Oleh: Emi Rahmawati
Pada tanggal 20 September 2020, Pusat Studi Pesantren kembali menyelenggarakan sebuah halaqah secara virtual bertema “Dakwah di Media Sosial dan Penguatan Literasi Pesantren”. Halaqah virtual kali ini merupakan Halaqah Virtual Perempuan Ulama edisi ke-11. Halaqah edisi ke-11 ini dihadiri oleh tiga pembicara, yang salah satu di antaranya merupakan pengasuh Pesantren Riset Al-Muhtada, Dr. Dani Muhtada, M.Ag., M.P.A.. Narasumber lainnya adalah Gus Ahmad Mundzir, dari pesantren Sirajuth Tholibin Semarang dan Ning Siti Rofiah, dari Pesantren At-Taharruyah, Semarang.
Pusat Studi Pesantren (PSP) adalah lembaga nirlaba yang diniatkan untuk menjadi wadah bagi proses pengkajian dunia kepesantrenan dan pengembangan pemikiran islam secara umum, serta wadah bagi jejaring pesantren yang mengembangkan wawasan yang lebih moderat dan terbuka. PSP didirikan oleh Ahmad Ubaidillah pada 21 September 2007 di Bogor.
Dia awal halaqah, Pak Ahmad Ubaidillah mengatakan, “Melalui halaqah ini, kami berharap perempuan-perempuan yang memiliki latar belakang keilmuan pesantren tidak hanya aktif melakukan aktifiitas dakwah secara offline, tapi juga mulai menjadikan media sosial sebagai salah satu medan juang kita bersama. Selain itu kami juga mendorong agar para Nyai, Ning, Santri untuk melakukan upaya penguatan literasi pesantren. Dan seharusnya literasi pesantren dapat kita diseminasi lebih luas lagi.”
Halaqah Perempuan Ulama 2020 ini membahas mengenai bagaimana jalan dakwah pesantren pada dunia luas melalui media sosial, dan juga upaya pesantren dalam melakukan penguatan listerasi pesantren, serta bagaimana perempuan turut andil dalam upaya penguatan literasi pesantren. Gus Ahmad Mundzir yang merupakan praktisi media sosial dakwah mengatakan, bagaimana ide orang pesantren bisa dibaca oleh orang luar, kalau dia tidak menyebarkan keluar, maka minimal menulislah. Jadi, agar literasi yang sudah menjadi budaya di pesantren bisa disebarluaskan, maka kita harus dapat menuangkannya di media sosial, supaya khazanah keislaman dalam pesantren dapat dijangkau oleh banyak umat.
Tingkat produktifitas perempuan dalam hal menulis di media sosial masih sangat rendah. Dalam chanel Nu Online, pengisi media juga didominasi oleh laki-laki, perbandingan laki-laki dan perempuan menunjukkan 70% : 30%. Gus munzir menghimbau agar kita lebih aktif menggerakkan dakwah di media sosial, jangan sampai kalah dengan orang-orang yang berani mengumumkan hal-hal buruk, sedangkan kita yang baik tidak berani terang-terangan.
Ning Rofiah juga menegaskan bahwa budaya literasi sesungguhnya sudah mengakar di pesantren. Akan tetapi yang menjadi tantangan di masa sekarang ini adalah derasnya arus media sosial, sehingga media akan sangat rentan sekali dikuasai oleh konten-konten yang tidak bisa dipertanggungjawabkan Hal inilah yang seharusnya dapat kita tengahi, orang-orang pesantren diharapkan bisa hadir dengan khazanah keislamannya yang jauh lebih ramah dan juga dapat menyebarkan nilai islam yang rahmatan lil-alamin.
Pendidikan keadilan gender, seringkali dipahami secara tidak utuh. Pesantren seharusnya dapat meningkatkan pemahaman bagi perempuan terkait keadilan gender, bahwa dalam pandangan islam, seorang manusia mempunyai derajad yang sama. Seorang perempuan harus menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang utuh: makhluk fisik, makhluk intelektual, makhluk spiritual. Sudah saatnya perempuan-perempuan pesantren, Nyai, Ning dapat andil menyebarluaskan ilmunya, bukan lagi pada sebatas dakwah lokal, melainkan melalui media sosial juga.
Dr. Dani dalam halaqah ini mengatakan bahwa pesantren merupakan wajah islam indonesia, yaitu benteng islam wasathiyah (islam yang terbuka, toleran, moderat, dan mengadopsi nilai-nilai budaya lokal). Islam di indonesia memiliki tantangan yang cukup besar, yakni menguatnya penyebaran paham radikalisme dan terorisme melalui internet dan media sosial. Sesungguhnya pesantren memiliki segala macam sumber daya untuk memegang kendali otoritas keislaman, seperti kyai, ustaz, kitab, santri, kajian keagamaan. Namun sayangnya otoritas keislaman di dunia maya tidak dikuasai oleh kalangan pesantren.
Menurut Dr. Dani, problem literasi pesantren adalah oleh beberapa hal, di antaranya adalah tidak banyaknya kyai yang mampu menuangkan gagasannya melalui tulisan dan menyebarluaskannya dan tidak banyak pesantren yang memfasilitasi santri mengembangkan keterampilan menulis. Dr. Dani menawarkan beberapa strategi dalam upaya penguatan literasi pesantren, yakni pengembangan fasilitas literasi pesantren; kurikulum didesain untuk mengembangkan literasi santri; pemanfaatan media sosial; pendampingan literasi digital untuk ustaz dan kyai; dan kerja sama digital. Pernyataan terakhir Dr. Dani dalam halaqah ini yaitu, penguatan literasi pesantren adalah kunci untuk menguatkan wacana islam wasathiyah di indonesia sekaligus mengembalikan otoritas keagamaan pada ahlinya.
Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.