almuhtada.org – Takdir adalah salah satu konsep teologis yang kerap menjadi perdebatan dalam Islam. Persoalan apakah manusia memiliki kebebasan dalam menentukan keinginan dan perbuatannya atau sepenuhnya berada di bawah kendali Tuhan telah menjadi dikursus yang terus relevan.
Dalam sejarah Islam, perdebatan ini membelah pemikiran menjadi dua kubu besar, yaitu aliran Jabariyah dan Qadariyah. Polemik ini kemudian berlanjut dalam perdebatan antara aliran Asy’ariyah dan Mu’tazilah.
Aliran Asy’ariyah, yang menjadi salah satu aliran dominan dalam teologi Islam, menyatakan bahwa manusia pada hakikatnya tidak memiliki kebebasan penuh dalam mewujudkan keinginan dan perbuatannya.
Manusia hanya memiliki al-kasb, atau usaha, yang diberikan oleh Allah. Kendati demikian, hasil dari usaha tersebut bukanlah sepenuhnya milik manusia, melainkan ditentukan oleh kekuasaan Allah.
Dalam pandangan Asy’ariyah, jika seseorang masuk surga, hal itu terjadi bukan semata karena amal salehnya, tetapi lebih karena rahmat Allah. Sebaliknya, masuknya seseorang ke neraka juga tidak hanya disebabkan oleh dosa-dosanya, tetapi karena kehendak Allah.
Berbeda dengan Asy’ariyah, aliran Mu’tazilah menekankan kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya (free will dan free act). Manusia bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya, baik atau buruk.
Dalam pandangan ini, keadilan Tuhan menjadi doktrin utama. Tuhan wajib memasukkan orang saleh ke surga sebagai bentuk keadilan-Nya, dan begitu pula sebaliknya untuk orang yang durhaka.
Ketika Islam masuk ke Indonesia, pemikiran kalam yang berkembang di kalangan umat Islam Indonesia cenderung mengadopsi pemikiran Asy’ariyah. Namun, penerimaan ini tidak utuh, melainkan bercampur dengan pemahaman Jabariyah.
Mayoritas umat Islam di Indonesia memahami takdir sebagai ketentuan Allah yang telah ditetapkan sejak alam azali, sementara manusia hanya menjalaninya seperti wayang yang digerakkan oleh dalang.
Pandangan semacam ini sering kali tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang meyakini bahwa kemiskinan, jodoh, jenis kelamin anak, bahkan kematian adalah takdir yang tidak dapat diubah. Implikasi dari keyakinan ini cukup signifikan.
Pemahaman takdir yang cenderung fatalistik menjadikan sebagian umat Islam di Indonesia enggan berusaha keras atau berjuang menghadapi berbagai tantangan. Akibatnya, umat Islam Indonesia sering tertinggal dalam berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, politik, dan sosial.
Pemahaman takdir yang salah kaprah ini perlu diluruskan. Islam sejatinya tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menyerah pada keadaan. Dalam Al-Qur’an, Allah sering menekankan pentingnya usaha dan doa. Ayat-ayat seperti “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11) menunjukkan bahwa manusia memiliki peran aktif dalam menentukan nasibnya.
Dalam konteks ini, perlu ada reinterpretasi terhadap konsep takdir agar lebih relevan dengan tantangan zaman. Takdir tidak seharusnya dimaknai sebagai alasan untuk pasrah terhadap keadaan, tetapi sebagai dorongan untuk terus berusaha memperbaiki diri dan lingkungan.
Untuk membangun umat Islam Indonesia yang progresif, diperlukan pemahaman bahwa takdir adalah kombinasi antara ketentuan Allah dan usaha manusia. Keberhasilan seseorang dalam kehidupan dunia maupun akhirat tidak hanya bergantung pada kehendak Allah, tetapi juga pada upaya yang dilakukan secara sungguh-sungguh. Pendidikan dan dakwah harus diarahkan untuk memperkenalkan pemahaman takdir yang seimbang ini kepada umat.
Dengan memahami takdir secara tepat, umat Islam Indonesia dapat bangkit dari keterbelakangan. Semangat untuk terus belajar, bekerja keras, dan berinovasi harus ditanamkan sejak dini. Hanya dengan cara inilah umat Islam Indonesia dapat bersaing dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Perdebatan teologis tentang takdir tidak akan pernah selesai. Namun, apa yang lebih penting adalah bagaimana kita memaknai takdir dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang keliru hanya akan membawa umat kepada stagnasi, sementara pemahaman yang benar akan menjadi pendorong menuju kemajuan.