almuhtada.org -Shalat tarawih merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan dalam bulan Ramadhan. Ibadah ini termasuk dalam qiyamu Ramadhan, yaitu menghidupkan malam-malam Ramadhan dengan shalat dan doa.
Keutamaan shalat tarawih ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang artinya:
“Barangsiapa ibadah (tarawih) di bulan Ramadhan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).
Namun, bagaimana sebenarnya awal mula ketetapan-ketetapan dalam menjalankan ibadah shalat tarawih dimulai?
Pada masa Khalifah Abu Bakar radliyallahu ‘anh, umat Islam melaksanakan shalat tarawih secara sendiri-sendiri (munfarid) atau dalam kelompok kecil. Saat itu, belum ada aturan baku mengenai jumlah rakaat shalat tarawih.
Perubahan besar terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh. Melihat umat Islam shalat dengan cara yang beragam, beliau berinisiatif mengumpulkan mereka dalam satu jamaah dengan satu imam.
Sebuah hadis shahih meriwayatkan yang artinya:
“Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah),” (HR Bukhari).
Praktik shalat tarawih berjamaah juga mendapat dukungan dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagaimana dalam hadis yang diterjemahkan berikut:
“Dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anh, beliau berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dan melihat banyak orang yang melakukan shalat di bulan Ramadhan (tarawih) di sudut masjid. Beliau bertanya, ‘Siapa mereka?’ Kemudian dijawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai Al-Qur’an (tidak bisa menghafal atau tidak hafal Al-Qur’an). Dan sahabat Ubay bin Ka’ab pun shalat mengimami mereka, lalu Nabi berkata, ‘Mereka itu benar, dan sebaik-baik perbuatan adalah yang mereka lakukan,” (HR Abu Dawud).
Sejak saat itu, shalat tarawih secara berjamaah menjadi tradisi yang terus dijalankan. Pada masa Sayyidina Umar, jumlah rakaat shalat tarawih yang dilakukan adalah 20 rakaat, ditambah 3 rakaat witir.
Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut yang artinya:
“Dari Yazid bin Ruman telah berkata, ‘Manusia senantiasa melaksanakan shalat pada masa Umar radliyallahu ‘anh di bulan Ramadhan sebanyak 23 rakaat (20 rakaat tarawih, disambung 3 rakaat witir),” (HR Malik).
Pendapat ini diterima oleh mayoritas ulama empat mazhab dan para sahabat Nabi. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai jumlah rakaat shalat tarawih pada masa itu.
Ijma’ atau konsensus para sahabat terhadap keputusan Sayyidina Umar menunjukkan bahwa kebijakan tersebut diterima sebagai bagian dari sunnah yang baik dalam Islam.
Keputusan Sayyidina Umar juga diperkuat oleh sabda Nabi صلى الله عليه وسلم, yang diterjemahkan:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lisan dan hati Umar.” (HR. Turmudzi).
Dengan demikian, shalat tarawih berjamaah yang kita kenal saat ini berakar dari inisiatif Sayyidina Umar dan terus dipraktikkan hingga sekarang sebagai bagian dari sunnah di bulan Ramadhan. [] Rizqie Nur Salsabila
Editor : Juliana Setefani Usaini