almuhtada.org – Pasti akan ada satu fase dimana ketika kita sebagai manusia merasa bahwa hidup kita di dunia ini tetap terus berjalan dan juga bergerak mulai dari perjalanan kuliah di kampus, kemudian amanah/tanggungjawab yang datang silih berganti, dan juga masa depan terus menuntut untuk kita raih dan capai.
Namun di satu titik dimana hati kita ini seperti memanggil diri kita untuk berhenti sejenak untuk merenung yaitu bukan untuk menyerah dan juga bukan untuk mundur akan tetapi untuk bertanya dengan jujur kepada diri kita sendiri, “Mengapa beban hidup ini terasa semakin berat ketika kita memikulnya sendiri?”.
Pertanyaan diatas mungkin tampak sederhana, namun menyimpan hukum besar yang Allah Swt. tanamkan dalam perjalanan sejarah hidup kita sebagai manusia, bahwa kekuatan sejati bukan milik mereka yang berdiri sendirian, melainkan mereka yang memadukan hati, saling menguatkan, dan berjalan dalam satu arah.
Sunnatullah Hukum Ketetapan Allah Swt. ini tidak akan pernah berubah mulai dari orang-orang terdahulu, kemudian generasi para nabi, hingga sampai kepada umat Rasulullah Saw. Maka dari itu setiap kelompok apapun itu yang kokoh dan kuat pasti selalu ditopang oleh persatuan dan setiap kelompok yang runtu selalu diawali oleh perpecahan, berikut penjelasannya:
Pertama, Persatuan itu menjadi nafas kehidupan umat muslim, bukan hanya sekadar slogan semata
Jika kita menengok ke masa awal-awal dakwah Ajaran Agama Islam, maka kita akan melihat pemandangan yang jauh dari apa yang sering dibayangkan oleh banyak orang. Islam tidak dimulai dari satu kaum yang sama, atau satu suku yang sehati sejak awal, tidak.
Pengikut pertama Rasulullah Saw. adalah gambaran keberagaman yang luas yaitu ada yang merdeka dan juga ada yang budak, kemudian ada bangsawan dari Suku Quraisy dan ada pendatang dari suku-suku lainnya, ada juga yang berdarah selain Arab.
Namun Allah Swt. berfirman dalam satu ayat Kitab Suci Al-Quran yang menjadi jembatan bagi keberagaman itu yang artinya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai; dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (pada masa Jahiliah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran ayat 103)
Oke, coba sekarang kita perhatikan, yang Allah Swt. satukan bukan dari struktur sosial, kemudian bukan dari gaya hidup dan juga bukan adat atau latar belakang. Tetapi hati kita.
Karena sesungguhnya kekuatan itu lahir bukan dari keseragaman dari segi fisik semata, melainkan dari keseragaman visi dan misi. Contoh sederhananya yaitu seutas benang kecil pasti akan mudah putus jika hanya berdiri sendiri. Akan tetapi jika puluhan benang yang diikat rapat menjadi satu maka dapat menahan beban yang tidak mungkin diangkat oleh satu helai benang.
Begitulah umat pertama Rasulullah Saw. dahulu dibentuk yaitu mereka tidak banyak, akan tetapi hati mereka bertemu dalam satu cahaya yang sama yaitu Islam dan mereka tidak kaya, akan tetapi keyakinan iman takwanya mereka saling menguatkan. Maka dari persatuan itulah lahir kekuatan yang melampaui hitungan angka secara kuantitas.
Kedua, dari Madinah Memberikan Kekuatan yang Mengubah Dunia
Ketika Muhajirin hijrah di Kota Madinah, mereka datang tanpa membawa bekal harta yang lebih, tanpa rumah, sampai bahkan tanpa adanya kepastian. Padahal pandangan secara sosial, bahwa hubungan antara pendatang/tamu dan juga tuan rumah pasti selalu memiliki jarak. Akan tetapi Allah Swt. meniupkan keramahannya ke dalam jiwa kaum Anshar.
Sebagaimana Allah Swt. memuji mereka dengan firman-Nya di dalam Kitab Suci Al-Quran yang artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (kaum Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Mereka tidak merasa dalam hati keinginan terhadap apa yang diberikan kepada (kaum Muhajirin), dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Hasyr ayat 9)
Dari ayat diatas menjelaskan bukan hanya sekadar kebaikan atau solidaritas saja, akan tetapi cinta yang dipelihara Allah Swt., Itu maknanya sebuah tingkatkan persaudaraan yang tidak mungkin tumbuh tanpa adanya iman yang kuat.
Maka dari itu kita sebagai satu generasi umat Islam dengan sepenuh hati untuk saling saling melindungi maka halnya sebagai bagian satu tubuh. Apabila satu terluka, maka yang lain merasakan perih, kemudian jika satu lemah, maka yang lain menopangnya, dan Jika satu tersesat, yang lain menariknya untuk kembali.
Refleksi Kehidupan dengan Menghidupkan Kekuatan yang Lahir dari Sebuah Kebersamaan di Zaman Kita sekarang ini
Ketika kita hidup di dalam lingkungan kampus, organisasi, bahkan lingkaran pertemanan maka kita akan sadar bahwa hidup hari ini seringkali menuntut untuk selalu aktif, produktif menghasilkan sesuatu, selalu berprestasi secara akademik maupun non akademik.
Namun dengan penjelasan diatas mengajarkan sesuatu yang berbeda kepada kita semua bahwa sejatinya kecerdasan tanpa adanya kerendahan hati hanyalah kesombongan tanpa kita sadari, kemudian prestasi tanpa kebersamaan untuk memberikan makna dan manfaat hanyalah angka tanpa sebuah arti, serta gelar tanpa kebersamaan untuk berbagai ilmu hanyalah menjadi hiasan semata.
Penutup
Pada akhirnya, ajaran mengenai persatuan bukan hanya sekadar dongeng sejarah belaka, bukan pula mengenai tema tulisan artikel populer saja. Akan tetapi menjadi cermin bagi diri kita masing-masing, apakah kita ikut menjadi penguat bagi orang lain, atau malah justru menjadi penyebab retaknya hubungan?, kemudian apakah kita saling menjaga persaudaraan, atau membiarkan ego kita merusaknya?, dan apakah kita menundukkan hati, atau justru membiarkan gengsi menguasai diri dan hati kita?. Jawab jujur dalam hati kita masing-masing.
Maka dari itu mulai dari sekarang biasakan hal-hal kecil namun bermanfaat, misal sikap saling menyapa dengan hati yang ikhlas dan tulus, sikap saling memaafkan satu sama lain sebelum diminta, saling mendoakan tanpa adanya perasaan iri dan dengki, saling menguatkan yang lemah tanpa perlu diminta, serta mengalah tanpa merasa kalah.
Karena sejatinya siapa yang bersatu akan menjadi kuat, dan juga siapa yang kuat akan mampu membawa kebaikan kemanapun kita melangkah, semoga bermanfaat. Aamiin. [] ALFIAN HIDAYAT – Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada Angkatan 5.











