyir”

Oleh: Rayyan Alkhair

Kalimat diatas adalah adalah sedikit nasihat yang disampaikan oleh DR. Ahwan Fanani dalam acara “Halal Bi Halal Keluarga Besar Pesantren Riset Al-Muhtada” yang dilaksanakan pada tanggal 31 Mei tahun 2021 pukul 19.30 WIB melalui media daring zoom meeting. Acara halal bi halal tersebut bertemakan “Sucikan Hati Dengan Pererat Silaturahmi Dimasa Pandemi”.

Jika kita melakukan kilas balik sebelum masa pandemi covid-19, seluruh kegiatan baik itu kegiatan ekonomi, sosial ataupun keagamaan dilakukan secara bebas tanpa adanya pembatasan atau bahkan pelarangan dalam ruang publik. Namun, setelah datangnya covid-19 ke Indonesia dan statusnya naik menjadi pandemi, kegiatan sosial, ekonomi dan keagamaan dibatasi bahkan dilarang untuk dilakukan dalam ruang publik untuk mencegah penyebaran virus.

Namun, bagaimanapun buruknya kondisi yang dialami oleh sebuah negara, ia harus tetap menjalankan fungsi dan perannya sekalipun dalam keadaan pandemi ini. Konstelasi yang dihadapi oleh Indonesia membuat negara ini melakukan penyesuaian-penyesuaian atau proses adaptasi dimasa pandemi. Tidak hanya negara saja yang sedang melalui “state of survival”, namun masyarakat juga beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat negara.

Dua kali sudah kita melalui hari raya idul fitri dimasa pandemi ini, dimana baik tahun  2020 maupun sekarang pembatasan atau larangan untuk pulang ke kampung halaman atau pergi ke tempat tertentu untuk bersilaturahim diberlakukan. Dengan adanya pembatasan bahkan larangan mudik atau berpergian, kebutuhan emosional masyarakat agaknya susah dipenuhi.

Hal ini mungkin kita dapat ketahui dari beberapa story atau upload teman-teman kita di sosmed tentang betapa pandemi ini menghalangi mereka untuk sekedar melepas rindu dengan bertemu keluarga atau kerabat di tempat nun jauh. Namun, keadaan yang sudah kita lalui bersama selama satu tahun lebih ini membuat kita terbiasa atau beradaptasi dalam situasi pandemi.

Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya kegiatan-kegiatan daring seperti webminar (seminar daring), khataman online, silaturahmi online dan kegiatan-kegiatan lain yang sebelum pandemi melanda dilakukan secara luring, namun setelah pandemi dilakukan melalui jaringan internet.

Hal ini menurut DR. Ahwan Fanani selaku narasumber acara halal bi halal Pesantren Riset Al-Muhtada adalah lumrah bahkan sudah diprediksi sejak tahun 60an atau yang disebut oleh para ilmuan sebagai sebuah era “postmodern”. DR. Ahwan menjelaskan bahwa salah satu ciri khas dari era ini adalah terjalinnya hubungan yang sekedar simbolis atau simulasi lewat media (interaksi sekunder).

Proses inilah yang sedang kita lalui mulai dari satu tahunlalu, bahkan adaptasi yang kita lakukan bisa dikatakan cepat dan cenderung menyasar kepada sendi-sendi kehidupan yang fundamental atau kita kenal dengan era disruptif. Dalam era disruptif, perubahan-perubahan terjadi secara cepat, manusia didalamnya termasuk negara-negara bersaing satu sama lain untuk beradaptasi dengan perubahan yang niscaya. Perubahan-perubahan inilah yang menciptakan tantangan bagi insan modern di era disruptif.

Ada hal-hal yangberubah dan ada hal-hal yang ajeg atau kita mengenal sebuah asas  “ats-tsabit wal mutaghayyir”. Hal-hal yang cenderung trivial atau periferal akan mudah berubah namun, hal-hal yang sifatnya substansial seperti nilai dan norma akan sulit diubah. Kaidah inilah yang memegang kunci bagi insan agamis dalam melihat dan menghadapi perubahan dimasa pandemi.

Mungkin, metode atau perbuatan, pranata dan media dalam melakukan sesuatu boleh berganti menyesuaikan kebutuhan atau keadaan dalam suatu waktu dan tempat. Namun, substansi yang menjiwai akan sama atau tetap. Sama ketika kita melakukan kegiatan-kegiatan virtual dimasa pandemi ini, dimana kegiatan dilakukan secara dari atau tanpa tatap muka secara harfiah. Namun, substansi yang ada pada kegiatan yang dilaksanakan tetap tidak berubah.

Kemampuan meninjau seperti inilah yang dibutuhkan oleh insan di era disruptif ini, jangan sampai hal-hal yang trivial mengacaukan kita dan kita malah menganggapnya sebagai sebuah hal yang substansial atau krusial. Tempatkan apa yang menjadi tantangan sebagai tantangan, kelemahan sebagai kelemahan, kekuatan sebagai kekuatan dan kesempatan sebagai kesempatan. Dengan demikian, perubahan seperti apapun akan mudah dilalui.

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki kemampuan dibidang olahraga sepak bola, maka ia akan mengasahnya dengan mengikuti pelatihan sekolah sepak bola atau memasuki program studi keolahragaan dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penambahan kualitasnya bermain sepak bola.

Namun, kelebihan ini merupakan pedang bermata dua, ia juga bisa berlaku sebagai kelemahan yang hanya akan mengarah kepada diri sendiri, bukan mengatasi persaingan yang ketat di era disruptif ini dimana perubahan sangat cepat dan membutuhkan pengataman yang cermat dalam melihat perubahan. Bisa jadi ia hanya akan berfokus melatih kemampuan sepak bolanya dan hanya memiliki kemampuan dibidang tersebut.

Namun, karena suatu pesepak bolaan di negaranya diisi oleh praktik korup dan diwarnai tindakan anarkis, maka akhirnya liga sepak bola ditiadakan dalam jangka waktu tertentu. ia akan kehilangan profesinya sebagai atlet profesional tanpa memiliki kemampuan lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.