Almuhtada.org – Pernahkah kamu bertanya pada dirimu sendiri apakah kamu benar-benar bersyukur dengan rasa cukup dalam hidupmu ataukah kamu diam-diam sedang menyerah? Atau pernahkah kamu bertanya pada dirimu sendiri apakah kamu stuck dalam rasa cukup yang terkungkung dalam zona nyaman?
Konsep cukup dalam sebuah kehidupan memanglah tampak sederhana. Namun kita tahu, sesungguhnya hal ini mengandung dilema yang mendalam. Karena di satu sisi, konsep cukup ini bisa menjadi pilihan terbaik dan bijak yang memberikan sebuah ketenangan. Namun di sisi lain, konsep cukup ini dapat berubah menjadi alasan yang membunuh potensi dan mematikan ambisi kita untuk mencapai suatu goals.
Cukup Sebagai Pilihan yang Bijak adalah Jalan Sunyi yang Menenangkan
Di dalam dunia kehidupan yang haus akan sebuah pencapaian, merasa cukup adalah sebuah keberanian. Bukan tentang sebuah kekurangan, tapi tentang kemampuan untuk mengukur batas diri dan berkata bahwa kita tak harus memiliki segalanya agar bahagia.
Dalam konteks dalam agama Islam, hal ini sering kali dikenal dengan qana’ah. Adapun dalam konsep hidup filsafat barat yakni bisa disebut dengan stoic. Nah, dari konsep-konsep ini, semua mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tak terletak pada apa-apa yang kita miliki, tetapi pada cara kita memaknai dan mensyukuri akan nikmat-nikmat -Nya.
Dalam kehidupan, kebanyakan orang yang memilih cukup sebagai prinsip hidupnya, sering kali memiliki sifat dan sikap yang cenderung lebih tenang, tidak mudah iri, dan punya fokus tersendiri terhadap suatu hal yang berkaitan dalam hidupnya.
Cukup Sebagai Perangkap untuk Tidak Berkembang
Di sisi lain, konsep cukup juga dapat menjerumuskan dalam kehidupan seseorang. Ketika kita berada dalam zona nyaman dan memasukkan konsep cukup itu di dalamnya, maka hal tersebut akanlah menjadi sebuah perangkap bagi kehidupan kita.
Kapan “Cukup” Itu Bijak, dan Kapan “Cukup”
Rasa cukup itu dapat menjadi bijak ketika dapat menjadikan hidup kita lebih ringan untuk dijalani, tidak membandingkan diri kita dengan orang lain, dan tetap bertanggung jawab akan suatu hal yang ada dalam hidup kita.
Dan rasa cukup juga akan menjadi berbahaya ketika digunakan untuk berhenti belajar, mengabaikan peluang dalam zona nyaman, atau membenarkan kemalasan dan stagnasi.
Pada dasarnya rasa cukup itu bukanlah sebuah musuh dari ambisi. Konsep cukup dalam sebuah kehidupan ini malah justru dapat menjadi pondasi kuat dari sebuah perjalanan panjang untuk menuju mimpi. Jangan sampai berangkat dari “aku sudah cukup” kita masih menyimpan potensi besar yang belum sempat tumbuh hanya karena kita terlalu cepat berhenti.
Wallahu a’lam bissawab. Semoga bermanfaat! [Rosi Daruniah].