Menyingkap Konsep Kesadaran Penuh dalam Jawaban Eyang Mus kepada Darsa

Ilustrasi Kesadaran Manusia. (ideogram.ai – almuhtada.org)

almuhtada.org – Ada satu tokoh dalam novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari yang mengajukan keresahan yang barangkali adalah momok bagi masyarakat modern. Dia adalah seorang penyadap nira kelapa, yang hidupnya bergantung pada kesanggupannya menggantung wadah-wadah di pucuk-pucuk pohon kelapa untuk menampung nira.

Nira yang dulunya adalah baku daripada tuak sampai agama membuat masyarakat tahu bahwa itu haram bagi mereka, sehingga sekarang para penyadap beralih menjadikannya gula yang kemudian diserahkan ke tengkulak untuk mendapatkan penghidupan.

Hidup bergantung kepada tengkulak bukanlah kehidupan layak sebagaimana dijelaskan di cerita bahwa sekilo gula tidak mendekati nilai sekilo nasi, dan gula sejumlah itu baru bisa didapati dari empat pohon kelapa yang dipanjat pagi hari untuk menampung dan lagi di sorenya untuk diolah.

Begitulah Darsa, tokoh yang dimaksud di awal, hidup bersama istrinya sampai musibah dikenakan kepada mereka. Atau barangkali merekalah yang berjalan tanpa menahu kepada musibah itu sendiri(?).

Dampak daripada musibah itu menyengsarakan kehidupan keluarga yang tanpanya saja sudah susah (Ketika dikatakan susah, tidak menghilangkan kemungkinan seseorang merasa bahagia, sebagaimana susah dan bahagia adalah dua hal yang bisa terjadi bersamaan karena keduanya tidak saling meniadakan).

Dalam kesulitannya, berbagai gejolak timbul menyengsarakan keduanya (Ketika dideskripsikan begini sebenarnya tidak adil bagi sang istri di akhir, tetapi bagaimanapun untuk mengetahui kesengsaraan yang betul tetap harus membaca sendiri bukunya, dan barangkali karena alasan itulah penulis membiarkannya tertulis demikian).

Baca Juga:  The Future It’s Not Ours to See, Que Sera Sera

Darsa jatuh ketika hendak mengambil nira. Dia adalah salah satu yang barangkali bisa dikatakan beruntung karena tidak meninggal mengingat berbagai kemungkinan tidak menguntungkan ketika seseorang memanjat pohon setinggi rumah bertingkat dua dengan parang terikat di pinggang.

Kalau tidak mati di tempat, maka mati setelah beberapa saat yang justru menyengsarakan orang-orang di sekitar karena harus mengurus dan memperpanjang perpisahan yang dalam kebersamaannya adalah kesengsaraan itu sendiri apabila menetap di rumah, atau juga tetap menyengsarakan mereka, bahkan setelah perpisahannya, apabila mencoba peruntungan kepada medis dengan mengambil pinjaman sebagaimana kerja mereka hanya untuk hidup di hari itu juga yang akhirnya tidak berbuah apa selain hutang yang mengejar untuk dibayar.

Darsa barangkali bisa dikatakan beruntung karena dia tidak mati di tempat, dan ketika istrinya mengambil pinjaman untuknya berobat ia bisa bertahan hidup, meski butuh berbulan-bulan baginya untuk bisa normal.

Salah satu gejolak yang timbul setelah masalah ini adalah ketika mereka dihadapkan kenyataan bahwa ketika Darsa tetap hidup, dia tidak bisa melanjutkan penghidupannya. Dia hanya bisa berbaring, parahnya lagi jatuh dari ketinggian rupanya mengacaukan sistem sarafnya sehingga ia tak henti membasahi celananya.

Fakta itu mengguncangnya, dan gejolak selanjutnya adalah sensitivitas daripada Darsa yang semakin menyusahkan istrinya yang senantiasa mendampingi. Bagaimanapun, bulan-bulan berlalu dengan keluarga itu tetap tabah, atau barangkali hanya Lasi, istri Darsa.

Baca Juga:  Mau Kasih Anak Screentime Tapi Takut Tontonannya Tidak Aman? Ini Solusinya!

Keadaan Darsa membaik, sudah bisa berjalan, tetapi tetap harus berobat sampai celananya tak lagi berbau sengak. Bahagialah Lasi karena kelanjutan hidup Darsa sudah kembali ke penghidupannya, menyadap nira.

Namun kebahagiannya itu tak lama karena ia mendapati kabar bahwasanya suaminya dimintai pertanggungjawaban atas gadis anak dari dukun pijat tempat Darsa berobat. Dan barangkali pasti para pembaca akan setuju, dari semua kesulitan yang ditimpakan kepada Darsa dan Lasi, yang satu ini adalah bakal dari Darsa yang cari gara-gara.

Penulis ingin mengapresiasi bagaimana Ahmad Tohari, dalam cerpennya, mendeskripsikan kegelisahan tokoh-tokohnya, yang beberapa barangkali hanya asumsi, dengan sangat jelas. Beginilah pemikiran Darsa ketika ditanyai apakah dia sadar akan akibat dari tindakan yang diperbuatnya.

Dia bilang dia sadar dan tidak bermaksud untuk melakukannya tetapi toh tetap dilakukannya, yang membuatnya kebingungan atas dirinya sendiri. (Barangkali para pembaca mendidih membaca itu sebagai pembenaran dan memang itu adalah pembenaran diri yang tidak berdasar, redakan dulu, karena penulis dalam membaca cerita ini melihat kejujuran dalam kebingungan Darsa.

Barangkali itu sama halnya dengan kepolosan seorang anak kecil yang tidak menahu banyak hal. Kalau dalam istilah drama-drama korea: “Because This is My First Life”.) Dalam kebingungannya itu Darsa mencari pepadhang ke Eyang Mus. Dia merasa bahwasanya apa yang terjadi bukanlah sekehendaknya karena secara sadar ia menahu apa yang akan menimpanya, sebagaimana ditanyanya: “Maksud saya, apakah memang betul manungsa mung sekdrema ngelakoni, manusia sekedar menjalankan apa yang sudah menjadi suratan?”

Baca Juga:  Kenali Dirimu: Tiga Tanda Kamu Mungkin Kurang Self Awareness

Dan inilah inti daripada artikel ini, yaitu jawaban dari Eyang Mus yang sebelum menjawab menebang demikian:

Pan karsa manira iki

Sampurnane ing

Pangeran Kaliputan salawase

Tan ana ing solahira

Pan ora darbe sedya

Wuta tuli bisu suwung

Solah tingkah saking Allah

Kemudian: “….Dengarlah anak muda, orang sebenarnya diberi kekuatan oleh Gusti Allah untuk menepis semua hasrat atau dorongan yang sudah diketahui akibat buruknya. Orang juga sudah diberi ati wening, kebeningan hati yang selalu mengajak eling.

Ketika kamu melanggar suara kebeningan hatimu sendiri, kamu dibilang orang ora eling, lupa akan kesejatian yang selalu menganjurkan kebaikan bagi dirimu sendiri. Karena lupa akan kebaikan, kamu mendapat kebalikannya, keburukan….”

Sependek pemahaman penulis: yang membedakan manusia dengan ciptaan Tuhan yang tinggal di Bumi adalah akal kesadaran sebagai antidote daripada napsu. Akal itu dalam kesadarannya adalah berfitrah baik, hanya saja (jika Ahmad Tohari menuliskannya sebagai kelupaan, penulis menganggapnya bentuk tidak cukupnya kepedulian untuk tahu) sering kali kita menyalahinya, kemudian menyalahi hasilnya lagi sebagai suratan takdir. Moral value dari ini barangkali paling dekat dengan konsep kesadaran penuh/mindfulness. []Muhammad Irbad Syariyah.

Related Posts

Latest Post