Almuhtada.org – Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi tertua dalam Islam. Yang paling terkenal dari aliran ini adalah pemikirannya yang menempatkan akal di atas Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai Mu’tazilah secara lebih mendalam. Dan dimohon untuk para pembaca mencermati dengan baik diksi yang dipakai agar tidak terjadi kesalahpahaman dan agar pengetahuan ini bisa tersampaikan dengan baik.
Definisi Mu’tazilah
Mu’tazilah secara bahasa berasal dari kata i’tazal yang berarti berpisah atau memisahkan diri atau dapat juga diartikan menjauh atau menjauhkan diri. Sedangkan secara istilah, Mu’tazilah diartikan sebagai orang yang memisahkan diri.
Sebenarnya ada banyak versi tentang awal mula kata Mu’tazilah yang kemudian dinisbahkan kepada aliran ini. Namun, dalam artikel ini akan dibahas kisah yang paling sering didengar.
Suatu ketika, Hasan al-Bashri ditanya tentang kedudukan pelaku dosa besar, karena pada saat itu ada dua pendapat dari dua aliran teologi Islam yang berbicara mengenai kedudukan pelaku dosa besar. Yang pertama aliran Khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar termasuk orang yang kafir.
Dan pendapat yang kedua datang dari aliran Murji’ah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar masihlah seorang mukmin dan masih patut baginya untuk masuk surga.
Namun, sebelum Hasan al-Bashri menjawab pertanyaan tadi, muridnya, Washil bin Atha’ menyangga dan berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukanlah seorang mukmin tapi juga bukan tidak kafir, melainkan berada di antara keduanya, yaitu fasik. Setelah menyampaikan pendapatnya, Washil bin Atha’ pun pergi ke arah masjid dan menyampaikan pendapatnya lagi ke murid Hasan al-Bashri yang lain.
Kemudian, Hasan al-Bashri berucap, ”اعتزل عنّا واصل”. “Washil telah memisahkan diri dari kita”. Terdapat dua kesimpulan yang mungkin dari ucapan Hasal al-Bashri terhadap Washil. Yang pertama, Washil bin Atha’ telah memisahkan dirinya dari ajaran Islam yang diajarkan Hasan al-Bashri. Dan yang kedua, Washil bin Atha’ telah memisahkan dirinya dari ajaran agama Islam. Inilah yang kemudian dinisbahkan kepada pengikut dari ajaran Mu’tazilah.
Lalu, jawaban Hasan al-Bashri dari pertanyaan tadi adalah “Sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasik yakni keimanannya menjadi tidak sempurna”.
Sejarah Mu’tazilah
Mu’tazilah pertama kali muncul di Bashrah, Irak, pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah. Pemikiran ini pertama kali muncul dari seorang penduduk Bashrah yang bernama Washil bin Atha’ yang berpendapat tentang kedudukan pelaku dosa besar (seperti kisah di atas).
Para tokoh aliran Mu’tazilah terus menyebarkan aliran ini sampai pada waktu itu, aliran Mu’tazilah mendominasi bahkan dijadikan mazhab resmi negara dan memenuhi empat kekhalifahan awal Daulah Abbasiyah.
Seiring dengan bertambahnya pengikut aliran Mu’tazilah, para tokoh aliran ini mempelajari dan mendalami filsafat barat yang membuat di dalam ajaran Mu’tazilah lebih mengutamakan akal di atas Al-Qur’an dan Hadist. Sedangkan Al-Qur’an dan Hadist hanyalah penopang atau pendukung dari akal.
Sebagai tambahan, ada yang berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah lahir dari aliran Qadariyah yang berselisih mengenai kedudukan pelaku dosa besar. Ini juga dapat dilihat dari beberapa ajaran Mu’tazilah yang mirip dengan ajaran Qadariyah.
Pemikiran atau Ajaran Mu’tazilah
Ajaran Mu’tazilah yang pertama yaitu tentang kedudukan pelaku dosa besar. Namun, tentu saja bukan hanya itu ajaran dari aliran Mu’tazilah.
Setidaknya ada lima dasar ajaran (ushulul khamsah) dari aliran Mu’tazilah yang bahkan dikatakan oleh Abu Hasan al-Kayyath dalam kitabnya al-Intisar bahwa tidak ada yang berhak mengaku sebagai pengikut aliran Mu’tazilah jika tidak mengakui ajaran ushulul khamsah.
Berikut adalah ajaran ushulul khamsah dari aliran Mu’tazilah :
- At-Tauhid
Ajaran yang pertama, yaitu pengesaan Allah. Sebenarnya setiap aliran teologi Islam memegang ajaran ini. Namun, dalam aliran Mu’tazilah prinsip keesaan Allah ini dibahas secara lebih mendalam.
Pada aliran ini dikatakan bahwa Tuhan harus disucikan dari hal-hal yang mencoreng keesaannya. Sehingga, aliran ini menganggap sifat Tuhan itu tidak ada karena jika sifat Tuhan itu ada, maka tempatnya ada di luar dari Dzat-Nya dan itu akan mencoreng konsep kekekalan Tuhan.
Penjelasannya yaitu, bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kekal dan jika Tuhan memiliki sifat-sifat-Nya yang di luar Dzat-Nya, maka bukan hanya Tuhan yang kekal dan itu akan menyimpang dari sifat-Nya. Oleh karena itulah, aliran ini mengatakan bahwa sifat Tuhan adalah esensi dari Allah Swt.
- Al-’Adl
Al-’Adl yaitu Tuhan Yang Maha Adil. Ajaran ini juga umum ditemukan pada aliran-aliran lain dalam Islam. Namun, tentu saja akan dibahas pandangan dari aliran Mu’tazilah tentang konsep Tuhan Maha Adil ini.
Manusia yang berbuat baik dibalas dengan pahala. Sedangkan, manusia yang berbuat buruk dibalas dengan dosa. Lalu, hadirlah pemikiran yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia sudah ditakdirkan dan ditentukan oleh Allah Swt.
Namun, Mu’tazilah berpendapat lain, aliran ini mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, bisa menentukan pilihannya sendiri, dan menciptakan tindakannya sendiri tanpa campur tangan Allah di dalamnya.
Ajaran ini berusaha mensucikan sifat Allah Yang Maha Adil, karena jika Allah Swt. yang menentukan perilaku seseorang, maka tidak akan tercapai keadilan, untuk apa diberikan dosa pada orang yang sudah ditentukan untuk melakukan perbuatan dosa oleh Allah dan begitupun sebaliknya, untuk apa memberikan pahala kepada orang yang sudah ditentukan oleh Allah untuk berbuat kebaikan?
Dengan berlandaskan itu, Mu’tazilah mengajarkan konsekuensi logis antara perilaku manusia dan balasannya, yaitu bahwa manusia menciptakan dan memilih sendiri tindakannya dan dari sini akan tercipta keadilan Allah Swt. terhadap perilaku makhluknya, yaitu apapun yang diterima di akhirat kelak adalah balasan dari perbuatannya di dunia.
Lebih lanjut lagi, dengan berlandaskan juga pada sifat Tuhan yang Maha Bijaksana, maka yang keluar dari Tuhan dan dikehendaki Tuhan haruslah yang baik dan demi kebaikan makhluknya, berdasarkan itu, Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak mungkin Tuhan menghendaki perbuatan buruk dan keburukan terjadi.
Namun, Ahlu Sunnah wal Jamaah mengatakan jika Allah Swt. tidak menghendaki perbuatan buruk terjadi, maka akan terlihat kelemahan dari Allah itu sendiri, karena ada perbuatan di luar kehendaknya yang terjadi dan diwujudkan oleh makhluknya. Maka, Ahlu Sunnah wal Jamaah menekankan perlu dibedakan antara ridho Allah Swt. dan kehendak-Nya.
- Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ketiga dari aliran ini adalah konsep janji dan ancaman Allah Swt. Allah tidak akan melanggar janjinya dan perbuatannya sendiri akan dibatasi oleh janji-Nya.
Ajaran ini berbunyi bahwa Allah Swt. akan memberikan pahala bagi orang yang taat dan akan menyiksa pelaku maksiat. Lagi-lagi ajaran ini sangat umum ditemui di berbagai aliran teologi Islam.
Dan tampaknya, ajaran ketiga ini bertujuan untuk mendorong berbuat baik dan menjauhi maksiat.
Penulis kurang mendapatkan penjelasan tentang ajaran ketiga ini, untuk penjelasan lebih detailnya bisa dicari sendiri pada literatur yang terkait.
- Al-Manzilabain al-Manzilatain (Tempat di antara dua tempat)
Pemikiran inilah yang menjadi awal mula terbentuknya aliran Mu’tazilah, yaitu mengenai kedudukan pelaku dosa besar. Ada dua aliran besar (pada waktu itu) yang berpendapat mengenai kedudukan pelaku dosa besar.
Aliran Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, sedangkan aliran Murji’ah masih menganggap pelaku dosa besar adalah seorang mukmin bahkan masih patut surga untuknya. Kemudian, Mu’tazilah berpendapat lain, yaitu pelaku dosa besar bukanlah seorang mukmin tapi juga tidak kafir, melainkan ada di antara keduanya, yaitu, fasik.
Lebih lanjut, Mu’tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar yang meninggal dalam keadaan belum bertaubat maka akan dimasukkan ke dalam neraka dengan hukuman yang lebih ringan.
- Amr Ma’ruf Nahi Munkar
Lag-lagi ini adalah ajaran yang sangat umum ditemukan di semua ajaran teologi Islam. Amr Ma’ruf Nahi Munkar, yaitu menyuruh kebaikan dan melarang keburukan.
Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang, yaitu untuk menyeru orang kepada kebaikan dan mencegahnya dari berbuat keburukan.
Namun, yang berbeda adalah Mu’tazilah lebih eksrem dalam penerapan konsep Amr Ma’ruf Nahi Munkar ini. Mereka menghalalkan kekerasan untuk mewujudkan ajaran ini, mulai dari keluar masuk penjara serta penyiksaan untuk menyampaikan ajaran Mu’tazilah, dan banyak darah mukminin yang tumpah karenanya.
Tadi adalah lima ajaran dasar (ushulul khamsah) dari aliran Mu’tazilah. Namun, selain itu masih ada beberapa pendapat aliran Mu’tazilah yang didasarkan pada penggunaan akal/rasio, yaitu :
- Hanya mengakui Isra’ Nabi Muhammad SAW ke Baitul Maqdis, tapi tidak mengakui Mi’raj-nya ke langit
- Tidak memercayai wujud ‘Arsy dan Kursi Allah Swt.
- Dan beberapa pendapat lain
Telah dibahas mengenai aliran Mu’tazilah, penjelasan lebih detailnya bisa dicari sendiri di literatur yang tersedia.
Dan yang perlu dicatat adalah penulis tidak bermaksud untuk menyesatkan pihak manapun. Oleh karena itu, penulis sangat menyarankan untuk mencari dan membaca literatur yang berkaitan dengan sanggahan aliran Mu’tazilah (dan aliran lain) oleh Ahlu Sunnah wal Jamaah. [] Abian Hilmi Hidayat
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah