Almuhtada.org – Rasa bersalah adalah sebuah perasaan yang sangat manusiawi. Kita semua pernah merasakannya, entah karena kesalahan kecil atau dosa besar yang pernah kita lakukan.
Namun, yang seringkali menjadi masalah adalah bagaimana kita merespons rasa bersalah tersebut. Apakah kita membiarkannya menghancurkan kita, atau justru kita jadikan rasa bersalah sebagai batu loncatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik?
Menurut para ulama, rasa bersalah dalam batasan yang wajar adalah sebuah sikap yang positif. Ini menunjukkan bahwa hati kita masih hidup dan peka terhadap dosa. Sebaliknya, hati yang mati tidak lagi merasakan dosa atau kesalahan.
Rasa bersalah juga memiliki sisi negatifnya. Jika tidak dikelola dengan baik perasaan ini bisa menjerumuskan kita ke dalam keputusasaan. Keputusasaan adalah senjata setan untuk membuat kita merasa tidak berharga dan jauh dari rahmat Allah. Allah berfirman dalam Al-Quran,
قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Artinya: Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar ayat 53).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa seburuk apapun dosa kita, rahmat Allah selalu lebih besar.
Ketika kita merasa bersalah, yang perlu kita lakukan adalah mengakui kesalahan tersebut dan berusaha untuk memperbaiki diri. Rasa bersalah yang positif akan mendorong kita untuk bertaubat dan meningkatkan kualitas ibadah kita.
Sebagaimana yang diajarkan dalam Sayyidul Istighfar, kita diajarkan untuk mengakui nikmat Allah sebelum mengakui dosa kita. “Ya Allah, aku akui nikmat-Mu yang begitu banyak dan aku juga mengakui dosaku.”
Dengan cara ini, kita tidak hanya fokus pada kesalahan, tetapi juga mengingat betapa luas rahmat dan nikmat Allah.
Mengakui nikmat Allah di tengah rasa bersalah adalah cara untuk menjaga harapan. Ketika kita ingat bahwa Allah masih memberi kita nikmat meskipun kita berdosa, kita akan merasa bahwa kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.
Inilah yang harus kita pegang teguh. Kita harus percaya bahwa Allah selalu memberi jalan keluar dan kesempatan baru bagi hamba-Nya yang bertaubat.
Imam Ibnu Rajab mengatakan bahwa jika kita tidak mampu bersaing dengan orang-orang saleh dalam amal ibadah, maka berlombalah dengan para pendosa dalam istighfar.
Ini adalah kaidah yang sangat penting. Meskipun kita mungkin merasa tertinggal dalam hal ibadah, kita masih bisa berlomba dalam memperbanyak istighfar dan taubat.
Istighfar adalah kunci untuk membuka pintu-pintu rahmat Allah. Dengan memperbanyak istighfar, kita membersihkan hati kita dari dosa dan mendapatkan ketenangan batin.
Ketika kita merasa bersalah, jangan biarkan perasaan itu menghancurkan kita. Sebaliknya, jadikan itu sebagai dorongan untuk lebih dekat kepada Allah. Ingatlah bahwa Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Mengasah kalbu dan pikiran kita adalah proses yang berkesinambungan. Kita perlu terus menerus berusaha memperbaiki diri dan menjaga hati kita tetap peka terhadap dosa. Dengan demikian, kita akan menjadi pribadi yang lebih baik dari waktu ke waktu.
Rasa bersalah memang bisa menyesakkan dada tetapi jika dikelola dengan baik, perasaan ini bisa menjadi pendorong untuk menjadi lebih baik.
Jangan biarkan rasa bersalah membuat kita putus asa. Sebaliknya, jadikan itu sebagai motivasi untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Ingatlah selalu nikmat Allah yang begitu banyak dan rahmat-Nya yang luas.
Dengan menjaga harapan dan terus berusaha memperbaiki diri, kita bisa menghadapi segala tantangan dalam hidup dengan lebih baik. [] Miftahudin
Editor : Moh. Aminudin