Iman Lebih Dari Sekedar Percaya, Akan Tetapi Ada Konsekuensi Yang Harus Dijalankan

Ilustrasi Gambar Seseorang yang Beriman (Freepik.com - almuhtada.org)

Almuhtada.org – Al-Qur’an agaknya telah membedakan orang yang telah ber-Islam dengan orang yang beriman. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan Al-Qur’an yang artinya: “berkata orang-orang Arab bahwa kami telah beriman, padahal sebenarnya mereka belum dapat dikatakan beriman, tetapi masih Islam, dan iman belum masuk ke hati mereka.”

Tampaknya di sini yang dimaksud dengan Islam adalah bukan sikap pasrah sebagai makna esensial yang dikandungnya melainkan Islam dalam arti menjalankan perintah-perintah lahiriyah yang disyari’atkan oleh Rasullullah.

Pembedaan Islam dan Iman didasarkan pada kemungkinan bahwa orang-orang yang telah mengaku Islam (mengucapkan syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji), masih terbuka peluang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajarannya dan juga masih ada kemungkinan melaksanakan perintah agama tanpa keikhlasan daan ketulusan. Dalam istilah teologi Islam, sikap-sikap demikian disebut dengan munafiq.

Pemahaman konvensional di sebagian masyarakat muslim menunjukkan bahwa, iman selalu diterjemahkan dengan percaya. Makna ini tidaklah terlalu salah, namun belum menyentuh makna substansial dari iman itu sendiri. Kata iman berasal dari akar kata yang sama dengan aman (kesejahteraan dan kesentosaan) dan amanah (keadaan bisa dipercaya atau diandalkan).

Dari sini dapat dikatakan bahwa iman akan melahirkan rasa aman dan mempunyai amanat, arti ini tentu lebih dalam dibanding dengan sekadar percaya. Jadi salah satu wujud dari iman adalah sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai tempat menyandarkan diri dan menggantungkan harapan. Oleh karena itu konsistensi iman adalah husnuzhan, baik sangka dan sikap optimis kepada Tuhan.

Baca Juga:  Pedoman Kesehatan dalam Islam: 10 Bagian Tubuh yang Perlu Diurus dengan Baik

Jelaslah bahwa iman bukan hanya sekadar percaya, apalagi kepercayaan yang tidak memiliki konsekuensi. Syetan atau Iblis sebenarnya percaya kepada Allah, malah mereka lebih dahulu “mengenal” Allah. Sayangnya Iblis tidak siap menerima konsekuensi dari sikap percaya itu, sehingga sanggup membangkang terhadap perintah Allah untuk sujud pada Adam.

Secara rasional mungkin argumentasi Iblis bisa diterima karena semestinyalah “sang yunior” harus menghargai “senior”, apalagi sang yunior diciptakan dari tanah, unsur yang tidak begitu mulia, setidaknya itu menurut Iblis. Semestinya perintah Allah harus ditangkap maknanya tidak saja dalam jangka pendek, tetapi jangka panjang.

Dalam hal ini Syetan gagal melakukannya. Penghormatan pada Adam ternyata bukan hanya sekadar perintah Allah sebagai pemilik otoritas, melainkan karena Adam memiliki kualifikasi-kualifiksi tertentu yang tidak dimiliki Iblis. Kualifikasi khusus itulah yang membuat Adam dan keturunannya diamanahkan untuk menjadi khalifah (memimpin) di dunia ini.

Dari sini jelaslah bahwa iman atau sikap hidup percaya menuntut konsekuensi-konsekuensi dalam bentuk melaksanakan perintah Allah SWT seperti yang dimuat oleh Al-Qur’an dan hadis Rasul. Sikap hidup percaya tanpa bersedia menerima konsekuensinya menjadi tidak bermakna (absurd).

Sebagai contoh, Al-Qur’an menginformasikan bahwa ada orang yang sholat tetapi ditempatkan dalam neraka. Secara lahiriyah ia melaksanakan sholat yang diawali dengan takbir (ucapan Allahu Akbar) dan diakhiri dengan salam (ucapan assalamu’alaikum) namun ia gagal mengorientasikan kesadaran batinnya kepada Allah sehingga sholatnya tidak memberi bekas dalam kehidupannya sehari-hari.

Baca Juga:  Menelisik Film Ipar adalah Maut : Bagaimana hukumnya tinggal seatap dengan ipar ?

Tegasnya, pengaruh sholat yang semestinya berfungsi mencegah dari perbuatan fahsya (penyakit hati) dan munkar (kemungkaran yang dihasilkan panca indera) tidak teraktualisasi dalam kehidupannya sehari-hari.

Jika demikian sebenarnya masalah iman adalah masalah hati yang sangat privat. Para ulama ketika ditanya di mana tempat iman ?Mereka menjawab tempatnya di dalam hati. Beriman pada hakikatnya adalah menempuh hidup percaya. Artinya orang yang beriman akan selalu mengorientasikan hidupnya hanya kepada Allah SWT. Baginya Allah SWT adalah asal (al-Awwal) sekaligus akhir (al-Akhir) dari segalanya. [Sholikhul Abidin]

Related Posts

Latest Post