Manakah yang Menjadi Prioritas?

Oleh: Zahrotuz Zakiyah

Prioritas yang kita ketahui adalah apa yang kita utamakan atau apa yang selalu kita anggap paling utama. Dalam KBBI prioritas adalah yang didahulukan dan diutamakan daripada yang lain, sedangkan memprioritaskan berarti mendahulukan atau mengutamakan sesuatu daripada yang lain.

Berbicara mengenai prioritas, pastinya bagi orang yang beragama islam memprioritaskan hal beribadah kepada sang kholiq. Namun yang saya bahas adalah prioritas dalam hal waktu, atau lebih tepatnya mana waktu yang kita prioritaskan dalam hal melakukan aktivitas sehari-hari.

Contoh hal lain dalam lingkup prioritas yang kita ketahui umumnya yaitu dalam hal berpacaran. Dalam hal ini pastinya kita tahu bahwa pacar ini selalu menjadi prioritas kita, padahal belum tentu dia (sang cowok) memprioritaskan kita. Seorang wanita yang bucin (budak cinta) pastinya lebih memprioritaskan seorang cowoknya, seperti dalam hal chattingan, dia menyematkan chat cowoknya, karena menurutnya dia orang yang diprioritaskan dalam hal berhubungan, padahal cowoknya belum tentu memprioritaskan.

Kita sebagai orang yang berpendidikan jangan sampai terjerumus dalam hal yang negatif, terutama dalam hal percintaan ini. Karena menurut saya, pacar bukanlah seorang yang patut di prioritaskan, tetapi dia hanyalah seorang yang dapat memacu semangat kita. Lantas apa yang patut kita prioritaskan?

Seorang mahasiswa yang sekaligus menjadi seorang santri, mereka harus pandai dalam hal memprioritaskan waktu. Karena mereka di hadapkan dengan 2 waktu, yaitu waktu untuk kuliah dan waktu untuk kegiatan pondoknya. Apakah kita harus memprioritaskan keduannya atau salah satunya?

Menurut saya, jadikan keduanya sebagai prioritas di waktu yang tepat. Maksudnya yaitu, dimana saat kita sedang melakukan kegiatan kuliah, maka prioritaskan waktu kuliah kita dan gunakan dengan sungguh-sungguh. Kemudian dimana saat waktu untuk pondok tiba, maka jadikanlah prioritas waktu tersebut. Jangan sampai kita memprioritaskan waktu pondok di dalam waktu kuliah, dan sebaliknya. Karena pasti keduanya memiliki waktu sendiri-sendiri. Sesibuk apapun semua itu, kita harus pandai dalam mengaturnya.

Contohnya, kita kuliah diwaktu pagi hingga sore, mungkin ada beberapa yang waktu kuliahnya di malam hari. Sedangkan kegiatan pondok biasanya dilaksanakan pada malam hari. Jangan sampai kita absent dalam kegiatan pondok dikarenakan terlalu banyak tugas kuliah yang belum kita kerjakan. Jikapun itu bukan karena tugas kuliah, kita biasakan izin kepada orang yang sudah ditentukan untuk mengatur jalannya kegiatan tersebut. Hal tersebut sudah jelas, dimana kita harus memprioritaskan dua waktu yang tepat.

Jika kita memprioritaskan dua waktu yang tepat, maka itu akan menjadikan sebuah kebiasaan bagi diri kita. Selalai apapun orang, jika dia sudah memprioritaskannya maka dia akan tetap melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Maka, jangan biarkan dua waktu yang berharga kita biarkan bertaburan karena kita hanya memprioritaskan salah satunya.

Bukan hanya untuk seorang mahasiswa yang sekaligus santri, tetapi siapapun itu kita harus memprioritaskan yang tepat. Mana yang patut menjadi prioritas, maka prioritaskan! Jangan sampai karena kita sudah memprioritaskannya, tetapi kita malah membiarkannya begitu saja. Dan jangan biarkan karena kita telah memprioritaskannya, ternyata dibalik itu ada hal yang lebih penting tetapi kita biarkan begitu saja karena kita telah memprioritaskan satu hal.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

 

Berharap dengan Berdoa

Oleh: Khasiatun Amaliyah

Beberapa sifat manusia di antaranya, tidak pernah puas akan sesuatu yang sudah ia miliki atau dapatkan. Selalu menginginkan dan mengharapkan lebih dari apa yang sudah ia peroleh saat ini. Menjadi baik jika rasa tidak puas tersebut adalah bentuk rasa ingin dan haus akan ilmu pengetahuan dan hal-hal lain yang pada dasarnya adalah untuk mencari ridha-Nya. Begitu pun sebaliknya, menjadi buruk apabila rasa ingin dan haus untuk mencari lebih itu mengarahkan pada perilaku dan niat-niat buruk. Misalnya ingin dipandang baik di mata manusia, munculnya perilaku sombong, dan perasaan bahwa segala sesuatu yang diperoleh karena kerja kerasnya, sebab hebatnya diri, padahal semua tidak lain karena ada campur tangan-Nya. Manusia lemah tanpa pertolongan dari-Nya.

Bolehkah seseorang berharap? Boleh atau tidak? Bagaimana jadinya jika dalam hidup manusia tidak memiliki harapan? Menjalani hidup apa adanya, tidak adanya gairah dan semangat dalam meraih harapan tersebut. Ibaratnya harapan merupakan sesuatu yang begitu ingin direngkuh bagaimana pun itu. Menjadikan diri menjadi manusia optimis dan penuh semangat. Terus saja langkahnya berjalan menggapai harapan, tapi sayap dipatahkan bahkan sebelum terbang.

Gagal. Satu kata yang mampu membuatnya kecewa, bahkan sempat meremehkan, dan menyalahkan diri. Mempertanyakan kenapa harus gagal? Sebenarnya permasalahan bukan terletak pada kegagalan itu, tapi bagaimana seseorang bersikap setelah berada pada titik keadaan gagal atau berhasil.

Kebanyakan manusia lebih sering memperbesar harapan dan angan-angan tanpa disertai kesadaran diri dengan doa yang pasti. Berdoa dan ingat pada-Nya hanya pada saat dan situasi tertentu saja, seolah-olah hanya dengan mengucap beberapa bait kata seketika langsung terjadi.

Berdoa ibarat senjata yang luar biasa bagi kita, terlebih seorang muslim. Akan tetapi tanpa mau mengusahakan sendiri dan keyakinan yang benar dalam berdoa, bagaimana bisa apa yang diharapkan akan terwujudkan?

Jikalau saja seseorang ragu terhadap apa yang mereka doakan, harapkan, dan usahakan bagaimana mungkin Dia akan percaya bahwa kita siap menerima apa yang kita minta?

Berharap dengan berdoa, mempercayainya, dan yakin dalam mengucapkan serta mengusahakan. Harusnya menjadikan manusia sadar, bahwa segala sesuatu terjadi atas izin dan kehendak-Nya. Berharap melalui doa, jika harapan itu terjadi maka itulah bentuk kebaikan dan kasih sayang-Nya pada kita sebagai seorang hamba. Dia melihat usaha, kepayahan, kesulitan, dan apa-apa yang telah kita lakukan. Jikalau pun harapan itu ternyata tidak terjadi, tidak apa-apa, Dia masih ingin melihat kesungguhan kita dalam berdoa dan berusaha. Bisa jadi ternyata, apa yang kita harapkan ternyata bukanlah yang terbaik, dan ada sesuatu yang lebih baik, maka bersabarlah dan jangan berputus asa.

Rasakan bedanya, saat berharap dengan benar-benar melibatkan-Nya. Tidak akan ada rasa kecewa, sedih, dan prasangka buruk lainnya. Justru kita akan menjadi pribadi yang senantiasa mudah bersyukur terhadap segala sesuatu yang terjadi, dari yang terkecil sekalipun.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang Angkatan 2020