Oleh: Mohamad Agus Setiono
Pagi itu hujan cukup deras di Simpang Teritip. Sang mentari saja masih bersembunyi. Ayam yang biasanya sudah berkokok, tetapi ikut tak bersuara pagi itu. Aldi yang mendengar suara petir, lantas langsung membuatnya terbangun dari tidur. Hendak langsung mandi, tetapi dingin sekali rasanya. Karena hari ini adalah hari yang spesial, maka ia paksakan untuk mandi. Aldi adalah ketua OSIS di salah satu sekolah menengah atas di simpang teritip. Aldi bergegas berangkat sekolah, sekitar 15 menit dari rumah.
Dari kejauhan tampak seorang anak mengendarai motor dengan jas hujannya menuju ke sekolah. Gadis cantik dengan bodi sedikit gemuk, ia adalah Ziana. Ziana adalah wakil ketua OSIS dari rekannya Aldi. Ziana tampak bersemangat untuk hari ini karena ia tahu, bahwa ini adalah hari guru. Ia dan Aldi sudah menyiapkan hadiah untuk para guru tercinta. Padahal mereka sempat mengalami masalah karena kebingungan tak bisa membuat tumpeng yang akan menjadi hadiah di hari itu. Tetapi mereka berhasil menemukan cara lain agar tumpeng itu tetap jadi. Ada seorang bibi dari Aldi dibalik jadinya tumpeng itu.
Karena hari hujan, acara awal yang tadinya akan upacara pun harus ditunda terlebih dahulu. Tak lama kemudian, ada mobil masuk dari gerbang. Aldi tahu bahwa itu adalah bibinya.
“Aldi, ini ambil tumpengnya” ucap Bibi kepada Aldi.
“Iyaa” ucap Aldi.
“Wahhh, terima kasih sekali Bibi sudah repot membuat tumpeng ini” sambung Aldi.
“Tidak apa, Bibi dulu juga pernah SMA dan tahu gimana susahnya jadi ketua OSIS” jawab Bibi.
Dibantu Ziana, Aldi membawa tumpeng itu ke depan kantor. Memang tak menjadi kejutan lagi bagi guru-guru karena mereka langsung melihat tumpeng itu.
“Bibi pulang yaa” ucapnya kepada Aldi sambil menuju mobil.
“Iyaa, sekali lagi terima kasih Bibi sudah mau bantu bikin tumpeng” jawab Aldi.
“Bibi senang bisa bantu kamu” balas Bibi sambil tersenyum.
(Aldi pun ikut tersenyum)
Hujan terlihat hampir reda, masih gerimis. Masih ada yang harus dikerjakan bagi ketua OSIS dan wakilnya itu, yaitu bunga yang nanti dikalungkan pada setiap guru, bukan hanya guru, tetapi setiap pegawai sekolah pasti dapat. Bunga itu dibuat oleh anak-anak OSIS yang dikoordinasi oleh ketuanya. Bunga-bunga itu kemudian dibawa ke depan kantor juga, tetapi tidak diperlihatkan dulu kepada guru-guru.
Aldi dan Ziana mengumpulkan anggotanya untuk diberi informasi mengenai bunga-bunga itu.
“Baiklah teman-teman, ini kita ada 50 bunga dan pastikan setiap guru dikalungkan, dan juga para pegawai sekolah.” ucap Aldi.
“Mereka semua sangat berjasa bagi sekolah ini. Tumpeng dan bunga ini bukan apa-apa dari ilmu yang mereka berikan kepada kita.” sambung Aldi.
“Harapan kita tentu para guru berkesan dengan apa yang kita berikan, meskipun pemberian kita sederhana” sambung Aldi kembali.
“Baik, Pak ketua” jawab anggota OSIS itu.
Setelah mengadakan rapat singkat, mereka semua kembali ke pos masing-masing untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Hari sudah tidak hujan lagi, Aldi menginfokan dari mikrofon sekolah bahwa upacara akan segera dimulai. Setelah itu, ia mengajak teman-teman untuk berbaris seperti biasa.
Upacara kali ini terasa spesial karena yang menjadi petugas adalah guru-guru kami tercinta. Mereka kami ajak untuk bernostalgia dengan masa-masa SMA. Mereka juga sangat antusias dengan apa yang sudah dirancang oleh pengurus OSIS.
Upacara sudah berjalan 20 menit, tiba saatnya menyanyikan lagu wajib nasional.
“Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru,” para guru yang menjadi paduan suara bernyanyi.
“Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku,” ikut bernyanyi pelan salah satu siswa.
“Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku,” Ziana ikut bernyanyi pelan, sedikit mengeluarkan air matanya.
“Sebagai prasasti terima kasihku, tuk pengabdianmu,” Aldi pun ikut larut dalam nyanyian itu. Setelah selesai menyanyikan lagu wajib nasional, upacara kembali dilanjutkan sampai selesai. Setelah selesai, para guru dan pegawai berbaris di depan para siswa untuk dikalungkan bunga. Satu persatu guru dikalungkan bunga itu.
“Ini Pak, bunga buat Bapak, terima kasih sudah mengajarkan kami selama ini,” ucap Aldi sambil memeluk gurunya itu.
“Terima kasih juga sudah membuat acara ini, kamu dan anggotamu luar biasa.” Jawab Pak guru.
Setelah selesai pengalungan, giliran seluruh siswa yang bersalaman satu persatu kepada guru-guru hebat. Tak sedikit yang mengucurkan air mata mereka. Memang menjadi hari yang haru ketika itu. Disela-sela itu, anggota OSIS menyanyikan lagu “Guruku Tersayang”.
“Pagiku cerahku, matahari bersinar, ku gendong tas merahku di pundak,” Febheolla memulai nyanyian.
“Selamat pagi semua, ku nantikan dirimu, di depan kelasmu, menantikan kami,” sambung anggota OSIS lainnya
“Guruku tersayang, guruku tercinta, tanpamu apa jadinya aku. Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal, guruku terima kasihku,” sambung Lola.
Suasana seketika berubah menjadi tawa dan masih dengan haru karena banyak sekali siswa yang menangis. Setelah acara salam-salaman dengan guru selesai, para guru langsung menyantap hidangan tumpeng yang sudah disiapkan para pengurus OSIS. Tumpeng buatan Bibi Aldi itu tak kalah enaknya dengan tumpeng-tumpeng di luar sana. Semua guru mengambil tumpeng. Karena masih ada sisa, para pengurus OSIS ikut merasakan tumpeng itu.
Aldi dan Ziana, serta anggota OSIS lainnya merasa bangga karena acara yang mereka rancang bisa berjalan dengan lancar. Kepala Sekolah sangat berterima kasih kepada seluruh pengurus OSIS karena sudah mengadakan acara ini untuk memperingati Hari Guru. Aldi mengatakan bahwa sudah seharusnya mereka sebagai siswa merayakan peringatan Hari Guru karena itu jarang terjadi.
“Gula itu yang membuat kopi menjadi manis, tetapi tak ada yang memujinya saat kopi itu manis, justru kopilah yang dipuji manis. Beda halnya saat kopi pahit, gula yang disalahkan karena kopi itu pahit.”
“Guru itu ibarat gula pada kopi. Orang tua akan bangga pada anaknya sendiri saat lulus, tetapi menyalahkan gurunya saat anak mereka terjatuh.”
“Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, mereka akan tetap mengajar dan mendidik meskipun disalahkan dalam setiap situasi.”
“Para pakar berkata bahwa orang hebat bisa menghasilkan beberapa karya bermutu. Tetapi, guru yang bermutu dapat menghasilkan ribuan orang-orang hebat.”
Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.