Nasib Petani Dikala Pandemi

Oleh: Mohammad Fattahul Alim

Petani, kata yang sebagian besar masyarakat awam akan mengatakan bahwa petani merupakan orang yang bermata pencaharian di bidang pertanian atau perkebunan. Secara teoretis, pengertian tersebut tidaklah salah karena sesuai dengan kondisi empirisnya di lapangan. Petani juga memiliki makna, hakikat, dan peran yang sangat mendalam dan berarti terkhusus untuk bangsa Indonesia itu sendiri yang mendapatkan julukan “Negara Agraris”. Peran petani sangat besar untuk negeri ini karena mereka merupakan penyangga ketahanan pangan nasional sejak dahulu hingga sekarang. Hal ini tidaklah mengherankan jika waktu itu Presiden Ir. Soekarno pernah memberikan singkatan khusus yakni Petani (Penyangga Tatanan Negara Indonesia). Nasib para petani sejak dulu sampai sekarang belum dapat menunjukkan progres kesejahteraan yang semakin meningkat, terlebih dikala Pandemi Covid-19 saat ini.

Tingkat kesejahteraan petani selama pandemi ini justru menurun, walaupun aktivitas pertanian para petani terlihat berlangsung normal seperti biasa. Stok hasil pertanian yang semakin melimpah tidak dibarengi dengan peningkatan permintaan oleh masyarakat. Ini tidak terlepas dari adanya pembatasan mobilisasi sosial demi memutuskan rantai penyebaran Covid-19 sepertipasar yang berakibat terhadap distribusihasil pertanian menjadi terganggu dan tersendat. Konsekuensi dari kondisi itu secara tidak langsung mengakibatkan hukum permintaan pun berlaku. Harga-harga komoditas pertanian menjadi turun sedangkan kebutuhan sehari-hari petani justru meningkat. Petani sangat kesulitan menjual hasil panennya dengan harga wajar atau normal. Contohnya di Kabupaten Demak, berbagai komoditas pertanian seperti padi dan bawang merah memiliki harga jual yang sangat rendah di pasaran. Harga jual panen bawang merah pada saat kondisi normal berkisar antara Rp25.000 sampai Rp30.000 per kilogramnya. Akan tetapi, pada masa panen saat pandemi Covid-19, harganya menurun drastissekitar antara Rp5.000 sampai Rp10.000 per kilogramnya. Harga ini berlaku jika kondisi bawang merah berkualitas bagus, jika kualitas kurang bagus makaharganyabisa beradadi bawah Rp5.000 per kilogram atau tidak bernilai sama sekali.

Kondisi yang dialami para petani ini tidak hanya berlangsung sekali, tetapi telah dua sampai tiga kali terhitung sejak awal pandemi Covid-19. Para petani banyak mengalami kerugian belasan sampai puluhan juta setiap panennya karena telahmengeluarkan biaya untuk membeli bibit, membayar tenaga kerja, dan membeli pupuk dan pestisida hama tanaman. Biaya faktor-faktor produksi (input) tersebut tiap tahunnya semakin meningkat sedangkan harga hasilkomoditas pertanian (output)nyajustru menurun atau tidak stabil. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya serangan hama dan penyakit pada tanaman. Adanya pembatasan mobilitas masyarakat seperti PPKM yang diberlakukan saat ini cukup menyulitkan distribusi hasil komoditaspertanian. Dengan demikian, situasi tersebut akhirnya berimbas terhadap tingkat penghasilan dan kesejahteraan petani yang menurun.

Langkah dan upaya konkret harus segera dilakukan demi menjaga dan menyelamatkan nasib petani terlebih di masa pandemi Covid-19. Peran petani sangatlah vital sebagai penyangga ketahanan pangan nasional demi memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia dan untuk mencegah terjadinya krisis pangan nasional selama pandemi. Upaya ini bisa dilakukan mulai dari unit terkecil seperti pemerintah desa masing-masing. Komunikasi sangat penting dilakukan antara pejabat desa dan para petani untuk bermusyawarah dalam menyelesaikan permasalahan ini. Contoh langkah konkret seperti membuat kelompok tanisebagai upaya pemberdayaan dibidang pertanian, dan membuat kreasi dan inovasi berbagai olahan atau makanan dari hasil pertanian yang dibutuhkan oleh masyarakat selama pandemi. Pemerintah desa juga perlu berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan dinas-dinas terkait agar harga dan distribusi komoditas pertanian kembali normal dengan tetap mematuhi PPKM yang sedang berlangsung.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

“Ats-tsabit wal mutaghayyir”

Oleh: Rayyan Alkhair

Kalimat diatas adalah adalah sedikit nasihat yang disampaikan oleh DR. Ahwan Fanani dalam acara “Halal Bi Halal Keluarga Besar Pesantren Riset Al-Muhtada” yang dilaksanakan pada tanggal 31 Mei tahun 2021 pukul 19.30 WIB melalui media daring zoom meeting. Acara halal bi halal tersebut bertemakan “Sucikan Hati Dengan Pererat Silaturahmi Dimasa Pandemi”.

Jika kita melakukan kilas balik sebelum masa pandemi covid-19, seluruh kegiatan baik itu kegiatan ekonomi, sosial ataupun keagamaan dilakukan secara bebas tanpa adanya pembatasan atau bahkan pelarangan dalam ruang publik. Namun, setelah datangnya covid-19 ke Indonesia dan statusnya naik menjadi pandemi, kegiatan sosial, ekonomi dan keagamaan dibatasi bahkan dilarang untuk dilakukan dalam ruang publik untuk mencegah penyebaran virus.

Namun, bagaimanapun buruknya kondisi yang dialami oleh sebuah negara, ia harus tetap menjalankan fungsi dan perannya sekalipun dalam keadaan pandemi ini. Konstelasi yang dihadapi oleh Indonesia membuat negara ini melakukan penyesuaian-penyesuaian atau proses adaptasi dimasa pandemi. Tidak hanya negara saja yang sedang melalui “state of survival”, namun masyarakat juga beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat negara.

Dua kali sudah kita melalui hari raya idul fitri dimasa pandemi ini, dimana baik tahun  2020 maupun sekarang pembatasan atau larangan untuk pulang ke kampung halaman atau pergi ke tempat tertentu untuk bersilaturahim diberlakukan. Dengan adanya pembatasan bahkan larangan mudik atau berpergian, kebutuhan emosional masyarakat agaknya susah dipenuhi.

Hal ini mungkin kita dapat ketahui dari beberapa story atau upload teman-teman kita di sosmed tentang betapa pandemi ini menghalangi mereka untuk sekedar melepas rindu dengan bertemu keluarga atau kerabat di tempat nun jauh. Namun, keadaan yang sudah kita lalui bersama selama satu tahun lebih ini membuat kita terbiasa atau beradaptasi dalam situasi pandemi.

Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya kegiatan-kegiatan daring seperti webminar (seminar daring), khataman online, silaturahmi online dan kegiatan-kegiatan lain yang sebelum pandemi melanda dilakukan secara luring, namun setelah pandemi dilakukan melalui jaringan internet.

Hal ini menurut DR. Ahwan Fanani selaku narasumber acara halal bi halal Pesantren Riset Al-Muhtada adalah lumrah bahkan sudah diprediksi sejak tahun 60an atau yang disebut oleh para ilmuan sebagai sebuah era “postmodern”. DR. Ahwan menjelaskan bahwa salah satu ciri khas dari era ini adalah terjalinnya hubungan yang sekedar simbolis atau simulasi lewat media (interaksi sekunder).

Proses inilah yang sedang kita lalui mulai dari satu tahunlalu, bahkan adaptasi yang kita lakukan bisa dikatakan cepat dan cenderung menyasar kepada sendi-sendi kehidupan yang fundamental atau kita kenal dengan era disruptif. Dalam era disruptif, perubahan-perubahan terjadi secara cepat, manusia didalamnya termasuk negara-negara bersaing satu sama lain untuk beradaptasi dengan perubahan yang niscaya. Perubahan-perubahan inilah yang menciptakan tantangan bagi insan modern di era disruptif.

Ada hal-hal yangberubah dan ada hal-hal yang ajeg atau kita mengenal sebuah asas  “ats-tsabit wal mutaghayyir”. Hal-hal yang cenderung trivial atau periferal akan mudah berubah namun, hal-hal yang sifatnya substansial seperti nilai dan norma akan sulit diubah. Kaidah inilah yang memegang kunci bagi insan agamis dalam melihat dan menghadapi perubahan dimasa pandemi.

Mungkin, metode atau perbuatan, pranata dan media dalam melakukan sesuatu boleh berganti menyesuaikan kebutuhan atau keadaan dalam suatu waktu dan tempat. Namun, substansi yang menjiwai akan sama atau tetap. Sama ketika kita melakukan kegiatan-kegiatan virtual dimasa pandemi ini, dimana kegiatan dilakukan secara dari atau tanpa tatap muka secara harfiah. Namun, substansi yang ada pada kegiatan yang dilaksanakan tetap tidak berubah.

Kemampuan meninjau seperti inilah yang dibutuhkan oleh insan di era disruptif ini, jangan sampai hal-hal yang trivial mengacaukan kita dan kita malah menganggapnya sebagai sebuah hal yang substansial atau krusial. Tempatkan apa yang menjadi tantangan sebagai tantangan, kelemahan sebagai kelemahan, kekuatan sebagai kekuatan dan kesempatan sebagai kesempatan. Dengan demikian, perubahan seperti apapun akan mudah dilalui.

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki kemampuan dibidang olahraga sepak bola, maka ia akan mengasahnya dengan mengikuti pelatihan sekolah sepak bola atau memasuki program studi keolahragaan dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penambahan kualitasnya bermain sepak bola.

Namun, kelebihan ini merupakan pedang bermata dua, ia juga bisa berlaku sebagai kelemahan yang hanya akan mengarah kepada diri sendiri, bukan mengatasi persaingan yang ketat di era disruptif ini dimana perubahan sangat cepat dan membutuhkan pengataman yang cermat dalam melihat perubahan. Bisa jadi ia hanya akan berfokus melatih kemampuan sepak bolanya dan hanya memiliki kemampuan dibidang tersebut.

Namun, karena suatu pesepak bolaan di negaranya diisi oleh praktik korup dan diwarnai tindakan anarkis, maka akhirnya liga sepak bola ditiadakan dalam jangka waktu tertentu. ia akan kehilangan profesinya sebagai atlet profesional tanpa memiliki kemampuan lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Negeri Semu

Oleh : Mohammad Khollaqul Alim

Hamparan perkebunan dan sawah terbentang di segala penjuru wilayah. Lautan biru yang jernih mengelilingi pulau-pulau yang terpisah. Bentangan alam yang elok dan alami menjadikan negeri ini seperti surga yang tersembunyi. Tidak hanya itu, negeri ini juga memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah yang menjadi suatu berkah dan anugerah tersendiri bagi penduduknya. Negeri ini bernama Indonesia. Secara sekilas saja, dapat dikatakan bahwa negeri ini memiliki keistimewaan lebih dibandingkan dengan negeri-negeri yang lain. Oleh karena itu, seharusnya negeri ini mampu menjadi suatu negeri yang besar dan makmur. Tetapi dengan melihat kondisi negeri saat ini, rasanya masih cukup jauh untuk mewujudkan harapan tersebut.

Indonesia adalah negeri yang kaya. Kekayaan yang dimiliki mencakup kekayaan sumber daya alam dan kekayaan sosial. Kekayaan sumber daya alam tersebut meliputi sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati. Sumber daya alam hayati di Indonesia terdiri atas keanekaragaman flora dan fauna yang melimpah yang tersebar di berbagai daerah dan termasuk keanekaragaman terbesar di dunia. Sedangkan sumber daya alam non hayati yang dimiliki Indonesia misalnya gas alam, minyak bumi, dan berbagai jenis hasil tambang lainnya. Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan sosial berupa keberagaman penduduk meliputi keberagaman etnik, suku, agama, maupun budaya. Dengan melihat berbagai potensi tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi “Macan Asia” bahkan negara super power di dunia.

Tampaknya, impian untuk menjadi negara super power ataupun “Macan Asia” masih cukup jauh dari kenyataan. Hingga saat ini, Indonesia masih betah dengan status sebagai negara berkembang. Status tersebut akan terus melekat jika tidak ada semangat perubahan untuk negeri oleh seluruh rakyatnya. Masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus segera dibenahi dan diselesaikan. Sistem birokrasi dan pemerintahan belum terstruktur dengan baik dan terkesan amburadul. Seakan-akan Pancasila dan UUD 1945 hanya menjadi simbol negara demokratis belaka. Banyak pejabat negara yang mampu menghipnotis rakyat dengan menebar janji-janji manis ketika kampanye berlangsung. Tetapi ketika sudah terpilih, mereka sudah lupa untuk menunaikan janjinya tersebut. Pemerintah meminta rakyatnya untuk lebih kritis terkait kebijakan publik saat ini, tetapi pemerintah membentengi diri dengan menaruh UU ITE sebagai tameng sehingga masyarakat merasa ketakutan dan memilih untuk bungkam.

Hukum di negeri ini masih terlihat “Tumpul ke Atas dan Tajam ke Bawah”. Entah mengapa, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat sulit ditegakkan di negeri ini. Para pejabat dan kerabat dekat pemerintah terkesan lebih kebal hukum bahkan hukum cenderung menyengsarakan rakyat biasa. Bahkan para pejabat negara tidak merasa takut jika berbuat korupsi. Seakan-akan korupsi adalah suatu tindakan yang lumrah dan dianggap sebagai “budaya bangsa” di negeri ini. Selain itu, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia harus segera diperbaiki dan ditata kembali. Potensi munculnya perpecahan bangsa semakin jelas dan nyata. Dimana-mana masih terjadi konflik dan pergolakan daerah yang tak kunjung usai. Tindakan diskriminasi yang dilatarbelakangi ras, suku, agama, ataupun budaya juga masih sering terjadi. Bahkan tindakan diskriminasi tersebut dilakukan secara terbuka dan blak-blakan di depan khalayak ramai misalnya di media sosial. Sungguh ironi melihat semua permasalahan tersebut terjadi di negeri ibu pertiwi ini. Semuanya terlihat semu, tetapi terasa nyata dan dapat dirasakan.

Indonesia adalah negeri yang indah dan memiliki kekayaan yang melimpah ruah. Dengan memanfaatkan potensi tersebut, Indonesia pasti mampu menjadi “Macan Asia” bahkan negara super power di dunia. Tetapi, negeri ini masih kesulitan untuk mewujudkan impian tersebut. Masih banyak permasalahan negeri ini yang harus dihadapi dan dituntaskan sesegera mungkin oleh semua elemen bangsa. Mulai dari sistem pemerintahan hingga jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri harus segera diperbaiki dan ditata kembali dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, semua elemen bangsa harus segera bangkit dan bergerak untuk melakukan perubahan dengan cara saling bahu-membahu, tolong-menolong, serta memiliki rasa prihatin dan kepedulian terhadap nasib bangsanya. Bangsa Indonesia juga harus mampu mengoptimalkan dan memanfaatkan berbagai potensi yang telah dimiliki dengan sebaik mungkin. Selain itu, rasa kekeluargaan dan semangat gotong royong juga harus selalu dipupuk dan dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat dalam bersama-sama menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di negeri ini. Bukan tidak mungkin, impian untuk membawa negeri ini menjadi “Macan Asia” bahkan negara super power di dunia dapat segera terwujud di kemudian hari.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Saintis dan Pendidik

Oleh:

Fafi Masiroh

Beberapa orang mungkin menganggap bahwa di antara saintis dan pendidik memiliki perbedaan yang sangat kontras. Tidak sedikit orang berargumen bahwa saintis adalah seorang yang sudah terjun dalam suatu lingkup ilmu pengetahuan, atau bahkan sudah menjadi ahli dalam suatu rumpun ilmu. Dalam hal ini misalnya, seseorang yang memiliki kemampuan mendalam terkait disiplin ilmu seperti fisika, biologi, geografi, dan disiplin ilmu lainnya baik mendalami secara material ataupun melalui riset. Sedangkan pendidik merupakan seseorang yang mendidik, yakni membagikan ilmunya kepada orang lain secara kontinu dan berkesinambugan. Dalam hal ini, pendidik berkaitan dengan guru, dosen, konselor dan lainnya. Dari argumen tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa saintis cenderung berpeluang untuk dianggap sebagai seorang ilmuwan, yang disertifikasi mampu untuk menciptakan pengetahuan baru. Lain halnya dengan pendidik, yang hanya sekedar membagikan atau memberikan ilmu pengetahuan yang sudah berkembang dan mereka mampu menguasainya. Hal demikianlah yang membuat di antara saintis dan pendidik memiliki perbedaan yang kontras.

Melihat dari sudut pandang secara luas, bahwa di antara saintis dan pendidik, mereka sebenarnya juga memiliki persamaan. Tentu pastinya, karena setiap kali terdapat perbedaan juga terdapat persamaan. Montessori, seorang doktor wanita pertama dari Italia yang berperan sebagai seorang saintis sekaligus pendidik. Ia merupakan seorang saintis yang berjiwa pendidik, seta seorang pendidik yang selalu memperdalam ilmu. Menurutnya, jika ia menjadi saintis, maka ia seorang pendidik. Mengapa demikian? Karena pendidik, bukanlah hanya semata-mata sebagai sebuah profesi. Pendidik selalu memiliki spirit dalam berbagi ilmu, berkontribusi dalam bidang pendidikan, serta saintis sangatlah perlu memiliki jiwa tersebut. Jiwa untuk membagi ilmu. Bagaimana jika saintis tidak memiliki jiwa pendidik? Lantas bagaimana bisa ilmu pengetahuan yang telah mereka temukan dapat diketahui dan dipahami oleh khalayak umum? Jika demikian, untuk apa mereka menciptakan ilmu pengetahuan baru? Oleh karen itu, saintis, ialah juga pendidik. Demikian juga, menurut Montessori jika ia pendidik, maka ia juga saintis. Seorang pendidik perlu memiliki karakter sebagai saintis, yaitu mereka selalu memiliki semangat dan keinginan besar dalam mengggali dan mendalami ilmu. Jika pendidik menguasai penuh serta mendalami ilmu pengetahuan secara lebih luas, tidak menutup kemungkinan bahwa pendidik akan membagikan ilmu lebih luas da lebih dalam. Bagaimana jika pendidik tidak semangat dalam menggali dan mendalami ilmu? Lantas apa yang akan mereka bagikan jika ilmunya tidak dalam? Oleh karena itu, pendidik pun perlu disebut sebagai saintis.

Lepas dari penjelasan tersebut, baik saintis dan pendidik merupakan tokoh yang sebenarnya penting dalam kehidupan ini, terlebih terkait perkembangan ilmu pengetahuan dan kemjuan suatu bangsa serta dalam melahirkan generasi bangsa yang berkualitas.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang