Almuhtada.org – Pernahkah teman-teman mendengar kisah tentang Abu Nawas? Seorang penyair sufi yang dikenal berkat syairnya yang berjudul al I’tiraf atau dalam bahasa Indonesia berarti pengakuan.
Selain Abu Nawas, masih tokoh-tokoh muslim lainnya yang merupakan tokoh sufi atau yang mendalami ilmu tasawuf seperti Rabiah Al-Adawiyyah, Imam Al-Ghazali, Syekh Ahmad At-Tijani, dan masih banyak yang lainnya.
Nah, berkaitan dengan hal itu, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan sufi ini? Simak penjelasannya ya.
Apa Itu Sufi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sufi merupakan ahli ilmu tasawuf atau ahli ilmu suluk. Sufisme juga dikenal dengan sebutan tasawuf. Tasawuf dan sufisme adalah ajaran menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan abadi.
Menurut Susanti (2018) dalam jurnalnya yang berjudul Tasawuf Dalam Perspektif Historis, Imam al-Junaid al-Baghdadi mengatakan Tasawuf adalah nama dari sepuluh pengertian.
- Bersedikit dalam segala hal dunia dari pada memperbanyaknya
- Berpegang hati mereka kepada Allah daripada merasa tenang kepada asbab
- Mencintai ibadah sunnah tatkala ada peluang
- Sabar atas ketiadaan dunia dari pada meminta dan mengeluh
- Bisa membedakan sesuatu yang akan diambil
- Sibuk dengan Allah daripada segala sesuatu
- Zikir khafi dari keseluruhan zikir-zikir
- Mencari ikhlas pad saat ditimpa waswas
- Memilih yakin saat datangnya ragu
- Merasa tenang dengan Allah daripada goncang dan goyah
Jika semua perkara diatas terkumpul barulah pantas seseorang disebut sufi, jika tidak maka dia bohong.
Dari pemaknaan tasawuf tersebut dapat diketahui bahwa pada prinsipnya tasawuf bersifat ilmu namun ditujukan untuk mencapai tingkatan moral, sesuai dengan ajaran Islam yang berawal dari ilmu lalu membuahkan amal.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa tasawuf adalah ilmu yang banyak digunakan oleh para sufi, sementara sufi adalah orang-orang yang belajar, mendalami, atau memiliki ilmu tasawuf.
Setiap sufi memiliki kisah yang dapat menjadi pelajaran bagi kita. Misalnya, Rabiah Al-Adawiyyah yang terkenal dengan kecintaannya kepada Allah. Ia berdoa bukan karena takut neraka atau menginginkan surga, tetapi murni karena cintanya kepada Sang Pencipta. Atau Imam Al-Ghazali, yang menulis karya-karya monumental seperti Ihya Ulumuddin untuk memperbaiki akhlak umat Islam.
Yang menarik dari tasawuf adalah sifatnya yang seimbang. Tidak hanya soal pemahaman ilmu, tetapi juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam, ilmu yang baik adalah ilmu yang menghasilkan amal saleh. Begitu pula dengan tasawuf, ia menjadi sarana untuk memperbaiki diri, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk memberi manfaat kepada orang lain.
Jadi, kalau teman-teman tertarik mendalami tasawuf, ingatlah bahwa ini bukan hanya soal teori, tetapi perjalanan spiritual yang menuntut ketulusan dan komitmen. Siapkah kita untuk mulai melangkah? [] Raffi Wizdaan Albari