Pernikahan Bisa Menjadi Perayaan Terakhir bagi Anak dari Keluarga Kurang Mampu

ilustrasi pernikahan seorang perempuan dan laki-laki (Freepik.com - Almuhtada.org)

almuhtada.org – Di berbagai pelosok Indonesia, terutama pada masyarakat kelas menengah ke bawah, pernikahan seringkali dianggap sebagai momen puncak kehidupan. Bukan hanya sekadar simbol cinta, tetapi lebih dari itu, pernikahan dini menjadi semacam pintu keluar dari kenyataan hidup yang keras.

Angka pernikahan usia dini masih tinggi dan jika kita ingin memahami akar masalah ini kita perlu meniliknya dari dua sisi yaitu dari perspektif anak dan dari sudut pandang orang tua.

Bagi sebagian anak dari keluarga kurang mampu, pendidikan bukanlah jalur yang terbuka lebar. Ketika akses terhadap sekolah apalagi pendidikan tinggi sangat terbatas, maka pengalaman-pengalaman membangun jati diri yang biasanya hadir melalui pendidikan pun ikut menghilang.

Mereka tidak mengalami euforia ulang tahun bersama teman, perayaan sidang skripsi atau kebanggaan saat wisuda. Di sinilah pernikahan mengambil peran besar sebagai “satu-satunya panggung” dalam hidup mereka.

Pernikahan menjadi hari di mana mereka menjadi pusat perhatian (spotlight). Hari ketika semua mata tertuju padanya, ketika ia diperlakukan bak raja atau ratu dalam sehari dengan gaun, musik, dekorasi, dan foto-foto indah yang mungkin belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Momen ini memunculkan dopamine yang bisa sangat memuaskan, terlebih jika kehidupan sehari-hari mereka jauh dari rasa dihargai.

Namun, dorongan untuk merasakan “diperhatikan” ini muncul dalam usia yang masih rentan. Di usia remaja, kemampuan berpikir jangka panjang belum matang. Maka keputusan menikah pun seringkali diambil tanpa perhitungan matang dan yang terpenting ada perayaan, ada sorotan, dan mungkin ada harapan untuk hidup lebih baik setelahnya.

Baca Juga:  Hari Pertama Kuliah

Dari perspektif orang tua, pernikahan dini kerap menjadi solusi ekonomi. Saat keluarga kesulitan secara finansial, memiliki satu mulut yang berkurang untuk diberi makan adalah bentuk kelegaan. Terlebih jika anak perempuan menikah, ada harapan bahwa sang suami akan bertanggung jawab secara ekonomi. Ini bukan soal ketidakpedulian, melainkan strategi bertahan hidup.

Orang tua dalam kondisi ekonomi tertekan kerap tidak punya banyak pilihan. Pendidikan bukan prioritas utama jika perut belum kenyang. Dalam kondisi ini, anak yang menikah di usia muda dianggap telah mapan lebih cepat atau minimal sudah ada yang ikut bertanggung jawab terhadap kehidupannya.

Sayangnya, ini justru membuka pintu pada siklus kemiskinan baru di mana menikah muda, tidak sempat menyelesaikan pendidikan, sulit mendapatkan pekerjaan layak, dan akhirnya kembali hidup dalam kekurangan.

Permasalahan ini bukan tentang menyalahkan siapa pun tetapi soal bagaimana sistem dan kondisi sosial membentuk pilihan-pilihan yang diambil oleh masyarakat. Ketika negara belum mampu menjamin akses pendidikan merata, belum menyediakan ruang aman untuk remaja mengejar cita-cita, maka pernikahan dini akan terus menjadi jalan keluar yang semu sekaligus solusi instan yang justru menimbulkan masalah baru dalam jangka panjang.

Yang perlu kita lakukan adalah menghadirkan lebih banyak “panggung” bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Beri mereka kesempatan untuk merayakan pencapaian lain dalam hidup bukan hanya pernikahan. Perkuat akses pendidikan, buka ruang ekspresi dan pengembangan diri.

Baca Juga:  Mengapa Seorang Wanita Harus Berilmu?

Karena setiap anak berhak punya perayaan yang lebih dari sekadar pesta sehari. Mereka berhak atas hidup yang layak, masa muda yang penuh makna, dan masa depan yang menjanjikan. [] SHOLIHUL ABIDIN

Related Posts

Latest Post