Memohon Luput dari Buta Hati

Oleh: Fafi Masiroh

Pagi pagi Abdul terlihat begitu muram di depan rumahnya. Ia meremas rambutnya mengingat tagihan listrik yang cukup tinggi sedangkan sampai sekarang pemasukannya tidak bisa seimbang dengan pengeluarannya. Pikirannya semakin semrawut ketika ia hanya bekerja tiga kali dalam seminggu, tidak seperti biasanya sebelum musim pandemi. Belum lagi ketika banyak berdiam di dalam rumah, ia sering khilaf membelanjakan sesuatu yang tidak perlu dan bukan prioritas. Alhasil, demikianlah ia. Merasa hidupnya semakin berantakan dan tidak tahu harus berbuat apa. Selanjutnya ia memilih untuk keluar sebentar, membeli sebungkus nasi pecel untuk disantapnya sebagai hidangan sarapan.

“Dul, kenapa to kamu ini? Pagi pagi sudah semrawut saja wajahnya. Mbokya yang seger gitu, kan ini masih pagi”. Sapa Gus Mad melihat Abdul yang dari kejauhan sudah tampak murung wajahnya.

“Eh, gus. Apa kabar Gus Mad?” balas Abdul cengengesan kemudian duduk di depan Gus Mad setelah memesan sebungkus nasi pecel.

“Alhamdulillah ‘ala kulli hal. Kamu gimana, saya ini dari tadi nanyain kamu tambah ga kamu jawab. Kenapa?” tanya Gua Mad menunggu jawaban dari Abdul.

“Itu gus, anu..”

“Anu gimana to, cerita saja siapa tahu saya bisa bantu”. Timpal Gus Mad.

“Biasa gus, gara gara pandemi yang tidak segera selesai kerja saya makin tidak karuan. Biasanya seminggu libur satu kali, eh ini malah masuknya jadi tiga kali seminggu. Keperluan juga tambah banyak gus. Bingung”. Ungkap Abdul menceritakan keadaannya.

Baca Juga:  Konten Quotes Hijrah, Dakwah Tapi Menyimpang?

“Dul Abdul, kerja full libur sekali kamu ngeluh. Sekarang dikasih libur juga ngeluh. Terus gimana?”. Tanya Gus Mad heran.

“Bukan begitu juga to gus, lahwong ini liburnya kebanyakan. Kelamaan di rumah saya juga bingung to gus harus ngapain?” Abdul mengeluh lagi.

“Memangnya kamu ini ngapain aja kalau di rumah?” tanya balik Gus Mad.

“Palingan juga bersih bersih rumah seadanya, setelah itu ya santai santai saja gus, tiduran, istirahat, main handphone. Hehe”.

“Pantes saja to dul, kamu ini gampang bingung kaya orang linglung”.

“Loh memangnya kenapa gus?”.

“Kamu punya banyak waktu luang, tapi kamu gunain semacam gitu. Lama lama hati kamu bisa buta nanti, Dul”.

‘Buta bagaimana to gus? Kok bisa hati buta begitu”.

“Denger dul, yang namanya besi itu kalau dibiarin lama kelamaan bisa karat, sama kaya hatimu gitu.”

“Bagaimana to gus, saya belum dapat maksudnya?” tanya Abdul bingung kemudian mengganti posisi duduknya dengan lebih nyaman.

“Supaya besi tidak karat, maka harus rutin dikasih pengkilapnya. Sama seperti hati, kalau tidak rutin digunakan untuk mengingat Allah lama kelamaan akan buntu, buta ga tahu jalan. Jadi, alangkah baiknya kamu itu perbanyak mengingat Allah, berdzikir, apalagi di waktu luang. Insya Allah hati kamu bakal lebih tenang. Kalau hati tenang, pikiran ikut tenang, selanjutnya kamu akan tahu harus berbuat apa saja untuk mengatasi masalahmu itu”.

“Astaghfirullah, begitu to gus”. Abdul manggut manggut.

“Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah bersabda, Allah berfirman; Hambaku tidak henti hentinya mendekati-Ku dengan taat dan tulus, hingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya ketika ia mendengar, menjadi penglihatannya saat ia melihat, serta menjadi tangannya saat ia menggapai, dan menjadi kakinya saat ia melangkah. Faham belum?”.

Abdul menggeleng antusias sambil masih cengengesan.

“Dul, Abdul. Begini, yang memberi kehidupan ini kan Allah. Allah memang memerintahkan hambanya untuk ikhtiar, tapi juga tetap harus ingat ikhtiar saja itu sombong, tidak boleh. Makanya kita juga perlu banyak banyak mengingat Allah, supaya lebih dekat sama Allah, makin cinta sama Allah. Selanjutnya, kalau kamu semakin dekat dan cinta sama Allah, aksi reaksi, Allah pun sebaliknya sama kamu. Kalau namanya sudah cinta, apa aja yang diminta pasti bakal lebih mudah to untuk diturutin?” jelas Gus Mad.

Baca Juga:  Cinta Allah, Tidak Berawal dan Tidak Berakhir

“Oh, geh gus faham saya faham. Jadi sebagai hamba yang tahu diri, dalam keadaan apapun kita harus memperbanyak mengingat Allah. Dengan banyak mengingat Allah, kita akan semakin dekat dengan Allah, dan Allah akan akan lebih besar memberi keridhlaan pada kita. Insya Allah”. Jelas Abdul faham.

“Alhamdulillah, benar dul. Bahkan seorang sahabat bertanya kepada Rasullah saw seberapa utamanya berdzikir. Beliau menjawab Meskipun ia mengacungkan pedangnya kepada kafir atau musyrik, hingga semuanya hancur dan pedangnya berlumuran darah, mengingat Allah tetap lebih utama tingkatannya.  Begitu utamanya untuk mengingat Allah, salah satu manfaatnya ya tadi supaya kita luput dari kebutaan hati”.

“Baik gus, baik. Terima kasih atas pencerahannya dan sudah diingatkan. Insya Allah saya akan memperbaiki diri, termasuk banyak mengingat Allah sebagai pemberi kehidupan”.

“Aamiin, Insya Allah”. Tak lama kemudian Gus Mad pamit terlebih dahulu setelah selesai menikmati nasi pecel kesukaannya, termasuk kesukaan Abdul.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Related Posts

Latest Post