Almuhtad.org – Dalam setiap kegiatan Pemilu (Pemilihan Umum) pastilah ada waktu dimana kita menyelupkan jari kita ke dalam tinta Pemilu sebagai tanda kita telah melakukan pencoblosan. Dengan begitu, tinta ini menjadi ciri pembeda antara orang yang telah menggunakan hak suaranya dalam Pemilu dan yang belum.
Akan tetapi, tinta Pemilu ini kerap kali susah untuk dihilangkan jejaknya dari kulit jari kita. Metode membilas hanya dengan air saja jelas tidak berdampak banyak dalam menghapus tinta ini. Bahkan, tinta ini dapat bertahan beberapa hari terlebih jika meresap dalam kuku jari kita.
Lantas, sah-kah apabila kita salat namun masih ada tinta Pemilu di jari kita? Berikut penjelasannya.
Dalam Islam apabila terjadi kasus ini, kita perlu menganalisis mengenai najis atau tidaknya tinta Pemilu dan menjadi penghalang atau tidaknya tinta Pemilu ini terhadap sampainya air wudhu ke kulit.
- Analisis Kandungan Najis
Untuk memastikan ada atau tidaknya kandungan najis dalam tinta Pemilu dapat dilakukan dengan uji laboratorium.
- Jika Uji Laboratorium Menyatakan Mengandung Najis
Kita diharuskan untuk menyucikannya semampu kita dengan menggunakan sabun, batu, atau zat pembersih lainnya. Namun apabila warna tinta pemilu itu masih membekas di jari kita setelah dicuci, maka status jari kita yang terkena tinta pemilu adalah suci.
Hal itu dikarenakan sisa najis berupa warna yang idealnya harus dibersihkan secara tuntas dimaafkan karena sulit menghilangkannya sekaligus atau uzur. Dilansir dari NU Online ‘sulit’ di sini punya kriterianya sendiri, yaitu :
ضابط العسر قرصه ثلاث مرات مع الاستعانة المتقدمة فلو صبغ شيء بصبغ متنجس ثم غسل المصبوغ حتى صفت الغسالة ولم يبق إلا مجرد اللون حكم بطهارته
Artinya: “Kriteria sulit itu adalah tindakan mengorek sesuatu sebanyak tiga kali disertai dengan bantuan pendahuluan [seperti sabun atau pembersih lainnya]. Bila suatu benda dicelup dengan pewarna yang mengandung najis, lalu benda yang dicelup dengan pewarna tersebut dicuci hingga bersih basuhannya dan yang tersisa hanya warnanya, maka benda itu dihukumi suci,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nihayatuz Zein, [Bandung, Al-Maarif: tanpa catatan tahun], halaman 46).
- Jika Uji Laboratorium Menyatakan Tidak Mengandung Najis
Kita tidak harus mensucikannya dan dapat langsung salat hanya dengan berwudhu seperti biasanya saja tanpa perlu melakukan ikhtiar pembersihan tinta Pemilu.
- Analisis Penghalang Air Wudhu ke Kulit
Wudhu merupakan syarat sahnya salat, nah wudhu sendiri memiliki syarat sah didalamnya. Salah satu syarat sah-nya ialah tidak adanya penghalang antara air dengan anggota tubuh yang dibasuh sebagaimana yang disampaikan Syekh Zainuddin Al-Malibari dan Syekh Syattha Ad-Dimyathi :
ورابعها (أن لا يكون على العضو حائل) بين الماء والمغسول (كنورة) وشمع ودهن جامد وعين حبر وحناء بخلاف دهن جار أي مائع وإن لم يثبت الماء عليه وأثر حبر وحناء.
Artinya: “Syarat wudhu keempat adalah tidak ada penghalang di antara air dan anggota tubuh yang dibasuh, seperti batu kapur, lilin, minyak padat, wujud fisik tinta dan hena. Lain halnya dengan minyak cair meskipun air tidak bisa diam menetap di atasnya, bekas tinta, dan hena.”
Apabila tinta cukup tebal sehingga meninggalkan wujud fisik, seperti lelehan lilin, minyak yang memadat dan semisalnya maka ia akan menghalangi sampainya air ke kulit. Oleh karena itu, tinta Pemilu dengan wujud fisik tebal ini harus dihilangkan saat wudhu untuk menjadikan wudhu yang kita lakukan sah hukumnya.
Namun apabila tinta itu hanya menyisakan bekas warnanya saja (setelah dikerok, dibasuh dengan sabun, dan ikhtiar lainnya) maka secara fiqih tinta tersebut disimpulkan tidak menghalangi sampainya air wudhu ke anggota tubuh yang dibasuh. Sehingga wudhu dalam kondisi di jari tangan masih ada sisa warna tinta seperti itu hukumnya sah.
Nah, dari analisis yang kita lakukan kita dapat menyimpulkan sah atau tidaknya salat kita dalam kondisi yang berkaitan dengan tinta Pemilu. Alangkah baiknya sebagai wujud kehati-hatian dalam beribadah kita melakukan pembersihan terhadap tinta ini. Wallahu a’lam. [] Rezza Salsabella Putri
Editor : Raffi Wizdaan Albari