Almuhtada.org – Hubungan antar manusia tentu memiliki harapan dalam proses perjalanannya senantiasa dihadapkan pada kondisi yang rukun guna terciptanya kehidupan yang harmonis. Hubungan yang rukun diartikan sebagai suatu kondisi antar manusia satu dengan yang lain senantiasa menjaga sikap dengan menjunjung tinggi harkat martabat manusia.
Tidak hanya itu, kondisi hubungan yang rukun juga identik dengan sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Kehidupan harmonis sebagai implikasi dari hubungan yang rukun akan membawa seseorang kepada suatu ketercapaian dalam pemenuhan hidupnya. Tentu, inilah yang menjadi cita-cita dalam hidup.
Namun, kita harus memahami sekaligus memaklumi bahwa hidup itu berdinamika. Kadang diatas, kadang dibawah. Kadang rasanya manis, kadang rasanya pahit. Dinamika kehidupan yang dipahami dalam konteks ini adalah bahwa hubungan antar manusia itu tidak selalu melulu dalam keadaan yang mulus. Adakalanya diantara mereka terjadi suatu kesalahpahaman yang sangat bisa menimbulkan suatu konflik.
Hal ini mungkin terjadi karena manusia diciptakan dengan karakteristik yang berbeda-beda, termasuk soal pola pikir. Pola pikir ini salah satu yang mendorong munculnya sikap dalam diri manusia. Perbedaan pola pikir antara satu manusia dengan manusia lainnya inilah yang kadang kala menjadi faktor penyebab kesalahpahaman diantara keduanya. Konflik yang terjadi sebagai implikasi tersebut akan membuat harmonisasi semakin menipis apabila tidak kunjung diselesaikan.
Sebagai penambah informasi. hal tersebut selaras dengan teori realitas dalam disiplin ilmu hubungan internasional. Teori realitas menyatakan bahwa hubungan antara satu negara dengan negara lain dalam menjalankan aktivitas politik dalam rangka menjaga dan mewujudkan kepentingan nasionalnya tidak selalu dihadapkan pada hubungan yang damai, tapi terkadang dilakukan melalui konflik yang berujung perang.
Teori realitas ini agaknya sebagai pembantah para tokoh dalam ilmu hubungan internasional yang cenderung bersifat idealis. Dasar asumsi teori realitas ini berkaca pada sifat manusia itu sendiri yang cenderung problematik. Adanya sikap egois adalah salah satu sifat yang mendorong keyakinan akan munculnya teori realitas itu sendiri. Asumsi itu muncul memiliki dasar tersendiri yaitu adanya sistem politik internasional yang cenderung anarkis.
Dalam konteks ini kita tidak akan berbicara mengenai teori realitas secara lebih lanjut, tetapi akan melihat bagaimana sikap yang seyogianya diterapkan ketika dihadapkan suatu konflik. Sebagai manusia, misalnya ada seseorang yang awalnya begitu akrab dengan kita kemudian karena salah paham orang tersebut menyakiti kita dengan kata-kata yang tidak enak, kira-kira kalau seperti itu apa yang harus dilakukan? Apakah akan balas dendam atau justru lebih memilih memaafkan?
Keduanya adalah pilihan yang pasti dihadapkan pada kita ketika dalam situasi berkonflik dengan orang lain. Ketika disakiti tentu pasti rasanya sangat tidak enak. Secara alamiah manusia pasti ada perasaan untuk ingin kembali membalaskan apa yang telah diperbuat sebelumnya kepada kita. Namun, hal itu justru akan semakin memperpanjang permasalahan yang ada dan bahkan berpotensi untuk menimbulkan tindakan yang cenderung kriminal. Kalau begitu, apa yang harus dilakukan? Sebaiknya yang perlu dilakukan ketika dalam kondisi seperti itu adalah memaafkan.
Islam mengajarkan akan kedamaian dan Allah sangat suka dengan sikap damai. Konflik yang terjadi dalam kehidupan adalah sebagian kecil upaya untuk membentuk manusia menjadi pribadi yang lebih bijaksana. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat As-Syuro ayat 40 yang artinya:
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”
Dari ayat tersebut dapat sekilas diinterpretasikan bahwa apabila membalas tindakan orang yang menyakiti kita adalah dengan tindakan yang sama atau setimpal dengannya. Namun, ada langkah yang jauh lebih bijak dan baik yaitu dengan memaafkan. Dalam surah itu Allah sampaikan janjinya bahwa bagi mereka yang memaafkan dan berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat maka akan diberinya pahala yang melimpah dari Allah.
Lebih lanjut dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 134 Allah menegaskan, bahwa seorang Muslim yang memiliki ketakwaan dianjurkan mengambil paling tidak satu dari tiga sikap ketika dihadapkan situasi menerima kejahatan dari seseorang. Sikap itu adalah amarah ditahan, memaafkan, dan berbuat baik terhadap orang yang berbuat kesalahan.
“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”
Rasulullah SAW sebagai manusia pilihan sekaligus kekasih Allah dalam semasa hidupnya adalah pribadi yang pemaaf. Dikisahkan dari istri Rasulullah SAW, Aisyah pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah maka dia menjawab:
“Beliau tidak pernah berbuat jahat, tidak berbuat keji, tidak meludah ditempat keramaian, dan tidak membahas kejelekan dengan kejelekan. Melainkan beliau selalu memaafkan dan memaklumi kesalahan orang lain”. (HR. Ibnu Hibban).
Dari cerita tersebut kita pahami bahwa seyogianya kita berusaha dengan baik untuk memaafkan orang-orang yang berbuat jahat dan salah kepada kita. Memang betul bahwa manusia adalah tempatnya salah, namun juga sebisa mungkin kita sebagai manusia mampu menjaga diri dengan baik dengan tidak menyakiti orang lain. Menjaga perkataan dan perbuatan adalah bagian dari upaya mengimplementasikan nilai-nilai toleransi guna mewujudkan kehidupan yang harmonis.
Memaafkan sebagai salah satu sikap yang begitu mulia tetapi sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi karena upaya untuk menyelaraskan antara pikiran hati memang tidak mudah. Sikap memaafkan perlu dilatih dengan penuh komitmen yang kuat.
Ada salah satu prinsip pandangan hidup dari Yunani Kuno bernama stoicism (stoikisme) yang dapat membantu manusia untuk mampu perlahan lebih mudah menerima kesalahan orang lain dan memaafkannya. Sekilas prinsip ini menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang begitu sempurna dan seyogianya mampu bahagia secara berkelanjutan.
Kebahagiaan diciptakan dengan memahami bahwa tidak semua hal dapat dikendalikan. Ibaratnya, kita tidak bisa mengontrol apa yang dilakukan orang lain kepada kita, namun yang bisa kita kontrol adalah respon atas perilaku orang lain tersebut. Respon positif akan menentukan hasil perasaan dalam diri kita.
Dikutip pernyataan dari seorang tokoh publik sekaligus dosen di salah satu kampus negeri Yogyakarta, Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag yang menyampaikan bahwa rasa sakit hati itu tidak akan kita rasakan kalau kita tidak mengizinkannya singgah. Tetapi, kalau kita mengizinkan rasa sakit itu singgah dalam diri tentu kita akan merasakan sakit. Semua adalah tergantung kontrol diri. [] Maulana Junaedi
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah