Sambat, bentuk ekspresi rasa syukur yang dilupakan

Oleh : Siti Mu’awanah

Seperti yang kita tahu, manusia tidak bisa dilepaskan dari sifat yang satu ini, sambat atau mengeluh menjadi hal yang biasa dilakukan sebagian banyak orang. Faktor penting yang membedakannya adalah frekuensi, kualitas dan pemaknaannya. Mengeluh atau dalam khazanah bahasa jawa lebih populer dikenal dengan sambat menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI)  mempunyai arti menyatakan (karena penderitaan, kesakitan, kekecewaan, dan sebagainya).

Bagi kaum proletar atau buruh tani yang masih menjamur di negeri ini, sambat menjadi makanan sehari-hari mereka. Keadaan tersebut tak dapat dipungkiri, sambat sudah membudaya dan tersebar secara merata. Hal ini mengekspresikan sambat, masing-masing orang mempunyai cara tersendiri dengan tingkat nilai kepuasan dan kelegaan tersesendiri. Kita tidak bisa hanya menvonis buruk kebiasaan mereka, perlu diketahui juga bahwa mereka melakukan hal tersebut dengan ikhlas dan senang hati. Selain itu, banyak diantara kita yang bahkan menjadikan sambat sebagai roh model dan life style.

Dalam bahasa indonesia, mengeluh adalah lawan kata dari syukur yang berarti rasa terimakasih, atau sikap menunjukkan rasa lega, senang terhadap suatu hal yang dihadapinya. Dalam mengungkapkan rasa syukur masing-masing orang juga bermacam-macam. Dalam suatu problematika kehidupan, rasa syukur tidak melulu terjadi akibat kejadaian yang menyenangkan, rasa tersebut bisa timbul pula dalam hal yang kurang diinginkan, seperti kegagalan dalam melakukan suatu hal atau susahnya kehidupan. Perlu digaris bawahi dan diwaspadai terkait bersyukur terhadap hal yang bersifat negatif, pada beberapa kasus reaksi syukur tersebut tidak mencerminkan syukur yang sebenarnya, melainkan lebih berupaya untuk menyelamatkan diri (ego) dari kecemasan akibat kegagalan, penderitaan, atau rasa bersalah karena peristiwa negatif tersebut – dikenal sebagai istilah ‘mekanisme pertahanan diri’ menurut Sigmund Freud.

Baca Juga:  Memaknai Bulan Muharram, Bulan Kemuliaan

Bersyukur pada dasarnya merupakan sebuah reaksi, bukan aksi. Meskipun bersyukur merupakan reaksi, seseorang bisa saja berlatih melakukan ikhtiar secara sadar ‘memaksakan diri’ untuk bersyukur, dengan harapan agar kelak dapat bersyukur dengan sendirinya. Jadi, belajar bersyukur tidaklah salah, yang salah ialah bersyukur yang membuat seseorang lupa belajar. Rasa syukur merupakan ungkapan senang dan berterimakasih atas sesuatu yang semula tidak dimaksudkan dialami oleh seseorang, yang tercermin dalam perilaku memberi, altruis, dan bermurah hati.

Terkait dengan ungkapan sambat kita tidak bisa begitu saja menilai orang tersebut kurang bersyukur dan lebih banyak mengeluh. Salah satu bentuk pengungkapan sambat adalah misuh dengan berbagai macam jenis pisuhan dan kegunaannya. Sehinga dalam berbagai penjelasan tentang rasa syukur tersebut, kata sambat dapat diambil makna yang lebih positif dan berefek pada peningktan produktivitas diri sendiri. Selain itu, sambat juga bisa diartikan sebagai ungkapan rasa syukur kita terhadap berbagai macam etiologi yang mendasarinya.

Dengan sambat kita bisa sedikit mengurangi beban yang kita pikul sekaligus membuat kita merasa lega telah mencairkannya dengan jalan sambat. Diharapkan dengan sambat tersebut dapat menjadikan diri menjadi lebih tenang dan meningkatkan rasa syukur kita terhadap skenario yang sudah Allah Swt. manuskripkan sejak dulu kala. Ada sebuah ungkapan yang dilontarkan oleh Gus Baha’ tentang rasa syukur, dimana  bersyukur terus latihan, jangan hanya bersyukur ketika saat memiliki sesuatu. Hal ini dikarenakan keadaan emosi yang harus dibiasakan dalam keadaan apapun.

Baca Juga:  Normalisasi Maksiat : Fenomena Yang Menggerogoti Keimanan

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Related Posts

Latest Post