Oleh : Fafi Masiroh
Sampai saat ini kebutuhan cantik di mata perempuan tentu saja masih menjadi prioritas. Meskipun, tidak menyeluruh tetapi hampir secara garis besar perempuan masih mudah merasa tidak percaya diri, hanya karena gelar “cantik” yang kerap kali identik disematkan kepada mereka. Bagi mereka yang secara fisik merasa tidak mencapai standar rata-rata, mungkin mereka berusaha melakukan banyak hal untuk mendapatkan gelar “cantik” tersebut. Standar rata-rata di sisni dalam artian batas minimal yang sepertinya hampir dijadikan bagi seluruh orang sebagai acuan gelar ”cantik”. Misalnya, mereka cantik secara fisik yang berkulit putih, rambut hitam pekat nan panjang, hidung mancung, badan langsing dan tinggi semampai dan beberapa kriteria fisik lainnya yang dijadikan sebagai acuan paten gelar “cantik”. Lalu bagaimana bagi mereka yang tidak mencapai standar rata-rata tersebut?
Permasalahan seperti ini, adalah sebuah klise lama yang sudah mendarah daging. Beberapa perempuan ada yang masih mendapatkan perlakuan tidak sewajarnya hanya karena fisik mereka. Bahkan perlakuan tidak wajar tersebut beberapa kali datang dari perempuan lain itu sendiri. Misalnya bagi mereka yang dianugerahi “beauty privilage” kerap kali memilih berteman dan bergaul dengan perempuan lainnya yang sama-sama memiliki “beauty privilage” tersebut. Sedangkan perempuan yang secara fisik biasa saja kerap kali dikucilkan. Hal tersebut sudah jelas membuktikan bahwa kesenjangan sosial masih banyak dialami oleh perempuan.
Sebenarnya di era modernsasi saat ini, kriteria gelar “cantik” tidak hanya berpacu pada penampilan secara fisik. Kecakapan, kecerdasan, kerendahan hati juga merupakan kriteria yang perlu dijadikan pertimbangan dalam menyematkan gelar “cantik”. Meskipun demikian, pada kenyataannya memang sangat sulit. Pada akhirnya hal pertama yang dilakukan untuk memberi gelar “cantik” kepada perempuan pasti selalu diawali dengan penampakan mereka secara fisik. Sehingga tidak diragukan, jika perempuan sangat mudah mengalami penurunan kesehatan mental di tengah perjalaan kehidupannya. Menyikapi hal tersebut, lalu bagaimana langkah terbaik bagi perempuan khususnya untuk keluar dari circle budaya demikian?
Bagi kita perempuan pada khusunya kita harus mampu untuk mengubah cara pikir kita dan keyakinan kita, bahwa gelar “cantik” bukanlah sebuah gelar yang amat penting dalam hidup kita. Jika saja kita mendapat gelar “cantik” karena memenuhi standar rata-rata tersebut akankan memungkinkan bahwa hidup kita akan selalu baik-baik saja? Buktinya berbagai problematika yang terjadi pada perempuan lain di luar, yaitu mereka yang memiliki “beauty privilage” sama juga mendapat kesenjangan sosial karena mereka dituntut banyak hal dari kecantikan yang mereka punya. Hal tersebut bahkan secara tidak langsung memengaruhi pola pikir mereka bahwa mereka akan tetap baik-baik saja selama memiliki kecantikan meskipun harus mengorbankan beberapa hal penting yang seharusnya mereka jaga. Mereka juga kerap kali mendapat cemooh karena mereka dinilai hanya memiliki kecantikan tapi tidak kemampuan lainnya. Sungguh naas, karena secara tidak langsung kebebasan mereka untuk menjalankan setiap hak mereka mulai diambil.
Oleh karena itu, mengubah pola pikir kita seperti demikian sangatlah perlu untuk dilakukan. Memulai untuk menanamkan pada diri kita, bahwa gelar “cantik” bukanlah sebuah kebutuhan bagi kita para perempuan. Hal tersebut merupakan langkah awal bagi kita untuk menghadapi kesenjangan sosial di lingkungan perempuan. Jika saja terdapat lingkungan yang menilai bahwa kita tidak pantas mendapat gelar “cantik” karena penampilan fisik kita, maka bukanlah masalah lagi bagi kita. Karena dari awal kita sudah meganggap bahwa gelar “cantik” bukanlah suatu kebutuhan apalagi prioritas. Bahkan jika kita berada di kelompok dengan beauty privilage-nya, pola pikir yang demikian pun perlu kita tanamkan. Sehingga kita bisa lebih siap dan kebal dalam menghadapi kesenjangan sosial yang terjadi, misalnya anggapan bahwa perempuan cantik hanya bermodal kecantikan wajahnya saja dalam mencapai berbagai hal. Karena, pada kenyataannya tidaklah mungkin kesenjangan sosial tidak terjadi dalam suatu masyarakat meskipun itu hanya sedikit.
Hal selanjutnya yang perlu kita lakukan yaitu dengan menjaga diri kita secara fisik ataupun psikis agar selalu hidup dalam keadaan sehat fisik dan sehat mental. Dengan selalu memastikan bahwa fisik dan psikis kita dalam keadaan sehat, mampu membantu kita untuk selalu hadir di lingkungan sekitar bukan sebagai perempuan yang “cantik” tetapi sebagai perempuan “hebat” dengan menebar kebaikan dan kebermanfaatan.
Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.