Lepas Mahasantri Angkatan 2, Pesantren Riset Al-Muhtada Selenggarakan Haflah Muwadda’ah pada 30 Juli 2023

Dok Pribadi

Ahad, 30 Juli 2023 telah terselenggara acara Haflah Muwadda’ah Pelepasan Mahasantri Angkatan 2 Pesantren Riset Al-Muhtada yang bertempat di Aula Asrama Putri Pesantren Riset Al-Muhtada. Acara ini bertujuan untuk melepas mahasantri angkatan 2 secara formal, yang berarti mereka telah selesai menuntut ilmu di Pesantren Riset Al-Muhtada dan bersiap untuk melanjutkan mencari pengalaman di tempat lain.

Dok Pribadi

Acara dimulai pada malam hari pukul 19.00 WIB, meski begitu, aula tempat acara berlangsung sudah ramai sejak ba’da maghrib. Dresscode yang digunakan oleh mahasantri angkatan 2 adalah pakaian warna putih dan coklat susu, sedangkan mahasantri lainnya memakai dresscode warna hitam dan abu-abu. Dengan demikian, mahasantri tampak kompak dengan baju yang mereka kenakan.

Acara dibuka oleh Maulina Istighfaroh dan Muhammad Akiyasul Azkiya selaku pembawa acara dengan diawali pembacaan tilawah Al-Qur’an oleh Aisyatul Lathifah. Selanjutnya sambutan oleh Presiden Pesantren Riset Al-Muhtada yakni Muhammad Fattahul Alim. Disampaikan bahwasannya acara haflah ini merupakan haflah pertama yang diadakan Pesantren Riset Al-Muhtada dan merupakan rangkaian ibadah dalam mendampingi mahasantri angkatan 2. Semua yang telah dipelajari mahasantri angkatan 2 selama di pesantren diharapkan dapat memberikan manfaat dan keberkahan bagi diri sendiri maupun masyarakat. Tidak lupa, ucapan terima kasih dan permintaan maaf juga disampaikan kepada mahasantri angkatan 2 yang telah membersamai perkembangan dan kemajuan Pesantren Riset Al-Muhtada. Fattahul mengatakan bahwa ia bersyukur karena telah dipertemukan dengan mahasantri angkatan 2 yang mana telah mengajarkan kekeluargaan. Harapannya, semoga kedepannya mahasantri angkatan 2 bisa membentuk ikatan alumni supaya tali kekeluargaan tetap terjaga dan dapat memonitor pesantren sebagai bentuk sumbangsihnya walaupun sudah tidak berada atau tinggal di pesantren.

Sambutan yang kedua disampaikan oleh Pengasuh Pesantren Riset Al-Muhtada yaitu Dr. Dani Muhtada, M.Ag., M.A., M.P.A. Beliau memanggil mahasantri angkatan 2 sebagai hadratul mukarramin sebab pada malam pelepasan tersebut mereka memiliki wajah yang bersinar terang. Mahasantri angkatan 2 yang tersisa ini merupakan angkatan terbaik yang patut dicontoh oleh adik-adik mahasantri. Beliau merasa sangat bangga luar biasa kepada hadratul mukarramin ini, baik dari aspek akademik, aspek etika, maupun aspek komitmen, pengabdian, atau dedikasinya selama menjadi mahasantri. Adapun dari aspek akademik, angkatan 2 inilah yang terbanyak mencetak mawapres, baik dari tingkat universitas sampai tingkat nasional.

Acara selanjutnya yaitu prosesi pelepasan mahasantri angkatan 2 yang diawali dengan pemotongan tumpeng oleh Bapak Dani dan Gema Aditya Mahendra sebagai perwakilan mahasantri angkatan 2. Berikutnya, terdapat pengalungan samir dan pemberian sertifikat kelulusan kepada masing-masing mahasantri angkatan 2. Proses tersebut menjadi simbol kelulusan mahasantri angkatan 2 dari Pesantren Riset Al-Muhtada.

Kemudian, dilanjutkan penyampaian pesan, kesan, dan pemberian kenang-kenangan oleh mahasantri angkatan 2 kepada Bapak Dani dan keluarga, Pesantren Riset Al-Muhtada, serta kepada adik-adik mahasantri berupa video yang berisi kumpulan foto dan video dari awal mahasantri angkatan 2 mendaftar menjadi mahasantri hingga menjelang pelepasan.

Selanjutnya adalah istirahat diiringi lantunan selawat dan hadroh yang dibawakan oleh Nurul Hikmah dan Idha Fitri Nuril Lailiyah. Sembari mendengarkan selawat, mahasantri menikmati cemilan ringan yang disuguhkan oleh panitia. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian award dan pembacaan secret letter oleh mahasantri angkatan 2. Secret letter ini merupakan surat yang telah disiapkan oleh mahasantri angkatan 3, 4, dan 5 sebelum acara berlangsung. Sedangkan award juga diberikan kepada masing-masing mahasantri angkatan 2 sesuai dengan kategorinya.

Acara ditutup dengan persembahan spesial seluruh mahasantri yang menyanyikan lagu ‘Sampai Jumpa’ milik Endang Soekamti dan pembacaan puisi oleh Lailia Luthfi Fathin dalam keadaan lampu dimatikan dan menggunakan flashlight handphone sehingga memberikan kesan yang lebih hangat dan haru. Demikianlah antusiasme mahasantri selama acara Haflah Muwadda’ah berlangsung. Doa dan dokumentasi menjadi akhir dari acara malam hari itu.

Reporter: Nihayatur Rif’ah

Editor: Azkia Shofani Aulia

Islam: Perihal Mencintai bukan Menghakimi

Oleh: Fafi Masiroh

Salah satu anugerah yang harus selalu kita syukuri hingga saat ini yaitu karena Allah telah menjadikan kita sebagai umat muslim, yakni umat yang memeluk agama islam. Mungkin sejak kecil sebagian atau bahkan hampir dari kita memeluk agama islam karena alasan “mengikuti jalan orang tua”, tetapi sejatinya ketika kita sudah lebih besar kelak kita akan menyadari bahwa menjadi seorang muslim adalah sebuah jalan yang indah. Akan tetapi, masih menjadi sebuah keresahan ketika orang di luar yang cukup banyak menganggap agama islam sebagai agama yang keras, bahkan beberapa menganggap islam mengajarkan perbuatan yang bersifat radikal. Menyadur dari nu.online bahwa islam sebenarnya secara tidak langsung dijebak sebagai agama teroris, misalnya dalam kutipan Adian Husaini (2004) yang menganalisis pendapat Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Who Are We?:The Challenges to America’s National Identity” pada tahun 2004. Huntington menuliskan Islam sebagai musuh utama Barat pasca Perang Dingin dengan bahasa yang lugas. Disebutkan juga dalam buku Muslim Society karya Ernest Gelner (1981) bahwa komunitas Muslim dipahami sebagai sumber pemikiran dan gerakan radikal, sedangkan anggapan tersebut sebenarnya cara  bagi komunitas Muslim  tertentu dalam mengembangkan nilai-nilai keyakinan akibat desakan penguasa, kolonialisme maupun westernisasi. Hal tersebut yang mendorong persepsi terhadap islam mengerucut terlihat buruk dan kemudian menimbulkan kerugian besar bagi keseluruhan umat islam.

Keadaan yang sedemikian seharusnya tidak boleh dibiarkan untuk terus berkelajutan. Agama islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW pertama kali merupakan rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran islam di tengah masyarakat saat masa Rasulullah SAW mendatangkan beribu kebaikan. Oleh karena itu, alangkah baiknya kita untuk melanjutkan langkah Rasulullah SAW. Menyampaikan islam dengan bahasa yang santun, sikap yang sopan dan selalu mendatangkan kegembiraan. Agama islam bukan hanya sekedar perihal hukum-hukum agama terkait halal atau haram, yang pada akhirnya menuju jalan yang terkesan menghakimi. Misalnya saja, masih bisa ditemui beberapa orang yang menganggap dirinya sebagai “ustadz” kemudian dengan sesukanya mengharamkan seseorang berbuat sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan syariah islam. Hingga kemudian dia menjudge seseorang ataupun kelompok berbuat bid’ah, kelak akan masuk neraka dan ancaman sebagainya yang menghadirkan islam sebagai agama yang keras dan menakutkan.

Agama islam sejatinya agama yang mendatangkan kegembiraan dan sama sekali tidak menyusahkan. Allah memperbolehkan bagi orang yang sedang kelaparan untuk memakan daging babi ketika sudah tidak ditemukan lagi makanan sebagai usaha mempertahankan hidup. Allah memberikan kemudahan bagi orang sakit untuk salat dengan duduk jika tidak mampu berdiri, bahkan Allah memperbolehkan tayamum ketika tidak ditemukan lagi air untuk berwudhu saat akan sholat. Agama islam sangat luas, tidak hanya mengenai halal-haram tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan. Allah menciptakan bumi tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi umat islam, tetapi mereka umat non-islam pun leluasa untuk tinggal dan menikmati hidupnya di bumi. Sungguh betapa besar kasih sayang Allah, sehingga alangkah baiknya kita sebagai hamba Allah untuk saling mencintai dan mengasihi, bukan menghakimi.

Oleh karena itu, sudah saatnya untuk menyampaikan kebaikan islam dengan ma’ruf dan kegembiraan. Begitupun dalam melarang sesuatu yang bertentangan ajaran islam kepada lainnya dengan ma’ruf, tanpa ada paksaan, ancaman pun menghakimi.

Sumber:

Saifuddin,Ahmad. 2020. Islam, Radikalisme, dan Terorisme. https://www.nu.or.id/post/read/64719/islam-radikalisme-dan-terorisme diakses pada 11 Juli 2021.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Apakah Kamu Tidak Berfikir?

Oleh : FafiMasiroh

Akhir-akhir ini kehidupan semakin terasa tidak baik-baik saja. Belum selesai dalam diri kita untuk menerima sepenuhnya adanya pandemi, kemudian ditambah beberapa kehilangan yang menyelimuti. Kehilangan waktu berkumpul bersama dengan keluarga dan teman-teman, hingga beberapa ratusan lebih orang-orang kehilangan keberadaan manusia-manusia terkasihnya. Dari setumpuk peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, kita masih saja mudah lalai untuk sekedar mengambil nilai positif dari apa yang telah kita lalui.

Misalnya saja adanya pandemi yang masih berkelanjutan sampai saat ini, mengingatkan kita bahwa sikap saling peduli itu sangat penting. Bisa kita realisasikan dengan berbagai hal kecil, seperti mengingatkan memakai masker, menanyakan kabar atau paling kecil kita menahan diri untuk di rumah saja ketika tidak ada keperluan yang mendesak. Sedihnya, hal tersebut masih saja kita lalai untuk benar-benar memahami dan menindakinya.

Manusia memang mudah lalai terlebih jika selalu mengedapankan nafsu dalam setiap melangkah. Sehingga, bila saja kita selalu berangkat dari Al-Quran dalam mengambil setiap langkah, maka kelalaian tersebut tidak akan selalu berkelanjutan. Allah dalam firman-Nya berkali-kali mengingatkan kita untuk selalu berfikir“Afalaata’qilun, Afalaatadzakkaruun” terhadap apa yang terjadi di setiap kehidupan kita, supaya kita tidak merasa putus asa melainkan selalu percaya bahwa selalu ada kebaikan bahkan dalam keadaan yang sangat sempit.

أَفَمَنيَعْلَمُأَنَّمَآأُنزِلَإِلَيْكَمِنرَّبِّكَٱلْحَقُّكَمَنْهُوَأَعْمَىٰٓۚإِنَّمَايَتَذَكَّرُأُو۟لُوا۟ٱلْأَلْبَٰبِ

Maka apakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkanTuhan kepadamu adalah kebenaran, sama dengan orang yang buta? Hanya orang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,(Ar-Ra’d 13:19).

Sebagai makhluk Allah yang berakal, sudah sebaiknya kita untuk selalu berfikir, merenungi dan memahami setiap hal. Dalam sebuah kitab “Ta’limul Muata’alim” karya Syekh Az-Zarnuji menyebutkan bahwa bagi pelajar supaya ilmu mereka dapat tersimpan dengan baik, maka tidak hanya sekedar mengulang-ngulang pelajaran tetapi juga perlu untuk merenungi dan memahami pelajaran tersebut. Sehingga kita memang sangat perlu untuk berkali-berkali berfikir, merenungi dan intropeksi diri terhadap berbagai hal yang bahkan terlewat bagi kita tetapi sebenarnya memberikan kebaikan besar untuk diri kita.

Oleh karena itu, salah satu bentuk iman kita kepada Sang Ilahi Rabbi ialah sebaiknya kita selalu percaya atas setiap hal yang terjadi khususnya di luar kendali kita. Percaya bukan hanya sekedar meyakini kemudian berpangku tangan, tetapi meyakini juga merenungi untuk kemudian kita dapat lebih bijak dalam bersikap terhadap apa-apa yang terjadi. Sungguh dengan demikian akan terasa lebih indah juga menyadarkan kita akan setiap kuasa Allah. Maka, apakah kamu tidak berfikir?

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

“Ats-tsabit wal mutaghayyir”

Oleh: Rayyan Alkhair

Kalimat diatas adalah adalah sedikit nasihat yang disampaikan oleh DR. Ahwan Fanani dalam acara “Halal Bi Halal Keluarga Besar Pesantren Riset Al-Muhtada” yang dilaksanakan pada tanggal 31 Mei tahun 2021 pukul 19.30 WIB melalui media daring zoom meeting. Acara halal bi halal tersebut bertemakan “Sucikan Hati Dengan Pererat Silaturahmi Dimasa Pandemi”.

Jika kita melakukan kilas balik sebelum masa pandemi covid-19, seluruh kegiatan baik itu kegiatan ekonomi, sosial ataupun keagamaan dilakukan secara bebas tanpa adanya pembatasan atau bahkan pelarangan dalam ruang publik. Namun, setelah datangnya covid-19 ke Indonesia dan statusnya naik menjadi pandemi, kegiatan sosial, ekonomi dan keagamaan dibatasi bahkan dilarang untuk dilakukan dalam ruang publik untuk mencegah penyebaran virus.

Namun, bagaimanapun buruknya kondisi yang dialami oleh sebuah negara, ia harus tetap menjalankan fungsi dan perannya sekalipun dalam keadaan pandemi ini. Konstelasi yang dihadapi oleh Indonesia membuat negara ini melakukan penyesuaian-penyesuaian atau proses adaptasi dimasa pandemi. Tidak hanya negara saja yang sedang melalui “state of survival”, namun masyarakat juga beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat negara.

Dua kali sudah kita melalui hari raya idul fitri dimasa pandemi ini, dimana baik tahun  2020 maupun sekarang pembatasan atau larangan untuk pulang ke kampung halaman atau pergi ke tempat tertentu untuk bersilaturahim diberlakukan. Dengan adanya pembatasan bahkan larangan mudik atau berpergian, kebutuhan emosional masyarakat agaknya susah dipenuhi.

Hal ini mungkin kita dapat ketahui dari beberapa story atau upload teman-teman kita di sosmed tentang betapa pandemi ini menghalangi mereka untuk sekedar melepas rindu dengan bertemu keluarga atau kerabat di tempat nun jauh. Namun, keadaan yang sudah kita lalui bersama selama satu tahun lebih ini membuat kita terbiasa atau beradaptasi dalam situasi pandemi.

Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya kegiatan-kegiatan daring seperti webminar (seminar daring), khataman online, silaturahmi online dan kegiatan-kegiatan lain yang sebelum pandemi melanda dilakukan secara luring, namun setelah pandemi dilakukan melalui jaringan internet.

Hal ini menurut DR. Ahwan Fanani selaku narasumber acara halal bi halal Pesantren Riset Al-Muhtada adalah lumrah bahkan sudah diprediksi sejak tahun 60an atau yang disebut oleh para ilmuan sebagai sebuah era “postmodern”. DR. Ahwan menjelaskan bahwa salah satu ciri khas dari era ini adalah terjalinnya hubungan yang sekedar simbolis atau simulasi lewat media (interaksi sekunder).

Proses inilah yang sedang kita lalui mulai dari satu tahunlalu, bahkan adaptasi yang kita lakukan bisa dikatakan cepat dan cenderung menyasar kepada sendi-sendi kehidupan yang fundamental atau kita kenal dengan era disruptif. Dalam era disruptif, perubahan-perubahan terjadi secara cepat, manusia didalamnya termasuk negara-negara bersaing satu sama lain untuk beradaptasi dengan perubahan yang niscaya. Perubahan-perubahan inilah yang menciptakan tantangan bagi insan modern di era disruptif.

Ada hal-hal yangberubah dan ada hal-hal yang ajeg atau kita mengenal sebuah asas  “ats-tsabit wal mutaghayyir”. Hal-hal yang cenderung trivial atau periferal akan mudah berubah namun, hal-hal yang sifatnya substansial seperti nilai dan norma akan sulit diubah. Kaidah inilah yang memegang kunci bagi insan agamis dalam melihat dan menghadapi perubahan dimasa pandemi.

Mungkin, metode atau perbuatan, pranata dan media dalam melakukan sesuatu boleh berganti menyesuaikan kebutuhan atau keadaan dalam suatu waktu dan tempat. Namun, substansi yang menjiwai akan sama atau tetap. Sama ketika kita melakukan kegiatan-kegiatan virtual dimasa pandemi ini, dimana kegiatan dilakukan secara dari atau tanpa tatap muka secara harfiah. Namun, substansi yang ada pada kegiatan yang dilaksanakan tetap tidak berubah.

Kemampuan meninjau seperti inilah yang dibutuhkan oleh insan di era disruptif ini, jangan sampai hal-hal yang trivial mengacaukan kita dan kita malah menganggapnya sebagai sebuah hal yang substansial atau krusial. Tempatkan apa yang menjadi tantangan sebagai tantangan, kelemahan sebagai kelemahan, kekuatan sebagai kekuatan dan kesempatan sebagai kesempatan. Dengan demikian, perubahan seperti apapun akan mudah dilalui.

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki kemampuan dibidang olahraga sepak bola, maka ia akan mengasahnya dengan mengikuti pelatihan sekolah sepak bola atau memasuki program studi keolahragaan dan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penambahan kualitasnya bermain sepak bola.

Namun, kelebihan ini merupakan pedang bermata dua, ia juga bisa berlaku sebagai kelemahan yang hanya akan mengarah kepada diri sendiri, bukan mengatasi persaingan yang ketat di era disruptif ini dimana perubahan sangat cepat dan membutuhkan pengataman yang cermat dalam melihat perubahan. Bisa jadi ia hanya akan berfokus melatih kemampuan sepak bolanya dan hanya memiliki kemampuan dibidang tersebut.

Namun, karena suatu pesepak bolaan di negaranya diisi oleh praktik korup dan diwarnai tindakan anarkis, maka akhirnya liga sepak bola ditiadakan dalam jangka waktu tertentu. ia akan kehilangan profesinya sebagai atlet profesional tanpa memiliki kemampuan lain yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Musyawarah Akbar Pesantren Riset Al-Muhtada Berhasil Digelar, Gema Aditya Mahendra Presiden Mahasantri 2021-2022.

Ket. In’am Zaidi Presiden Mahasantri Periode 2019-2021 (Kiri) dan Gema Aditya Mahendra Presiden Mahasantri Periode 2021-2021 (Kanan)

Semarang, 4/4/2021- Pesantren Riset Al-Muhtada kembali menyelanggarakan agenda “Musyawarah Akbar”. Acara ini dilaksanakan secara tatap muka di Asrama Putra Pesantren Riset Al-Muhtada dan Virtual pada aplikasi meeting. Musyawarah Akbar merupakan salah satu agenda tahunan sebagai forum pertanggungjawaban pengurus aktif dan reformasi kepengurusan.

Kegiatan Musyawah Akbar digelar hari Rabu, 3 April 2021 dimulai pukul 09.00 WIB dengan sambutan pengurus dari Presiden  Pesantren Riset Al-Muhtada periode 2019-2021, saudara In’amZaidi dilanjutkan dengan sambutan sekaligus membuka acara oleh Pengasuh Pesantren Riset Al-Muhtada, Bapak Dr. Dani Muhtada, M.Ag., MA., Ph.D, kemudian dilanjutkan dengan serangkaian acara musyawarah akbar.

“Jangan pernah bertanya apa yang telah pesantren berikan kepada kita. Tapi, tanyakan apa yang telah kita berikan kepada pesantren” pesan In’am Zaidi Presiden Pesantren Riset Al-Muhtada 2019-2020 kala sambutan pembukaan acara.

Pengasuh Pesantren Riset Al-Muhtada, Bapak Dr. Dani Muhtada, M.Ag., MA., Ph.D juga memberikan apresiasi yang kepada seluruh panitia yang telah bekerja keras dalam menyiapkan acara dengan sangat baik, kepada seluruh Mahasantri yang telah mengikuti acara dari awal sampai akhir, kepada seluruh pengurus demisioner yang telah mengabdi tak kenal lelah selama ini, serta terkhusus kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang semoga sukses dan amanah dalam mengelola Pesantren Riset Al-Muhtada.

Musyawarah akbar yang dilaksanakan dihadiri oleh seluruh Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada baik angkatan 2018, 2019 maupun 2020, selain membahas mengenai laporan pertanggung jawaban pengurus periode 2019-2021, dalam musyawarah ini menentukan Presiden serta Wakil Presiden untuk periode selanjutnya sebagai penerus estafet kepengurusan dari Pengurus PesantrenRiset Al-Muhtada sebelumnya.

Hasil dari Musyawarah Akbar menetapkan saudara Gema Aditya Mahendra sebagai Presiden Mahasantri dan saudari Eka Erni Nurrohmah sebagai Wakil Presiden Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada Periode 2021-2022.

Musyawarah Akbar selesai Mingu 4 April 2021 pukul 00.33 WIB, dilanjutkan dengan sesi penyerahan secara simbolis kepemimpinan pesantren  dari Presiden Pesantren Riset Al-Muhtada 2019-2021 kepada Presiden  Pesantren Riset Al-Muhtada 2021-2022, acara ditutup dengan sesi foto bersama (MNA/DWK).

Semhas Penelitian: Berkarya di Tengah Pandemi, Pengasuh Beri Apresiasi

Dokumentasi Seminar Hasil Penelitian Mahasantri Tahun 2021 Melalui Aplikasi Zoom Meeting

28/03/2021 – Kegiatan belajar mengajar di tengah pandemi covid-19 memang sedikit banyak mengalami hambatan. Meskipun demikian, kegiatan tersebut harus tetap dilanjutkan demi keberlangsungan pendidikan.

Demikian juga kegiatan belajar di Pesantren Riset Al-Muhtada. Pesantren yang terletak di wilayah Banaran Kampus Unnes Gunungpati tetap melangsungkan berbagai kegiatan secara virtual. Salah satu kegiatannya yakni Seminar Hasil Penelitian Mahasantri yang rutin digelar sebagai kegiatan tahunan sekaligus kegiatan yang mendorong Mahasantri untuk berlatih menjadi seorang peneliti.

Seminar Hasil Penelitian merupakan bagian akhir dari serangkaian kegiatan pembelajaran metodologi penelitian mahasantri. Seminar hasil merupakan acara untuk melaporkan hasil dari temuan penelitian yang telah dilaksanakan dari bulan Januari sampai Maret.

Tema penelitian yang diangkat pada tahun ini yakni aspek budaya, pendidikan, dan keagamaan. Dimana Mahasantri melakukan penelitian di beberapa bidang yang terkait dengan tema penelitian, sebagai contoh ada yang melaksanakan penelitian mengenai BumDes sebagai pemersatu umat beragama, Model pendidikan di Panti Asuhan saat Pandemi Covid-19, Tradisi rabu wekasan dikalangan millenial, Tradisi perlon unggahan pada Masyarakat Bonokeling Cilacap, dan penelitian kelompok mahasantri lainnya yang mengangkat judul yang menarik.

Seminar Hasil Penelitian tahun 2021 Pesantren Riset Al-Muhatada dilaksanakanpada 28 Maret 2021 secara virtual mengingat keadaan pandemi covid-19 yang belum usai, bertepatan pada hari Minggu, 14 Sya’ban 1442 H.

Kegiatan berjalan dengan lancar yang dimulai pukul 09.00 WIB dengan diawali sambutan sekaligus membuka acara Seminar Hasil dari pengasuh pesantren, Bapak Dr. Dani Muhtada, M.Ag. M.A., M.P.A kemudian dilanjutkan acara inti yaitu pemaparan hasil penelitian dari tiap mahasantri yang tergabung dalam 13 kelompok. Selanjutnya setiap kelompok yang memaparkan hasil penelitian, menjawab pertanyaan yang diajukan baik dari pengasuh dan reviewer Bapak Ayon Diniyanto, S.H., M.H.

Saya sangat mengapresiasi semua santri yang sudah bekerja keras melakukan penelitian” ungkap pengasuh pesantren, Bapak Dr. Dani Muhtada M.Ag., MA., Ph.D kala sesi terakhir sebelum penutupan acara.

Alhamdulillah, rasa lelah itu akan terganti dengan bahagia” begitu ungkap Azkia, salah satu mahasantri yang turut merasakan tegang dan gugup saat hendak memaparkan hasil penelitian.

Seminar Hasil Penelitian diikuti pula oleh peserta dari kalangan umum. Acara ini berakhir pukul 12.27 dan ditutup dengan sesi foto bersama. (FM/DWK).

Negeri Semu

Oleh : Mohammad Khollaqul Alim

Hamparan perkebunan dan sawah terbentang di segala penjuru wilayah. Lautan biru yang jernih mengelilingi pulau-pulau yang terpisah. Bentangan alam yang elok dan alami menjadikan negeri ini seperti surga yang tersembunyi. Tidak hanya itu, negeri ini juga memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah yang menjadi suatu berkah dan anugerah tersendiri bagi penduduknya. Negeri ini bernama Indonesia. Secara sekilas saja, dapat dikatakan bahwa negeri ini memiliki keistimewaan lebih dibandingkan dengan negeri-negeri yang lain. Oleh karena itu, seharusnya negeri ini mampu menjadi suatu negeri yang besar dan makmur. Tetapi dengan melihat kondisi negeri saat ini, rasanya masih cukup jauh untuk mewujudkan harapan tersebut.

Indonesia adalah negeri yang kaya. Kekayaan yang dimiliki mencakup kekayaan sumber daya alam dan kekayaan sosial. Kekayaan sumber daya alam tersebut meliputi sumber daya alam hayati dan sumber daya alam non hayati. Sumber daya alam hayati di Indonesia terdiri atas keanekaragaman flora dan fauna yang melimpah yang tersebar di berbagai daerah dan termasuk keanekaragaman terbesar di dunia. Sedangkan sumber daya alam non hayati yang dimiliki Indonesia misalnya gas alam, minyak bumi, dan berbagai jenis hasil tambang lainnya. Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan sosial berupa keberagaman penduduk meliputi keberagaman etnik, suku, agama, maupun budaya. Dengan melihat berbagai potensi tersebut, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi “Macan Asia” bahkan negara super power di dunia.

Tampaknya, impian untuk menjadi negara super power ataupun “Macan Asia” masih cukup jauh dari kenyataan. Hingga saat ini, Indonesia masih betah dengan status sebagai negara berkembang. Status tersebut akan terus melekat jika tidak ada semangat perubahan untuk negeri oleh seluruh rakyatnya. Masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus segera dibenahi dan diselesaikan. Sistem birokrasi dan pemerintahan belum terstruktur dengan baik dan terkesan amburadul. Seakan-akan Pancasila dan UUD 1945 hanya menjadi simbol negara demokratis belaka. Banyak pejabat negara yang mampu menghipnotis rakyat dengan menebar janji-janji manis ketika kampanye berlangsung. Tetapi ketika sudah terpilih, mereka sudah lupa untuk menunaikan janjinya tersebut. Pemerintah meminta rakyatnya untuk lebih kritis terkait kebijakan publik saat ini, tetapi pemerintah membentengi diri dengan menaruh UU ITE sebagai tameng sehingga masyarakat merasa ketakutan dan memilih untuk bungkam.

Hukum di negeri ini masih terlihat “Tumpul ke Atas dan Tajam ke Bawah”. Entah mengapa, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat sulit ditegakkan di negeri ini. Para pejabat dan kerabat dekat pemerintah terkesan lebih kebal hukum bahkan hukum cenderung menyengsarakan rakyat biasa. Bahkan para pejabat negara tidak merasa takut jika berbuat korupsi. Seakan-akan korupsi adalah suatu tindakan yang lumrah dan dianggap sebagai “budaya bangsa” di negeri ini. Selain itu, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia harus segera diperbaiki dan ditata kembali. Potensi munculnya perpecahan bangsa semakin jelas dan nyata. Dimana-mana masih terjadi konflik dan pergolakan daerah yang tak kunjung usai. Tindakan diskriminasi yang dilatarbelakangi ras, suku, agama, ataupun budaya juga masih sering terjadi. Bahkan tindakan diskriminasi tersebut dilakukan secara terbuka dan blak-blakan di depan khalayak ramai misalnya di media sosial. Sungguh ironi melihat semua permasalahan tersebut terjadi di negeri ibu pertiwi ini. Semuanya terlihat semu, tetapi terasa nyata dan dapat dirasakan.

Indonesia adalah negeri yang indah dan memiliki kekayaan yang melimpah ruah. Dengan memanfaatkan potensi tersebut, Indonesia pasti mampu menjadi “Macan Asia” bahkan negara super power di dunia. Tetapi, negeri ini masih kesulitan untuk mewujudkan impian tersebut. Masih banyak permasalahan negeri ini yang harus dihadapi dan dituntaskan sesegera mungkin oleh semua elemen bangsa. Mulai dari sistem pemerintahan hingga jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri harus segera diperbaiki dan ditata kembali dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, semua elemen bangsa harus segera bangkit dan bergerak untuk melakukan perubahan dengan cara saling bahu-membahu, tolong-menolong, serta memiliki rasa prihatin dan kepedulian terhadap nasib bangsanya. Bangsa Indonesia juga harus mampu mengoptimalkan dan memanfaatkan berbagai potensi yang telah dimiliki dengan sebaik mungkin. Selain itu, rasa kekeluargaan dan semangat gotong royong juga harus selalu dipupuk dan dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat dalam bersama-sama menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di negeri ini. Bukan tidak mungkin, impian untuk membawa negeri ini menjadi “Macan Asia” bahkan negara super power di dunia dapat segera terwujud di kemudian hari.

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

Menyikapi Bencana Alam dan Menjaga Hubungan dengan Allah di Tengah Pandemi COVID-19

Oleh Muhammad Miftahul Umam

Dalam satu tahun terakhir ini, bangsa Indonesia menghadapi cobaan yang luar biasa. Pada awal Maret tahun 2020 lalu, bangsa Indonesia menghadapi pandemi virus corona (covid-19). Akibat dari adanya pandemi covid-19 tersebut, sebagian besar aspek dalam berbagai bidang kehidupan manusia mengalami perubahan. Dalam bidang pendidikan misalnya para siswa dirumahkan dalam artian kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring atau tidak bertatap muka secara langsung. Dalam bidang ekonomi misalnya banyak pekerja/buruh yang di PHK, hingga pembatasan aktivitas di ruang publik. Hingga saat ini, pandemi covid-19 telah mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal dunia. Data sebaran Satgas Penanganan Covid-19 menunjukkan bahwa pertanggal 23 Januari 2021, telah terdapat 977.474 orang yang terkonfirmasi positif covid-19, 791.059 orang dinyatakan sembuh, dan 27.664 orang meninggal dunia.

Selain pandemi covid-19 yang masih belum berakhir hingga pergantian tahun saat ini, pada periode awal Januari 2021 saja bangsa Indonesia mengalami bencana alam yang luar biasa yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Dilansir dari inews.id, dengan artikel yang berjudul “BNPB: 185 Bencana Alam Terjadi di Indonesia 1-21 Januari 2021”, menyebutkan bahwa pada tanggal 1 hingga 21 Januari 2021 saja, sudah terdapat 185 bencana alam yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Dari total 185 bencana alam tersebut, 127 diantaranya merupakan bencana alam banjir, 30 diantaranya tanah longsor, 21 diantaranya puting beliung, 5 diantaranya gelombang pasang, dan 2 diantaranya adalah gempa bumi.
Selain itu, pada hari sabtu, tanggal 9 Januari 2021 lalu, bangsa Indonesia harus kembali berduka karena terjadinya kecelakaan pesawat, yakni jatuhnya pesawat komersial Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJ 182 rute Jakarta-Pontianak di Perairan Kepulauan Seribu. Diduga tidak ada penumpang yang berhasil selamat dari peristiwa tersebut, mengingat badan pesawat dan tubuh penumpang yang ditemukan telah hancur dan menjadi serpihan-serpihan dan potongan-potongan. Dilansir dari kompas.com (10/1), dalam penerbangan tersebut, pesawat mengangkut 43 penumpang dewasa, 7 penumpang anak, 3 penumpang bayi, dan 12 kru pesawat.

Berbagai bencana yang terjadi tersebut tentunya membawa duka yang sangat mendalam bagi bangsa Indonesia. Di tengah pandemi covid-19 yang belum juga usai hingga saat ini, bahkan hampir memasuki usia satu tahun, berbagai bencana alam yang turut hadir diawal tahun 2021 menambah duka bagi bangsa Indonesia. Meski demikian, tentu kita tidak boleh putus asa dan harus terus berikhtiar dengan meminimalisasi dampak dari pandemi dan bencana alam yang telah terjadi, serta senantiasa berusaha menyelesaikannya.
Sebagai seorang muslim kita harus yakin bahwa segala sesuatu, baik dan buruk (dalam pandangan manusia) merupakan atas kehendak Allah SWT, sebagaimana bencana alam juga datang atas kehendak Allah. Meskipun bencana yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia dapat berpotensi sebagai ujian atau pun azab, akan tetapi kita tidak boleh terburu menjustifikasi bahwa setiap bencana yang diturunkan kepada manusia merupakan azab dari Allah. Dalam salah satu kesempatan, KH. Ahmad Baha’udin Nursalim atau yang lebih akrab disapa Gus Baha’ menjelaskan bahwa Allah memang memiliki kuasa untuk mengazab seseorang. Akan tetapi, azab itu sifatnya potensial dalam arti Allah mampu mengazab, tetapi tidak harus. Yang tahu bencana alam yang terjadi itu sebagai azab atau tidak hanyalah Allah SWT.

Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim kita jangan sampai melampaui batas kewenangan manusia dengan merasa lebih tahu daripada Allah SWT. Ketika terdapat bencana alam di suatu daerah tertentu misalnya, kita jangan terburu menjustifikasi bahwa itu adalah azab dari Allah dan menuduh orang-orang di daerah tersebut banyak melakukan dosa, kedzaliman. Kemusyrikan, dan sebagainya. Ketika berbicara tentang bencana alam maka kita hanya berbicara bahwa itu berpotensi sebagai azab saja, jangan sampai menjustifikasi bahwa itu benar-benar azab, karena hal tersebut adalah urusan Allah.
Ketika terjadi bencana alam, maka sikap kita sebagai seorang muslim adalah meyakini bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Segala sesuatu yang datang dari Allah pasti memiliki hikmah tersendiri. Oleh sebab itu, lebih baik kita mencoba menggali sisi-sisi hikmah dari sebuah peristiwa tersebut, melakukan intropeksi diri, dan meningkatkan ketaqwaan terhadap Allah, karena bencana alam bisa datang kepada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.

Intropeksi diri merupakan suatu hal yang sangat penting. Dengan melakukan intropeksi diri, maka akan membawa kepada pola pikir dan perilaku yang lebih rasional. Misalnya ketika terjadi banjir, mungkin karena kurang menjaga kebersihan lingkungan, sehingga dengan demikian akan menumbuhkan semangat kita untuk menantiasa menjaga lingkungan. Selain itu, menjaga kebersihan lingkungan bukan hanya soal agar tidak terjadi banjir semata, tetapi juga merupakan bentuk ketaqwaan kepada Allah karena hal tersebut termasuk salah satu menaati perintah Allah. Atau dengan adanya banjir kemudian menggugah hati orang lain untuk turut mengulurkan tangan untuk membantu satu sama lain.

Kaitannya dengan pandemi covid-19, jika kita rasakan memang sudah cukup lama, dan banyak dari kita menganggapnya sebagai cobaan atau ujian. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita sebelumnya, maka lama dari ujian yang berupa pandemi tidak seberapa. Gus Baha’ mencontohkan ujian yang dihadapi oleh nabi Ayyub ra, dimana setelah cukup lama menjalani masa ujian yang berupa penyakit, kemudian istrinya mulai mengeluh. Melihat hal tersebut kemudian nabi Ayyub bertanya kepada istrinya, “kamu sehat sudah berapa puluh tahun?”. Istrinya menjawab kurang lebih sudah 60 tahun. Nabi Ayyub bertanya lagi kepada istrinya, “kita sakit baru berapa tahun?”, Kemudian istrinya menjawab sudah 1 tahun. Nabi Ayyub kemudian berkata, “ya sudah, kamu harus ingat betapa Allah memberikan kesehatan itu jauh lebih lama daripada kita menghadapi penyakit”.

Gus Baha’ juga menjelaskan bahwa Allah menyuruh kita untuk selalu mengingat sisi-sisi nikmat daripada penderitaan, sebagaimana dalam firman Allah, “… Fadzkuruu aala allaahi la’allakum tuflihuun (QS. Al-A’raf:69)”, yang artinya “… maka ingatlah akan nikmat Allah agar kamu beruntung”. Dalam menjalin hubungan dengan Allah, kita harus senantiasa lebih mengingat sisi-sisi nikmat, bahwa ujian yang kita hadapi sekarang jauh lebih ringkas dibanding saat kita diberi kebaikan. Sejak dahulu, kita juga telah mengalami berbagai masalah dan kita selalu bisa melewatinya dengan baik. Hal tersebut karena tawakkal dan ikhtiar secukupnya. Ikhtiar dan tawakkal merupakan upaya agar iman kita tetap stabil, karena hubungan Allah dengan kita jauh lebih banyak memberi nikmat ketimbang ujian-ujian, seperti pandemi ini. Kita wajib berikhtiar, tapi tidak perlu cemas untuk menghadapi covid karena sebetulnya nikmat yang dikasih allah itu jauh lebih besar.
Wallaahu a’lam

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang .

Gema Aditya Mahendra Raih Best Presenter Konferensi Internasional

Semarang (22/01/2021), Kabar prestasi kembali diukir oleh mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada yang meraih penghargaan best presenter dalam ajang konferensi internasional “The First International Conference on Goverment Education Management  and Tourism (ICoGEMT) 2021” yang diselenggarakan oleh Loupias Event Organizer, Can Tho University Vietnam, dan Radboud Universiteit. Konferensi internasional tersebut dilaksanakan melalui media online berupa zoom meeting yang berlangsung pada tanggal 9 Januari 2021 dengan tema besar “Challenging researchers, Academics and Educators in Contributing to Achieving Sustaibable Development Goals in the Digital Age : Critical and Holistic Thinking”.

Mahasiswa Teknik Kimia dengan nama Gema Aditya Mahendra atau akrab disebut ‘Igam’ berhasil mendapatkan penghargaan best presenter dalam ajang tersebut diantara puluhan presenter lain dari beberapa negara dunia.. Adapun presenter lain dari acara ini yaitu  University Malaysia Sarawak, Can Tho University Vietnam, Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya, Kementrian Pariwisata, serta presenter lain di berbagai negara.

Igam mengungkapkan bahwa harapan kedepannya bisa lebih aktif dan kreatif lagi, serta bisa ikut event-event besar terkait dengan kepenulisan ilmiah agar bisa mengasah keterampilan yang dimiliki dan memberikan sumbangsih ide atau gagasan untuk Indonesia yang lebih baik” pungkasnya. (GAM)

Hari Ini Milik Anda

Oleh : Amanatul Khomisah

Hari ini saat matahari menyinari bumi, dan siangnya yang menyinari dengan ceria. Inilah hari anda. Saat pagi hari telah datang jangan menunggu sore datang pula menjelang. Detik ini,pagi ini, hari ini dan saat ini adalah yang akan anda jalani, bukan hari lalu apalagi hari esok yang masih menjadi misteri.

Umur anda,tak ada yang mengetahui. Mungkin hari ini adalah hari terakhir anda.  Maka pada hari ini pula. Sebaiknya anda mencurahkan seluruh jiwa dan raga untuk lebih peduli,perhatian dan lebih bekerja keras. Pergunakan waktu anda dengan bijak. Tanamlah kebaikan sebanyak banyaknya pada hari ini. Tekadkan dengan sepenuh hati,untuk selalu mendekatkan diri dengan Sang Illahi Rabbi. Mempersembahkan ibadah yang indah nan khusu’, kecantikan akhlak dan keseimbangan dalam segala hal.

Tersenyumlah, jalani hari ini tanpa kesedihan, kemarahan, kegalauan, kedengkian, kegundahan dan kebencian. Percayalah pada diri sendiri,bahwa anda mampu menjalani dengan semangat dan tekad yang kuat. Sibukkanlah diri anda dengan prinsip bahwa ” anda hanya hidup hari ini”. Maka anda akan menyibukkan diri untuk selalu memperbaiki keadaan,mengembangkan bakat dan potensi, dan mensucikan setiap amalan.

Katakan pada masa lalu ” wahai masa lalu aku tak menangisi kepergianmu,tenggelamlah kamu bersama mentari, dan berjanjilah untuk tak kembali, biarkan aku hidup hari ini untuk menuju masa depan datang.karena hari ini adalah milik aku pribadi ”

Penulis adalah Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.