Almuhtada.org – Sebagai negara multikultural, Indonesia banyak dihuni oleh masyarakat yang beragam, mulai dari karakteristik suku, ras, dan adat istiadat, tidak terkecuali agamanya. Indonesia sendiri secara resmi mengakui enam agama yang berlaku di tanah air meliputi Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Keberagaman agama tersebut tidak pelak menuntut kita sebagai masyarakat untuk hidup harmonis dan saling menghormati satu sama lain. Pentingnya sikap toleransi atau tenggang rasa berguna menjaga eksistensi masyarakat Indonesia yang terkenal dengan rasa persaudaraannya yang tinggi.
Dalam agama Islam sendiri, keberagaman ini merupakan bagian kekuasaan Allah SWT agar manusia saling mengenal atau berinteraksi.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam Surah Al-Hujurat ayat 13. Tetapi, dalam kehidupan bermasyarakat saat ini, tidak jarang terdapat suatu kondisi yang masih menjadi keraguan oleh umat Islam.
Salah satu contohnya yaitu hukum kebolehan dalam menerima hadiah, bantuan, atau apapun nama dan bentuknya yang diberikan secara sukarela oleh non-muslim kepada umat Islam. Seperti halnya ketika orang Konghucu sedang merayakan Hari Raya Imlek, mereka kerap kali membagian hadiah atau ampao kepada masyarakat sekitar.
Ketika menjelang Hari Raya Natal, umat muslim juga seringkali memperoleh bingkisan atau makanan dari orang Kristen atau Katolik. Kondisi inilah yang masih menjadi tanda tanya dan keraguan oleh sebagian umat muslim terkait hukum kebolehan menerima hadiahnya tersebut.
Dalam hal ini, para alim ulama telah menjelaskan mengenai hukum dan esensi menerima hadiah dari orang non-muslim.
Pada hakikatnya, memberikan hadiah merupakan perbuatan yang baik dan berdampak positif bagi kehidupan bermasyarakat. Ini tentunya masih dalam konteks atau ranah kebaikan seperti mengajarkan untuk saling berbagi dan peduli terhadap sesama.
Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa hukum menerima hadiah adalah sunnah. Begitu juga Imam Bukhari dalam kitabnya yaitu Shohihul Bukhari.
Ia menjelaskan hal tersebut dalam bab khusus, bab “Qabul al-hadiyyah min al-musyrikin (kebolehan menerima hadiah dari non muslim)”. Imam Bukhari menjelaskan dalam beberapa hadis shohihnya mengenai kebolehan menerima hadiah dari non-muslim. Contohnya seperti hadist dibawah ini.
وَقَالَ سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ إِنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –رواه البخاري
Artinya: “Said berkata dari Qatadah dari Anas ra, sesungguhnya Ukaidira Dumah pernah memberikan hadiah kepada Nabi SAW”. (HR. Bukhari).
Dalam hadist ini, dikisahkan bahwa Ukaidira Dumah yang merupakan seorang Kristen memberikan hadiah jubah sutra kepada Rasulullah. Imam Nawawi juga mengatakan dalam kitabnya, Raudhatut Thalibin (Jilid IV, halaman 432) bahwa menerima hadiah dari non-muslim itu diperbolehkan dalam agama Islam.
وانه يجوز قبول هدية الكافر
Artinya: “Sesungguhnya boleh menerima hadiah dari orang non-muslim”.
Rasulullah SAW pernah beberapa kali menerima hadiah dari kalangan non-Muslim. Contohnya saja ketika Rasulullah menerima hadiah berupa keledai Baydha dari Raja Ilah, lalu Rasulullah membalasnya dengan memakaikan raja tersebut sebuah burdah.
Imam At-Tirmidzi dalam riwayat hadistnya juga mengkisahkan mengenai Salman al-Farisi yang saat itu belum masuk Islam pernah memberikan hadiah kepada Rasulullah saw berupa ruthab (kurma basah).
Atas dasar berbagai hadits tersebut, ulama menyimpulkan kebolehan menerima dan memberi hadiah oleh umat muslim kepada non-muslim. Penerimaan hadiah oleh Rasulullah ini tentunya bertujuan dalam rangka menjalin keharmonisan dan hubungan baik dengan non-muslim selama mereka tidak mengganggu dakwah Islam.
Sebelum menerima hadiah dari non-muslim, kita harus bisa memahami dan mengetahui jenis hadiah yang diberikan. Hadiah atau bantuan yang diterima harus dapat dijamin unsur kehalalannya, terutama yang berkaitan dengan makanan dan minuman.
Misal ada orang non-muslim memberikan makanan, maka harus dipastikan bahwa makanan yang dibagikan itu berupa makanan halal dikonsumsi oleh orang muslim. Contohnya seperti buah-buahan, roti, kue, dan lainnya harus jelas unsur kehalalannya serta terbebas dari bahan yang haram seperti daging babi dan sejenisnya.
Sekian penjelasan singkat mengenai hukum kebolehan menerima hadiah atau bantuan dari non-muslim. Para ulama sepakat bahwa memberi atau menerima hadiah dari non-muslim itu diperbolehkan dengan tetap memperhatikan unsur kehalalan didalamnya. Oleh karena itu, umat muslim tidak perlu risau lagi akan hal ini dan semoga bisa menyikapinya secara bijak.
Kita sebagai umat muslim sekaligus masyarakat Indonesia, sudah sepatutnya kita bisa saling menghargai pemberian orang lain meski tidak seiman.
Kita harus bisa senantiasa menjaga tali persaudaraan antar sesama anak bangsa dan saling tolong-menolong jika ada saudara kita yang sedang terkena musibah atau bencana. Saling berbuat baik dan toleransi inilah yang akan menjaga kesejukan dan kedamaian dalam negeri tercinta ini. Wallahu a`lam. [] Mohammad Fattahul Alim
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah