Almuhtada.org – Aksi bullying atau perundungan kerap kali terjadi belakangan ini. Bullying sendiri suatu bentuk perbuatan secara sengaja dalam upaya menyakiti orang lain baik berupa fisik maupun non fisik (verbal).
Peristiwa bullying seringkali terjadi pada berbagai lingkungan seperti sekolah, tempat kerja, masyarakat, atau bahkan dalam dunia maya sekalipun.
Dampak bullying sangat membahayakan bagi para korbannya mulai dari pengaruh buruk pada kesehatan fisik dan mental korbannya seperti depresi, gangguan mental atau bahkan bisa menyebabkan seseorang bunuh diri.
Khususnya di dunia pendidikan, aksi perundungan justru makin marak terjadi. Sebagai contoh nyata yaitu kasus meninggalnya seorang santri asal Banyuwangi bernama Balqis akibat kekerasan oleh seniornya di Pesantren Al-Hanafiyah Kediri pada bulan Februari 2024.
Kejadian ini menjadi peringatan sekaligus pukulan keras bagi semua kalangan bahwa lingkungan pendidikan nasional menjadi sarang bullying bagi anak-anak.
Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan visi dan misi serta cita-cita diadaknnya pendidikan yaitu mencetak generasi muda Indonesia yang berintelektual dan berakhlak luhur.
Pihak penyelenggara pendidikan seharusnya lebih intensif dalam mendidik dan mengawasi lingkungan sekolah maupun pesantren agar kejadian ini bisa dicegah atau diminimalisir sedini mungkin. Terlebih pesantren merupakan lembaga pendidikan agama utama di tanah air.
Peristiwa kekerasan yang dialami oleh Balqis tersebut sedikitnya telah menggambarkan bahwa di pesantren masih terdapat sikap senioritas atau merasa paling tua dibandingkan santri yang lainnya.
Sikap ini justru dipersepsikan bahwa santri senior merupakan penguasa atau yang paling dihormati dikalangan para santri. Anggapan ini perlu dihilangkan dalam lingkungan pesantren agar meminimalisir tindakan sewenang-wenang oleh santri senior.
Tidak ada istilah santri senior ataupun junior, yang ada justru mereka semua adalah orang yang memiliki visi dan misi yang sama yaitu untuk belajar ilmu agama.
Tingkat keilmuan dan pengalamanlah yang menjadi perbedaan dan keduanya ini juga tidak boleh menjadikan seorang santri angkuh atau sombong.
Hal tersebut tentunya selaras dengan firman Allah Swt dalam QS al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيْرٌ.
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Pendalaman ilmu agama tidak cukup diajarkan oleh guru kepada santri, tapi pembentukan karakter akhlakul karimah sangat perlu diimbangi agar terlahir intelektual muslim yang sholeh dan berbudi pekerti luhur.
Adapun berbagai kitab adab ataupun akhlak yang ditulis oleh para ulama terdahulu sudah sepatutnya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik selama di pesantren maupun setelah terjun ke masyarakat.
Contoh kitab akhlak yang banyak dikaji di dunia pesantren seperti Ta’limul Muta’allim, Adabul Alim wa Muta’allim, Alala, Taysirul Kholaq, Wasiyatul Mushtofa, dan masih banyak yang lainnya.
Pada umumnya kajian yang dibahas dalam kitab-kitab akhlak berisi adab murid terhadap ilmu, adab murid terhadap guru, adab murid terhadap temannya, adab murid terhadap dirinya sendiri, etika belajar dan mendatangi majelis ilmu, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan masih adanya tindakan kekerasan di lingkungan pesantren, pengejawantahan adab atau etika seorang pelajar perlu diperhatikan agar dapat menciptakan kondusivitas yang aman dan nyaman, khususnya etika terhadap dirinya dan teman sebayanya.
Menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati satu sama lain serta bahu-membahu ketika sedang menimba ilmu agama inilah yang harus diterapkan oleh seluruh masyarakat pesantren tanpa terkecuali.
Syekh al-Zarnuji al-Hanafi merupakan seorang ulama salaf penulis kitab Ta’limul Muta’allim memberikan tips kepada para pelajar khususnya dalam memilih teman sebaya. Dalam memilih teman hendaknya teman yang baik merupakan orang yang tekun, wira’i, bertabiat jujur, tidak membuat keonaran ataupun fitnah.
Penanaman akhlak yang mulia juga harus dimulai dari dalam diri seorang santri atau pelajar. Hadratus Syekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari menguraikan beberapa etika yang seyogyanya diterapkan oleh seorang pelajar seperti membersihkan hati dari segala penyakit dan kotoran, hasud, buruknya akidah dan tata krama.
أن يطهر قلبه من كل غش ودنس وحسد وسوء عقيدة وسوء خلق، …
Hal ini agar pelajar dapat mencerna dan menjaga ilmu dengan baik sehingga diberikan keluasan kepahaman terhadap ilmu yang diterima.
Dengan menerapkan nasehat para ulama tersebut, diharapkan bisa terwujud jati diri seorang santri atau pelajar yang berakhlak mulia sehingga mampu mencegah dan menyaring hal-hal yang buruk seperti kekerasan atau bullying.
Sikap toleransi, tawadhu, dan tenggang rasa sangat perlu dipupuk sejak masih dibangku dasar. Dilain sisi, pentingnya sosialisasi dan pelatihan yang diselenggarakan oleh pihak pesantren sebagai upaya preventif kekerasan dilingkungan pesantren.
Pihak pesantren sebagai pemegang wewenang tertinggi memiliki tugas dan kewajiban merumuskan dan menetapkan kebijakan sekaligus pihak pengawas kegiatan di pesantren.
Membangun komunikasi yang baik antar masyarakat pesantren juga sebagai upaya sangat penting agar tindakan kekerasan bisa dicegah atau diminimalisir sedini mungkin.
Harapannya, semoga tindakan bullying di lingkungan pendidikan khususnya pesantren bisa segera diantisipasi dan dihilangkan demi menciptakan kondusivitas pembelajaran yang efektif, aman, dan nyaman. [] Mohammad Fattahul Alim
Editor : Moh. Aminudin