Oleh:
Muhamad Mahfud Muzadi
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah maha menggetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Tentu saja kita sudah tidak asing lagi dengan kata-kata indah tersebut. Bahkan ketika penulis masih duduk di bangku Aliyah, kata-kata itu selalu dibaca berulang-ulang setiap pagi setelah tadarus bersama. Itulah terjemah surah al-Baqarah ayat 216 yang mengilhami penulis dalam penulisan kali ini. Meskipun sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan jihad/perang, tapi bagi penulis sendiri ayat ini dapat diimplementasikan dalam segala hal. Karena memang sejatinya sekecil apapun keinginan manusia, tidak akan terealisasi tanpa adanya izin dari sang pemilik hidup, Allah SWT.
Penulis ingin sedikit berbagipengalaman mengenai judul yang diangkat ini.
Setelah lulus dari pendidikan menengah pertama, penulis mendaftar di salah satu sekolah favorit di Provinsi Jawa Tengah. Prestasi sekolah ini sudah tidak diragukan lagi dan memiliki rekam jejak alumni yang bisa dibilang berhasil pada bidangnya masing-masing. Tentu saja, sekolah ini menjadi idaman bagi orang tua dan siswa SMP. Tak tanggung-tanggung, penulis bisa masuk di sekolah tersebut, bahkan menduduki peringkat kedua dalam jurnal penerimaan peserta didik baru berkat nilai Ujian Nasional yang cukup tinggi didukung oleh piagam-piagam yang pernah diraih.
Suatu kebanggaan sekaligus kehormatan bagi penulis menjadi bagian dari sekolah unggulan ini. Satu semester berjalan, Allah tidak mengizinkan penulis untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah ini. Skenario-Nya ini terjadi bukan karena penulis dikeluarkan, tetapi murni keinginan sendiri dari penulis untuk mengundurkan diri. Disayangkan? Memang. Semua orang berkata seperti itu. Tapi inilah skenario yang diberikan oleh Dzat yang membolak-balikkan hati manusia.
Berangkat dari pengalaman ini, penulis mengambil 2 esensi dalam “Diri Punya Ingin, Allah Punya Izin”, yaitu Sabar dan Syukur. Dua akhlak yang terdengar sederhana tetapi sangat sulit penerapannya ketika ekspektasi tidak sesuai dengan realita.
Sabar dalam hal ini yaitu mampu menerima dengan lapang dada apa yang telah menjadi ketetapan Allah meskipun bertolakbelakang dengan keinginan kita. Hendaknya kita selalu yakin bahwa selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa yang telah terjadi. Jika kita kembali ke kisah tadi, penulis akhirnya bersekolah di Madrasah Aliyah. Memang secara akademik kalah jauh dibanding sekolahnya yang sebelumnya, tetapi banyak sekali hikmah yang penulis dapatkan. Salah satunya penulis mampu menguasai Bahasa Arab yang mungkin tidak akan pernah penulis dapatkan di sekolahnya yang dahulu. Meskipun pelajaran ini terbilang baru bagi penulis, tapi justru ini menjadi tantangan baru bagi penulis untuk menguasai bahasa ahli surga tersebut.
Akhlak yang kedua adalah syukur. Syukur berasal dari Bahasa Arab yang artinya berterimakasih. Dalam konteks ini, kita harus tetap bersyukur atas taqdir yang Allah berikan. Karena jelas Allah sudah memerintahkan bahwa jika kita bersyukur pasti Allah akan menambah nikmat kita. Penulis meyakini 100% kebenaran perintah Allah tentang bersyukur ini. Hal ini penulis buktikan dengan penghargaan-penghargaan yang diraih selama sekolah di Madrasah ini. Selain itu, rasa percaya diri penulis juga meningkat dibuktikan dengan berbagai organisasi yang penulis ikuti.
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis berpesan bahwa sebesar apapun keinginan dan cita-cita kita, tetap perizinan hanya milik Allah SWT. Ketika kita sudah berusaha dengan maksimal, tugas kita selanjutnya adalah menyerahkannya kepada Allah SWT. Sehingga apabila harapan tidak sesuai dengan apa yang dicitakan, tanamkanlah dalam diri kita bahwa skenario-Nya selalu yang terbaik.
Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang