Almuhtada.org- Dalam era modern ini persoalan ketuhanan dalam kehidupan manusia sebenarnya tidak sepenuhnya tentang ateisme, tetapi lebih pada masalah politiesme.
Seperti yang diungkapkan dalam kalimat tauhid la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah), tantangan utama dalam masalah ketuhanan adalah kebergantungan manusia kepada banyak tuhan.
Sering kali, manusia tanpa sadar mempercayai, mengagungkan, atau bahkan mempertuhankan hal-hal lain di luar Allah, baik berupa ide, kekuasaan, harta, atau tokoh-tokoh tertentu.
Meskipun tampaknya tidak berhubungan langsung dengan agama, politiesme ini, dalam bentuk yang lebih halus justru memiliki dampak yang signifikan bagi kehidupan pribadi dan sosial manusia.
Tauhid bisa difungsikan sebagai pembebasan diri dari hal-hal yang mengekang kita secara mental dan emosional. Misalnya, hawa nafsu atau keinginan diri sendiri yang sering menjadi penghalang bagi manusia untuk menerima kebenaran.
Dalam Islam, hawa nafsu dianggap sebagai belenggu dari dalam yang membuat kita cenderung menolak sesuatu yang berbeda dari pandangan dan keinginan pribadi kita, betapapun kebenaran dari luar itu sebenarnya lebih unggul.
Pembebasan dari hawa nafsu ini menuntut kita untuk membuka diri dalam menerima kebenaran dan mengembangkan potensi yang mungkin selama ini terhalang.
Di sisi lain, semangat tauhid juga mengajarkan untuk menolak kekuatan tirani atau taghut yang berasal dari luar diri kita.
Taghut adalah kekuatan absolut yang seringkali mengklaim dirinya sebagai penguasa atau bahkan Tuhan dalam kehidupan manusia, seperti dalam sejarah Fir’aun yang menempatkan dirinya sebagai Tuhan atas rakyatnya.
Penolakan terhadap tirani atau kekuasaan absolut adalah bagian dari semangat tauhid, karena hanya Allah yang memiliki kekuasaan absolut atas segala ciptaan-Nya.
Mengangkat sesuatu di luar Allah menjadi pusat kehidupan kita merupakan bentuk syirik, dan syirik ini sering kali menjadi pengekang kemerdekaan serta kebebasan manusia untuk hidup dengan fitrahnya. Pembebasan tauhid memiliki dua efek yang sangat penting dimana yang pertama adalah pembebasan diri.
Ketika manusia berhasil melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu, ia akan menemukan keterbukaan untuk belajar, menerima, dan mencari kebenaran yang mungkin sebelumnya tertutup baginya.
Sikap terbuka ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan pengetahuan dan pengalaman baru yang bermanfaat bagi pertumbuhan pribadi.
Kedua, tauhid memiliki dampak pembebasan sosial. Ketika individu berhasil membebaskan dirinya dari hawa nafsu dan tunduk pada keesaan Allah, masyarakat pun akan dipengaruhi oleh kualitas-kualitas individu tersebut.
Pada skala sosial, tauhid mendorong penolakan terhadap tirani dan pengekangan kebebasan. Masyarakat yang menumbuhkan semangat tauhid akan lebih peka terhadap ketidakadilan, lebih menolak ketergantungan pada tokoh atau kekuasaan absolut, serta akan lebih mudah bekerja sama untuk mewujudkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam kehidupannya.
Selain itu, tauhid juga membebaskan manusia dari pemahaman yang menyandarkan diri pada mitologi atau tahayul terhadap alam. Dengan pandangan tauhid, alam semesta dilihat sebagai ciptaan yang bekerja berdasarkan hukum-hukum Tuhan, bukan sekadar objek mitologis.
Penolakan terhadap mitos ini menjadi kunci dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, karena pendekatan ilmiah lahir dari semangat untuk memahami hukum alam secara rasional dan objektif.
Semangat tauhid yang membebaskan dari hawa nafsu dan kekuatan tirani tidak hanya berdampak pada pembebasan spiritual, tetapi juga sosial. Melalui pemahaman ini, kita diajak untuk menciptakan pribadi yang lebih terbuka terhadap kebenaran, serta masyarakat yang menolak segala bentuk tirani yang merendahkan kemanusiaan. []Sholikul Abidin