almuhtada.org – Husain bin Ali adalah putra dari Ali bin Abi Thalib dan Sayidah Fatimah Azzahra, putri Nabi Muhammad saw. Sebagai cucu Nabi saw, Husain sangat dihormati. Namun, ia terbunuh dalam Perang Karbala, yang terjadi pada 10 Muharram di dekat Sungai Efrat, sekarang Irak. Dalam perang ini, Husain bin Ali dan sekitar 70 pengikutnya melawan pasukan Yazid bin Muawiyah, yang merupakan pemimpin saat itu.
Perang Karbala bukan hanya sekadar konflik militer, ia menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan. Penyebab utama dari perang ini adalah penolakan Husain untuk mengakui kekuasaan Yazid, yang dianggapnya tidak sah dan tidak adil. Peristiwa ini menandai awal perpecahan yang mendalam antara umat Islam Sunni dan Syiah,yang hingga kini masih berlanjut.
Setelah Nabi Muhammad wafat, tidak ada petunjuk jelas tentang siapa yang harus memimpin umat Islam. Para Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, memimpin secara bergantian. Ali, sepupu dan menantu Nabi, menjadi khalifah keempat setelah Utsman dibunuh. Namun, kepemimpinan Ali dipertanyakan oleh Muawiyah I, yang merasa Ali tidak menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman.
Perselisihan antara Ali dan Muawiyah berlanjut hingga Ali dibunuh. Setelah itu, Hasan bin Ali, putra Ali, menjadi khalifah, tetapi untuk menghindari konflik, ia menandatangani perjanjian dengan Muawiyah. Perjanjian ini mengakui Muawiyah sebagai pemimpin, tetapi juga memperdalam perpecahan di kalangan umat Islam.
Perang Karbala dan kematian Husain bin Ali menjadi momen penting dalam sejarah Islam. Peristiwa ini mengingatkan kita akan pentingnya keadilan dan pengorbanan dalam melawan penindasan. Hingga kini, banyak umat Islam, terutama dari komunitas Syiah, memperingati peristiwa ini sebagai simbol perjuangan melawan ketidakadilan.
Semoga bermanfaat [Azizah Fiqriyatul Mujahidah]