Bolehkah Puasa Mutih dalam Islam?Simak berikutnin ini!!

Gambar ilustrasi nasi putih yang digunakan untuk puasa mutih freepik

almuhtada.org – Halo sobat almuhtada! Salah satu cara yang populer di kalangan sebagian orang terutama di Jawa, adalah puasa mutih. Puasa ini biasanya dilakukan ketika seseorang akan menikah dengan tujuan ketika hari pernikahannya tiba akan membuat pangling. Selain itu ada juga yang dilakukan untuk menyucikan diri, menjernihkan pikiran, atau agar hati tenang. Cara melakukannya sangat sederhana tergantung kepercayaan. Biasanya hanya makan nasi putih dan minum air putih yang tanpa lauk, tanpa rasa, dan tanpa bumbu. Kata orang zaman dulu tujuannya untuk melepaskan kenikmatan dunia yang sifatnya sementara, dan lebih fokus pada hal-hal yang sifatnya batin.

Bagi sebagian orang, puasa mutih dianggap sebagai bentuk “tirakat” dan ada juga yang menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada AllahSWT. Tapi sebagai seorang muslim, kita selalu diajarkan untuk menimbang setiap amal bukan hanya dari niatnya, tetapi juga dari tuntunan yang sesuai. Maka dari itu. apakah puasa mutih ini diajarkan dalam Islam? Apakah termasuk ibadah yang dicontohkan Rasulullah SAW?

Baca Juga:  Kenapa Harus Aku, Ya Allah?

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan tata cara ibadah. Tidak semua yang tampak baik bisa dikatakan ibadah, jika tidak ada tuntunannya dari Al-Qur’an dan sunnah. Dalam Islam, jenis-jenis puasa sudah dijelaskan mulai dari puasa wajib di bulan Ramadhan hingga puasa sunnah seperti Senin-Kamis, Arafah, Asyura, dan Ayyamul Bidh. Puasa ini bukan hanya menahan lapar dan haus tetapi juga mengatur niat, waktu, dan tujuan dengan jelas.

Jikalau puasa mutih dilakukan hanya sebagai bentuk menahan nafsu atau agar tubuh lebih sehat, tanpa meyakini ada pahala atau keutamaan ibadah di dalamnya maka itu tidak masalah. Islam sebenarnya sudah mengajarkan untuk membersihkan hati dan jiwa melalui dzikir yang tulus, shalat malam, puasa sunnah yang teratu. Puasa mutih mungkin bisa jadi cara tentang hidup yang lebih sederhana ataupun tentang menahan diri dari kenikmatan yang berlebihan. Tapi putihnya nasi tak akan sebanding dengan putihnya jiwa yang bersih dari riya, iri, dan dengki. Pada akhirnya suci bukan tentang apa yang ditahan di mulut, tapi apa yang dijaga dari dalam hati. [Neha Puspita Arum]

 

 

 

 

 

Related Posts

Latest Post