Aplausitas Relatif

OLEH: Rayyan Alkhair
Berbicara mengenai harga dari sebuah atau suatu komoditas atau benda lain, kita akan berfikir dengan paradigma ekonomi dengan menggunakan hukum demand dan supply yang mana jika penawaran suatu barang naik maka harga dipasar akan turun dan jika permintaan akan suatu barang naik maka harganya juga ikut naik. Atau mungkin terlintas pada pikiran kita akan teori floor price dan ceiling price yang berorientasi kepada penetapan harga yang menguntungkan baik bagi penjual maupun bagi pembeli. Hukum beserta teori diatas maupun teori lain yang berkaitan, memiliki ikatan dengan bagaimana manusia mengatur harga suatu benda sehingga ia “bernilai” di mata manusia. Namun, pernahkah kita terpikir bahwa aplausitas tersebut adalah hal yang nisbi ? Hal yang kita kejar selama ini, yang kita sangka membawa bahagia adalah cahaya semu dalam gelap yang hilang jika kita melihat sumber segala cahaya ? Apa yang membuat ini semua mungkin dan dapat dipahami ?

Manusia dengan kegiatan mental seperti berpikir, berhasil menemukan pemaknaan atas realita di dunia yang hidup bersamanya. Dengan kata lain, akal menjadi tumpuan kita melihat realitas duniawi dan membuat sebuah pemahaman diatasnya. Namun, dengan sumber ontologis yang berbeda akan menyebabkan perbedaan pula terhadap bagaimana is melihat dunia dan seisinya, dunia dengan segala cahaya yang menyilaukan. Dengan akalnya, manusia berpikir untuk meraih dan merealisasikan kebahagiaan dengan berbagai macam sudut pandang yang secara luas terbagi menjadi materialis dan supernaturalis atau transendentalis. Tuas kemudi ada pada anda, silahkan nahkodai perjalanan hidup tuan dan puan menuju kebahagiaan yang terbagi atas kebahagiaan yang hilang ketika nyawa tak lagi dikandung badan dan kebahagiaan yang berjalan dikala jasad tak lagi berjalan.

Berkata seorang Nabi yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul, Muhammad.saw kepada Humairah “Hai ‘Aisyah, bukankah amal ibadat yang mereka kerkajakan itu adalah menurut kadar akalnya ? Seberapa tinggi akalnya sebegitulah ibadat yang mereka kerjakan serta segitulah pahala yang diberikan”. Lalu, sambung beliau “Allah telah membagi akal kepada tiga bagian ; siapa yang memiliki ketiganya sempurnalah akalnya ; jikalau kurang salah satu maka tidaklah ia dihitung sebagai orang yang berakal”. Bagian pertama ialah ma’rifatullah, kedua ialah baik taatnya kepada Allah dan ketiga ialah sabarnya atas ketentuan Allah.

Tingkatan ini menimbulkan perlainan pandangan ditengah-tengah manusia meski hakikat yang tersembunyi dibaliknya tetap sama. Ada tuan yang senang sekali berada di depan keramaian menjadi pusat hiruk-pikuk manusia, sedangkan tak ia hiraukan tenang dan gelapnya malam untuk berduaan dengan tuhan. Ada yang setiap hari memoles rambut tetapi lupa memoles akalnya dengan ilmu sehingga ia bangga tampil klimis dan necis sedang jiwanya menangis rindu memanggil kesederhanaan dan rasa syukur dalam hal kecil. Ada yang khawatir jika kehilangan tampuk kekuasaan, harta kekayaan dan kepercayaan sekitarnya namun ia tak merasa rugi ketika yang memberikan semua itu kepadanya sama sekali tak ia tunaikan hak-haknya. Andai diri ini tahu ketika jiwa lepas dari segala kungkungan dan menghadap sang maha diraja, lepaslah segala ancaman serta ketakutannya dahulu, hanya kepada tuhannya ia akan takut.

Sejatinya perbedaan tingkat akal inilah yang menimbulkan aplausitas relatif. Tanyakan kepada orang yang kelaparan ditengah gurun apakah yang akan ia ambil dari segelas air dan roti atau uang senilai 1 Miliar. Disaat yang sama tanyakan pertanyaan tersebut kepada orang yang tak lapar dan tak haus. Kita akan menemukan bahwa sesuatu di alam ini dihargai sebagaimana kita melihat dengan akal kita. Tidak mungkin orang berakal yang tengah kehausan di gurun akan memilih uang senilai 1 Miliar ketimbang air segar yang menghilangkan dahaga dan tidaklah mungkin insan yang berakal sempurna memilih sebagian kecil kenikmatan dunia untuk memuaskan raga ketimbang jiwa yang haus akan pertemuan dengan tuhannya. Tangan akan mencari apa yang tak ia genggam sedangkan akal akan mencari makna kebahagiaan yang paripurna.

Bertambah luas akal, bertambah luas pula hidup kita serta bertambah datang kebahagiaan kepada kita. Begitu juga sebaliknya semakin sempit akal semakin sempit kita melihat dunia dan yang akan datang menghampiri adalah celaka. Dengan akal kita mengenal sumber dari segala nikmat, dengan akal kita tahu cara terbaik menggunakan nikmat dengan akal kita menggali hakikat yang tersirat. Oleh karena itu jangan tertipu oleh sebab aplausitas relatif yang timbul akibat keinginan dan khayal semata. Pertimbangkanlah cahaya samar agar tuan tak lagi kembali dalam kegelapan.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Realita Sosok Bu Tedjo Dalam Masyarakat Indonesia

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

Beberapa waktu ini tengah viral sebuah film pendek dengan judul “TILIK”, atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya “Menjenguk”. Film dengan durasi 32.34 menit ini tayang di youtube pada tanggal 17 Agustus 2020, dan pada tanggal 29 Agustus 2020 telah ditonton sebanyak 18,5 juta lebih penonton. Kesuksekan film ini tidak terlepas dari adanya tokoh yang bernama “Bu Tedjo”, yang dikenal karena nyinyirannya. Bahkan sosok Bu Tedjo ini sempat menjadi trending di twitter, dan berbagai kalimat celetukannya yang menggelitik dijadikan meme dan stiker whats app oleh para netizen, seperti “Dadi wong ki mbok sing solutip”, “Nuraninya itu loh dipake”, “Saiki mbok yo do miker” dan lain sebagainya.

Tokoh Bu Tedjo dalam film Tilik ini menggambarkan kebiasaan buruk masyarakat kita, khususnya di kalangan ibu-ibu atau lebih akrab disebut “emak-emak”, yang suka nyinyir, membicarakan keburukan orang lain dan nge-gosip tanpa mencari tahu dengan sebenar-benarnya terlebih dahulu akan kebenaran hal yang dibicarakan. Seringkali kebiasaan nyinyir dan nge-gosip hanya akan menimbulkan fitnah, karena itu hanya sebuah asumsi yang belum tentu kebenarannya. Terlebih masyarakat kita yang biasanya malas untuk mencari kebenaran informasi tersebut, dan hanya menerima secara mentah-mentah informasi yang sampai kepadanya. Maka dari itu, nyinyir dan gosip dianggap sebagai suatu hal yang buruk atau negatif.

Namun demikian, gosip tidak selalu berkonotasi buruk. Dalam ilmu sosiologi, gosip termasuk salah satu sarana pengendalian sosial. Gosip menjadi salah satu alat yang cukup efektif untuk mencegah terjadinya penyimpangan sosial di dalam suatu kelompok masyarakat. Misalnya, seorang wanita yang biasa pulang terlalu malam atau biasa dibonceng oleh laki-laki yang bukan mahramnya, dalam kelompok masyarakat tertentu dianggap sebagai bentuk penyimpangan sosial. Ketika wanita yang biasa melakukan penyimpangan sosial tersebut mengetahui bahwa dirinya sedang digosipkan, maka ia akan merasa tidak enak atau tidak nyaman sehingga dapat membuatnya berhenti melakukan hal tersebut.

Penulis merupakan mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Memaknai Qurban Dalam Konteks Hablun Min Allah Dan Hablun Min An-Naas

Oleh: Muhammad Miftahul Umam

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan, bahwa Ibnu Juraij berkata, “Dahulu penduduk jahiliyah melumurkan daging dan darah Qurban ke Baitullah”. Lalu para sahabat Rasulullah SAW, berkata, “Kami lebih berhak untuk melumurkannya”. Akibat kejadian tersebut kemudian Allah SWT menurunkan sebuah ayat yang artinya kurang lebih, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan darimulah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37). Dari hal tersebut, Allah SWT hendak menerangkan kepada kita bahwa hakikat qurban tidaklah terletak pada ritual semata, seperti penyembelihan hewan qurban, pembagian daging dan semacamnya, namun lebih daripada itu, buah atau manifestasi dari ibadah qurban adalah sebuah ketaqwaan. Jadi dengan berqurban, harusnya dapat meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.

Secara garis besar untuk menjadi orang bertaqwa, ada 2 hal yang harus kita perhatikan, yakni hubungan kita kepada Allah (hablun min Allah) dan hubungan kita terhadap sesama manusia (hablun min an-naas). Allah berfirman dalam QS. An-Nisa: 36, yang artinya kurang lebih, “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan jauh, dan teman-teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. Dari ayat tersebut, bahwa kita tidak hanya memiliki kewajiban terhadap Allah semata, namun sebagai seorang hamba kita juga disuruh untuk berbuat baik terhadap sesama.

Jika dimaknai dalam konteks hablun min Allah, maka ajaran inti dari berqurban adalah pelajaran tentang ketulusan dan loyalitas ubudiyah. Hal ini tercermin secara metaforik dalam pengorbanan Nabi Ibrahim atas putra yang sangat dicintainya, yakni Ismail. Nabi Ibrahim dalam hal ini adalah sesosok lelaki tua yang berjuang puluhan tahun mengharap hadirnya seorang anak. Namun ketika telah dikaruniai seorang putra yang tampan nan rupawan, kemudian secara diplomatis Allah menyuruhnya untuk mengorbankan putranya. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putranya diuji dengan kecintaannya terhadap Tuhannya.

Tentu ini adalah sebuah situasi yang sangat tidak mudah, mengingat rasa cinta Nabi Ibrahim kepada putranya. Namun karena iman dan loyalitas ubudiyah, akhirnya Nabi Ibrahim mampu menghadapi ujian tersebut dengan gemilang, dengan akhir bahwa Allah mengganti dengan seekor kambing sehingga menyelamatkan putranya, yakni Ismail. Dari kisah tersebut, kita diajarkan untuk berusaha melenyapkan dan mengesampingkan egoisme diri atas kecintaan terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, demi loyalitas penghambaan terhadap Tuhan. Kecintaan kita terhadap dunia, seperti harta, kekuasaan dan semacamnya jangan sampai mengalahkan kecintaan kita terhadap Allah SWT.

Kemudian jika dimaknai dalam konteks hablun min an-naas, maka dalam ibadah qurban mengajarkan kita akan nilai semangat berbagi kepada sesama, tertutama mereka yang berkekurangan. Dengan hewan qurban yang kita berikan, mampu memberikan sepercik kebahagian kepada orang lain. Mereka yang dalam hari-hari biasa kesulitan untuk membeli beras untuk makan sehari-hari, apalagi daging kemudian bisa merasakan betapa nikmatnya makanan tersebut. Inilah hal berharga yang dapat kita rasakan dari adanya qurban.

Dengan demikian, maka manifestasi ketaqwaan yang ditekankan dari ibadah qurban dalam konteks hablun min an-naas adalah rasa empati sosial. Maka dari itu, hal ini bisa kita jadikan sebagai media untuk bermuhasabah atau intropeksi diri. Ketika tangan, mulut, atau anggota badan kita masih mudah menyakiti sesama serta tidak begitu perduli terhadap orang lain, khususnya mereka yang dekat dengan kita seperti tetangga, maka kita patut mempertanyakan ibadah qurban yang kita lakukan. Bisa jadi ibadah qurban yang kita lakukan hanyalah sebatas formalitas, atau agar kita dianggap sebagai orang yang mampu, atau bahkan agar kita dipandang oleh masyarakat sebagai seorang yang dermawan semata.
Wallaahu a’lam

Penulis merupakan salah satu mahasantri Pesantren Rist Al-Muhtada dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang