Berkah Wabah: Digitalisasi Kue Ibuku

Oleh: Muhamad Mahfud Muzadi

Kala itu perkuliahan dengan menggunakan aplikasi zoom sedang berlangsung. Aku yang berada di ruang tamu sedang fokus mendengarkan penjelasan dosen dengan menggunakan smartphone yang tidak begitu smart dan sering mati sendiri. Temanku sering menyebutnya handphone kentang. Aku tidak tersinggung dengan kata kentang, karena memang kenyataannya seperti itu. Kadang kepikiran untuk ganti gawai, tetapi melihat kondisi ekonomi keluarga rasanya cukup bersyukur dengan apa yang dimiliki sekarang. Selagi masih bisa dipakai meski dengan segala keterbatasannya. Sabar dan syukur memang penting di situasi krisis seperti ini.

Namaku Sinta. Ya, aku mahasiswa semester tiga jurusan biologi di salah satu universitas favorit di Yogyakarta. Aku dari SD sangat menyukai tumbuhan dan hewan, sehingga setelah SMA aku memutuskan untuk masuk ke jurusan yang banyak hafalan ini. Hampir empat bulan aku kuliah di dalam jaringan. Tidak hanya aku sih, semua mahasiswa di Indonesia bahkan dunia sedang tertimpa musibah pandemi Covid-19 sehingga dampaknya semua pembelajaran dialihkan ke dalam bentuk virtual.

Di tengah pembelajaran yang cukup seru, tiba-tiba zoom yang sedang menampilkan video anatomi tubuh ular, keluar dengan sendirinya. Aku tidak kaget. Ini bukan kali pertama aku mengalaminya. Biasanya ada dua kemungkinan, sinyalku jelek atau kuota paketanku habis. Dalam kondisi cukup panik, HP-ku berdering tanda SMS masuk. Firasatku tidak enak. Dan benar saja, SMS dari nomor tidak asing yang setia memberi tahu bahwa kuotaku sudah habis.

Pasrah. Pengen rasanya langsung lari membeli kuota baru. Tapi tersadar isi dompet tinggal beberapa lembar pahlawan dari Maluku yang membawa pedangnya. Masih ada sekitar 15 menit sebelum perkuliahan selesai. Tapi syukurlah awal pertemuan tadi sudah presensi, dan lebih bersyukur lagi mata kuliah anatomi hewan menjadi perkuliahan terakhir di minggu ini.

Baca Juga:  Manakah yang Menjadi Prioritas?

Aku melihat ke dalam bilik dapur yang sempit. Tampak di situ ibu sedang sibuk mengukus kue-kuenya untuk dijual nanti sore. Di usianya yang lewat

setengah abad, ibu masih berjualan kue hasil olahannya sendiri ke desa-desa sebelah. Dari wajahnya ibu terlihat sangat kelelahan. Maksud hati ingin meminta uang untuk membeli kuota pun sirna seiring melihat ibuku yang selama ini telah bekerja keras menjadi tulang punggung keluarga setelah bapak meninggal dua tahun yang lalu. Merasa ada yang memperhatikannya, ibu menoleh ke arahku.

“Astaghfirullah kaget ibu. Kirain siapa berdiri di situ. Kuliah udah selesai kah?” Tanya ibu dengan wajah terkejut sambil menepuk dadanya.
“Sudah bu, hehe..” Jawabku sambil tersenyum tipis.
“Makan siang dulu tuh, ibu dah masak sayur bayam kesukaanmu.” “Nggih, bu. Nanti aja. Sinta mau sholat dhuhur dulu, udah adzan kan?” “Yaudah sana cepetan.”

Aku pun bergegas mengambil wudhu dan menuju kamar untuk sholat, sementara ibu mulai memindahkan kuenya yang sudah matang ke keranjang untuk diedarkan. Masih di atas sajadah, aku kembali melamunkan ibu lagi. Betapa kuatnya beliau, betapa keras perjuangannya selama ini untuk menghidupiku. Tak terasa air mataku pun jatuh membasahi mukena yang masih aku pakai.

“Meskipun aku masih sibuk kuliah, tetapi aku harus membantu ibuku. Minimal aku tidak memberatkan beliau dengan rentetan kebutuhanku selama ini, termasuk kuota paketan. Aku harus cari cara agar produktif dan menghasilkan uang, tanpa meninggalkan akademisku di perkulihan.” Ucapku dalam hati memotivasi.

Baca Juga:  Taukah Kamu Tugas Pembimbing dan Pengajar Kepada Muridnya, Simak Penjelasan Berikut Ini!

Aku bergegas ke dapur mengambil nasi dan sayur bayam buatan ibuku tercinta. Sambil makan, aku terus memikirkan apa yang harus dilakukan untuk sedikit membantu meringankan beban ibu. Aku teringat kata-kata Bu Tejo, seorang ibu ceremet dalam film pendek yang sedang viral. Dalam sebuah adegan Bu Tego berkata “dadi wong ki sing solutip” (jadi orang itu yang solutif). Terlepas dari sifat Bu Tejo yang banyak dibenci para penonton karena suka ghibahin orang lain, tetapi perkataannya tersebut benar juga.

“Lho kok malah mikirin Bu Tejo,” batinku sambil tersenyum sendiri.

Di suapan terakhir, aku teringat pernah mengikut webinar tentang digital marketing yang diisi oleh narasumber yang sudah sukses di bidangnya. Aku teringat beliau bercerita tentang rintisan usahanya berjualan cireng dari nol hingga kini mampu berpenghasilan tinggi. Bedanya dengan pedagang cireng yang biasa lewat depan rumahku adalah beliau menggunakan digital sebagai media promosinya. Ya, dengan menggunakan instagram dan facebook-nya.

“AHAAA AKU ADA IDE!!” Teriak ku tiba-tiba.
“Astaghfirullah.. ibu kaget lagi lho, mbok gak usah teriak-teriak. Kaya di hutan aja.”
Ibuku yang baru selesai sholat dan sedang bersiap untuk pergi berjualan sampai kaget mendengar teriakan ku.
“hehe.. Ngapunten, bu. Aku lagi seneng dapet ide.” “Ide apa emangnya sampai teriak gitu.”
“Ada deh, bu. Besok ibu tau sendiri hehe..”
“Halah kamu ini sukanya gitu, ya udah ibu mau berangkat jualan dulu, doakan semoga dapet rezeki banyak hari ini.”
“Aaamiin bu, hati-hati nggih, bu.” Ucapku sambil mencium tangan ibu.

Baca Juga:  Peran Santri Dalam Dunia Modern Dengan Identitas Mereka Sebagai Pelajar Lokal Agamis

Akhirnya aku menemukan solusi yang sedang aku cari. Digital marketing. Dengan menggunakan sosial mediaku yang followers-nya lumayan banyak karena memang aku termasuk aktivis kampus, aku yakin bisa mempromosikan kue ibuku. Dengan begitu aku bisa mempunyai penghasilan sendiri dan membantu ibu.

Tanpa berlama lagi aku langsung mengambil gambar kue-kue ibuku dan posting di instagram dan facebook-ku. Tak ku sangka, respon dari teman dan kenalanku di dunia maya sangat antusias. Selang beberapa jam saja pesanan kue ibuku membludak, bahkan di luar prediksi sebelumnya. Tentu ini didukung dengan gambarku yang sangat estetis dan caption yang persuasif. Hehe..

Alhamdulillah kini di sela-sela kuliah dan mengerjakan tugas, hariku yang tadinya penuh dengan lamunan sekarang disibukkan dengan melayani orderan dari para pecinta kue ibukku. Bahkan yang tadinya aku beli kuota mingguan karena minimnya uang saat itu, kini aku bisa membeli paketan bulanan, bahkan unlimited. Semua memang ada hikmahnya. Jika tidak ada covid-19, mungkin proses digitalisasi yang merupakan tuntutan revolusi industri 4.0 tidak akan berkembang se-pesat ini. Jika aku tidak berasal dari keluarga yang kurang mampu sampai membeli kuota internet saja susah, mungkin aku tidak akan mempunyai usaha ini. Untuk itu aku mengajak teman-teman untuk selalu bersyukur, tidak insecure, dan selalu mengambil hikmah di setiap kejadian.

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang

Related Posts

Latest Post