Utilitarian Dan Kelabilan Nilai Moral

Oleh : Rayyan Alkhair

Utilitarian adalah salah satu etika atau kebiasaan yang mana sebuah hal dipandang baik manakala ia mendatangkan kebermanfaatan atau kemaslahatan khalayak banyak. Utilitarian pada awal kemunculannya mengambil tempat di UK yang merupakan salah satu kekuatan imperium klasik. Utilitarianisme dibuat sebagai nilai atau konsepsi baru yang menentang kekuatan feodal atau absolutisme oleh penguasa.

Sebuah ciri khas yang ada pada kekuasaan yang absolut adalah kekuasaan menumpuk pada raja atau satu kekuatan. Absolutisme merupakan kewenangan tunggal yang sanagat luas dan cenderung otoriter atau bercorak tiran karena tidak ada lembaga lain yang berkekuatan sama dengan lembaga yang satu. Absolutisme dari perjalanan panjang eksistensinya, menuliskan tinta merah kelam dalam lembar sejarah manusia dengan praktek monopoli kekuasaan dan nilai keadilan.

Utilitarian menentang hal diatas, hal-hal yang berbau absolutis dan monopolistis. Utilitarian hadir sebagai sains yang membawa air ditengah gurun bagi orang yang kehausan, utilitarian hadir sebagai bank yang memberikan modal bagi pengusaha yang hampir pailit, sebagai angin segar yang membawa pergi bau bangkai sekaligus bangkainya. Kebijakan, hukum dan kekuasaan haruslah dapat membahagiakan rakyatnya kepada tingkat yang maksimal.

Utilitarian merupakan teori abstrak yang bertujuan untuk menghasilkan nilai konkret yang diterapkan dalam kehidupan nyata. Sekilas tak ada yang bermasalah dengan utilitarianisme sebagai paham yang dapat menentukan baik dan buruk bagi masyarakat. Namun, dalam segi kepastian atau kewibawaan, etika ini tidak memenuhi kriteria kepastian dan kewibawaan. Kedua hal tersebut merupakan hal yang erat kaitannya dengan hukum dan kekuasaan.

Hukum merupakan kesepakatan masyarakat terkait perilaku yang seharusnya dilakukan oleh anggota masyarakat yang memiliki sanksi mengikat. Hukum dan kepastian dan kewibawaan merupakan entitas yang satu. Sebuah hukum haruslah menimbulkan keastian perilaku bagi aktivitas masyarakat agar hubungan mereka dapat terjalin dengan jelas sedangkan kewibawaan adalah sebuah kriteria yang membuat hukum dijunjung tinggi sebagai pedoman berperilaku.

Sebagai contoh kewibawaan, konstitusi adalah sumber hukum formil yang menjadi norma konkret dasar tempat pengambilan nilai-nilai hukum untuk kemudian dikonkretkan menjadi perangkat hukum baru yang derajatnya lebih rendah dan mengatur perkara yang partikular. Ciri-ciri dari konstitusi adalah isinya mengatur hal-hal yang general (ketentuan umum). Konstitusi adalah hal yang jarang sekali diubah ketimbang peraturan yang derajatnya lebih rendah. Jika konstitusi sering diubah, tentu aturan yang dibawahnya juga semakin sering berubah.

Utilitarian dalam prakteknya juga demikian, ia tidak memiliki sebuah kepastian dalam menentukan sebuah hal baik dan buruk apalagi jika ia dijadikan sebagai produk hukum yang memiliki kedua ciri diatas. Adakah kewibawaan ketika seseorang mengatakan “hewan ini adalah banteng” kemudian hari ia berubah mengatakan “hewan ini adalah burung elang”, dapatkah ia mengganti sebuah nilai yang telah dicap baik menjadi buruk semudah membalikan telapak tangan ?

Sebagai contoh, saya ajukan perbuatan “membunuh” yang akan diaplikasikan kedalam nilai utilitarian. Saya juga akan ajukan sedikitnya dua jenis masyarakat sebagai pembanding, jenis yang pertama adalah masyarakat agamis dan kedua adalah jenis masyarakat psikopat-sadis. Kelompok masyarakat pertama akan mengatakan “membunuh itu buruk, karena itu sangat mengganggu jiwa kami” sedangkan kelompok masyarakat kedua mengatakan “membunuh itu baik untuk kami, kami sangat senang ketika melakukannya”.

Adakah kepastian timbul dari kedua hal diatas ? makin banyak jenis masyarakatnya, akan semakin banyak polaritas yang terjadi yang menuntut sesuai kemanfaatan dan kebaikan komunal. Bagaimana hukum akan menentukan bahwa “membunuh manusia” merupakan hal yang buruk dan dapat dikenakan sanksi pidana  jika karakteristik masyarakatnya seperti kelompok psikopat-sadis yang memandang hal tersebut bukan sebagai sebuah kejahatan.

Contoh lain mengenai ketidak wibawaan yang ditimbulkan oleh utilitarianisme adalah perbuatan “membunuh bayi”. apakah utilitarian akan menjawab dengan pasti dan berwibawa mengenai soalan ini ? saya akan mengadakan sebuah eksperimen mengenai hal ini. Ada dua jenis bayi yang dalam hal ini diambil sebagai contoh yakni bayi fir’aun ramses II dan bayi Musa.as. Jika disandarkan dengan prinsip kebermanfaatan yang luas sudah barang tentu bahwa bayi fir’aun ramses akan dibunuh dan bayi Musa.as akan dibiarkan hidup.

Sebab fir’aun lah yang saat dewasa menyebabkan kesengsaraan dan kesedihan bagi masyarakatnya sedangkan Nabi Musa.as adalah orang yang menggeser fir’aun dan membawa kebahagiaan bagi masyarakat banyak. Maka, menurut utilitarian, jika bayi itu fir’aun ramses dua ia bisa dibunuh dan jika tidak, maka ia tidak boleh dibunuh karena tidak membawa manfaat sama sekali.

Utilitarian membawa sedemikian maslah yang pelik, ia sangat tidak cocok ketika membahas soalan moral dalam artian baik-buruk. Ia sendiri menghadapi kebingungan dan ketidakpastian serta tidak memiliki wibawa yang kemudian berkesimpulan bahwa ia tidak cocok untuk dijadikan sebagai landasan metodologi untuk mengambil hukum.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Saintis dan Pendidik

Oleh:

Fafi Masiroh

Beberapa orang mungkin menganggap bahwa di antara saintis dan pendidik memiliki perbedaan yang sangat kontras. Tidak sedikit orang berargumen bahwa saintis adalah seorang yang sudah terjun dalam suatu lingkup ilmu pengetahuan, atau bahkan sudah menjadi ahli dalam suatu rumpun ilmu. Dalam hal ini misalnya, seseorang yang memiliki kemampuan mendalam terkait disiplin ilmu seperti fisika, biologi, geografi, dan disiplin ilmu lainnya baik mendalami secara material ataupun melalui riset. Sedangkan pendidik merupakan seseorang yang mendidik, yakni membagikan ilmunya kepada orang lain secara kontinu dan berkesinambugan. Dalam hal ini, pendidik berkaitan dengan guru, dosen, konselor dan lainnya. Dari argumen tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa saintis cenderung berpeluang untuk dianggap sebagai seorang ilmuwan, yang disertifikasi mampu untuk menciptakan pengetahuan baru. Lain halnya dengan pendidik, yang hanya sekedar membagikan atau memberikan ilmu pengetahuan yang sudah berkembang dan mereka mampu menguasainya. Hal demikianlah yang membuat di antara saintis dan pendidik memiliki perbedaan yang kontras.

Melihat dari sudut pandang secara luas, bahwa di antara saintis dan pendidik, mereka sebenarnya juga memiliki persamaan. Tentu pastinya, karena setiap kali terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Montessori, seorang doktor wanita pertama dari Italia yang berperan sebagai seorang saintis sekaligus pendidik. Ia merupakan seorang saintis yang berjiwa pendidik, seta seorang pendidik yang selalu memperdalam ilmu. Menurutnya, jika ia menjadi saintis, maka ia seorang pendidik. Mengapa demikian? Karena pendidik, bukanlah hanya semata-mata sebagai sebuah profesi. Pendidik selalu memiliki spirit dalam berbagi ilmu, berkontribusi dalam bidang pendidikan, serta saintis sangatlah perlu memiliki jiwa tersebut. Jiwa untuk membagi ilmu. Bagaimana jika saintis tidak memiliki jiwa pendidik? Lantas bagaimana bisa ilmu pengetahuan yang telah mereka temukan dapat diketahui dan dipahami oleh khalayak umum? Jika demikian, untuk apa mereka menciptakan ilmu pengetahuan baru? Oleh karen itu, saintis, ialah juga pendidik. Demikian juga, menurut Montessori jika ia pendidik, maka ia juga saintis. Seorang pendidik perlu memiliki karakter sebagai saintis, yaitu mereka selalu memiliki semangat dan keinginan besar dalam mengggali dan mendalami ilmu. Jika pendidik menguasai penuh serta mendalami ilmu pengetahuan secara lebih luas, tidak menutup kemungkinan bahwa pendidik akan membagikan ilmu lebih luas da lebih dalam. Bagaimana jika pendidik tidak semangat dalam menggali dan mendalami ilmu? Lantas apa yang akan mereka bagikan jika ilmunya tidak dalam? Oleh karena itu, pendidik pun perlu disebut sebagai saintis.

Lepas dari penjelasan tersebut, baik saintis dan pendidik merupakan tokoh yang sebenarnya penting dalam kehidupan ini, terlebih terkait perkembangan ilmu pengetahuan dan kemjuan suatu bangsa serta dalam melahirkan generasi bangsa yang berkualitas.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang