ALmuhtada.org – Siapakah yang tidak mengenal Gus Dur? Sebagian besar masyarakat Indonesia pastinya sudah pernah mendengar sosok Presiden ke-4 Republik Indonesia ini. Gus Dur dikenal sebagai intelektual muslim yang berdedikasi tinggi terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Gus Dur tidak hanya bagian penting kaum Nahdliyin (sebutan orang Nahdlatul Ulama) saja, tetapi bagi umat beragama serta bangsa Indonesia. Ia yang dikenal nyentrik, humanis, dan humoris ini tidak pelak membuat banyak orang kagum akan sosoknya.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan tokoh yang lahir dari kalangan terkemuka di Nahdlatul Ulama. Ia lahir di Jombang, 7 September 1940 dari pasangan KH. Wahid Hasyim dan Nyai Solichah Wahid.
Gus Dur merupakan cucu dari salah satu muassis (pendiri) Jam’iyyah Nahdlatul Ulama yaitu KH. Hasyim Asy’ari. Ia memiliki istri bernama Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat anak perempuan.
Masa Pendidikan Gus Dur Muda
Gus Dur kecil mempunyai nama asli yaitu Abdurrahman ad-Dakhil. Saat masih belia, Gus Dur ditempa langsung ilmu agama dari Sang Kakek, KH. Hasyim Asy’ari sehingga ia mampu lancar membaca Al-Qur’an di usia lima tahun. Pada bidang ilmu pengetahuan umum, Gus Dur pernah mengenyam pendidikan di SD Matraman Perwari Jakarta dan SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Yogyakarta.
Beberapa pesantren pernah ia singgahi guna memperdalam ilmu agama seperti Ponpes Krapyak Yogyakarta, Ponpes Tegalrejo Magelang, dan Ponpes Tambakberas Jombang. Dia usia 22 tahun, Gus Dur sudah berangkat ke tanah suci guna melaksanakan ibadah haji.
Tidak hanya belajar di tanah air saja, Gus Dur pernah berkuliah di luar negeri seperti Universitas Al-Azhar Kairo Mesir di Fakultas Syari’ah pada tahun 1963.
Lalu pada tahun 1966, ia pindah ke Universitas Baghdad Irak, mengambil di Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab hingga lulus pada tahun 1970. Ia juga sempat berkelana untuk belajar ke Belanda, Jerman, dan Perancis sebelum kembali ke tanah air pada 1971.
Jejak Karier Gus Dur dalam Dunia Jurnalistik dan Organisasi Nahdlatul Ulama
Selama kembali ke Indonesia, Gus Dur muda terbilang aktif di beberapa organisasi seperti di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang merupakan wadah bagi para intelektual muslim yang sosial dan demokrat.
Gus Dur banyak membuat tulisan mengenai kepesantrenan agar tradisi pesantren di Indonesia tetap terjaga dan sesuai perkembangan zaman.
Ia juga merambah terjun ke dunia jurnalistik seperti Tempo dan Kompas sebagai seorang jurnalis. Tidak heran, berkat berbagai tulisannya itu membuatnya sering diundang di acara seminar maupun mengisi materi perkuliahan.
Pada tahun 1974, tidak hanya aktif dalam kegiatan organisasi dan jurnalistik saja, Gus Dur pernah menjadi guru di Ponpes Tambakberas Jombang dan menjadi dosen di Universitas Hasyim Asy’ari. Ia tercatat mulai aktif di kepengurusan Nahdlatul Ulama mulai tahun 1984.
Ia juga sebagai pelopor adanya Khittah NU 1984 guna mengembalikan esensi NU sebagai organisasi kemasyarakatan. Pada masa Orde Lama, NU berubah menjadi partai politik yang berusaha menaungi aspirasi masyarakat NU untuk berkontestasi di beberapa pemilu waktu itu.
Dalam organisasi keislaman terbesar di dunia itu, Gus Dur pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidziah PBNU sebanyak tiga kali dalam kurun waktu sejak 1984 hingga 1999. Pada masa Orde Lama di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, Gus Dur seringkali berseberangan dengan pemerintah dan menjadi oposisi terkuat Soeharto.
Hal ini terjadi karena Gus Dur menganggap zaman Orde Baru semakin otoriter. Pada masa itu, Nahdlatul Ulama bagai terasingkan di pemerintahan bahkan mendapat intervensi terutama pada Muktamar NU 1994 di Cipasung Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menjadi Presiden Republik Indonesia Pasca Reformasi
Setelah masa reformasi, Gus Dur bersama para tokoh lainnya mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus menjadi Ketua Umum pertama. Ia terpilih menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia dalam Sidang MPR-RI pada tahun 1999. Ia terpilih secara demokratis mengalahkan dua calon lainnya yaitu Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz.
Ia resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia pada 20 Oktober 1999 dengan Wakil Presiden yaitu Megawati Soekarnoputri. Selama menjadi Presiden, Gus Dur terkenal sebagai seorang Guru Bangsa teladan yang humanis dan humoris.
Sosoknya menjadi panutan bukan hanya bagi para Nahdliyin, tetapi juga bagi kaum umat beragama lainnya. Perannya dalam membela dan melindungi kaum minoritas membuatnya digandrungi oleh masyarakat Indonesia.
Gus Dur senantiasa memperjuangkan hak-hak warga minoritas yang tertidak terlebih di zaman Orde Baru. Ia merupakan tokoh yang paling menyuarakan pentingnya penghargaan terhadap nila-nilai kemanusiaan serta penolakan adanya diskriminasi terhadap salah satu etnis tertentu.
Salah satu keputusannya sewaktu masih menjadi presiden adalah menetapkan Tahun Baru Cina (Imlek) sebagai hari libur nasional serta pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa pada Januari 2001. Berkat jasanya tersebut, pada 10 Maret 2004, Gus Dur diberikan gelar sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia” oleh masyarakat Tionghoa di Semarang.
Gus Dur juga dikenal sebagai seorang presiden yang humoris dan mudah berbaur dengan masyarakat. Humornya bisa membuat orang tertawa terbahak-bahak dan meredakan tensi perpolitikan waktu itu. Bahkan, Presiden Gus Dur pernah membuat Bill Clinton tertawa lebar saat mereka bertemu di Gedung Putih Washington DC, Amerika Serikat (AS).
Adapun beberapa kebijakannya yang dianggap kontroversial kerap kali menimbulkan pro kontra di masyarakat terutama kalangan elit politik yang berseberangan dengannya. Pada akhirnya, Gus Dur dilengserkan secara politik dari kursi kepresidenan Indonesia oleh MPR-RI pada 23 Juli 2001.
Wafatnya Sang Guru Bangsa
Gus Dur meninggal dunia di usia 69 tahun. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di pada Rabu, 30 Desember 2009 sekitar pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Puluhan ribu pentakziah berbondong-bondong mendatangi kediamannya guna mengantarkan sosok Guru Bangsa tersebut. Gus Dur dimakamkan di komplek pemakaman Ponpes Tebuireng Jombang di samping kakek dan ayahnya yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim.
Gagasan, ide, dan pemikirannya sering menjadi rujukan dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara dalam lingkup lintas etnis dan agama. Banyak kalangan yang menjuluki Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme.
Ia telah mewariskan pentingnya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan tegaknya demokrasi sesuai yang telah diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945.
Dedikasinya sebagai Guru Bangsa, kiai, jurnalis, cendikiawan, dan politikus menjadikan Gus Dur sebagai sosok teladan yang menginspirasi bagi kaum muda Indonesia agar untuk senantiasa berjuang dalam menimba ilmu pengetahuan serta mengamalkan dan berdedikasi tinggi di kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. [] Mohammad Fattahul Alim
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah