Di era yang penuh dengan motivasi dan gelora semangat optimisme ini, kita sering diajarkan untuk selalu berpikiran positif dalam mengejar sesuatu. Tahukah kalian, ternyata terlalu mengandalkan positive thinking justru akan menjadikan pandangan kita bermata dua. Alih-alih membantu kita mencapai tujuan, pemikiran seperti ini hanya akan membuat kita terjebak dalam ilusi kesuksesan.
Positive thinking memperburuk keadaan
Dalam buku “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring menjelaskan bahwa “mereka yang selalu menerapkan positive thinking dalam mengejar sesuatu, sering kali mendapatkan hasil yang lebih buruk jika dibandingkan dengan mereka yang tidak menerapkan positive thinking”. Hal ini dikarenakan ketika kita menerapkan positive thinking, sering kali pikiran akan beranggapan bahwa kita telah mencapai hal tersebut, sehingga melemahkan keuletan yang seharusnya ditingkatkan.
Disebutkan pula dalam artikel “The Tyranny of Positive Thinking Can Thteaten Your Health and Happiness” di Newsweek, menyatakan bahwa positive thinking akan menyebabkan seseorang lebih depresi ketika mengalami kegagalan. Hal ini di karenakan seseorang akan secara implisit menyalahkan diri sendiri ketika merasa tidak bahagia akan hasil yang diperoleh, walaupun itu adalah kegagalan. Sebagai contoh seseorang sudah positive thinking bahwa ia akan lulus ujian masuk PTN, namun hasil yang diperoleh malah sebaliknya. Ditengah keterpurukan tersebut, ditambah ia merasa bersalah karena merasakan kesedihan itu sendiri (Mengapa saya bersedih akan hasil yang saya terima, mari tetap berfikiran positif saja). Ini bagai mendapatkan tinjuan kedua kali, bahkan tinjuan kedua lebih merusak ketimbang kegagalan itu sendiri.
Menerapkan Premeditatio Malorum
Premeditatio Malorum atau dapat juga disebut sebagai “premeditate evil” adalah suatu metode dimana kita disuruh untuk memikirkan hal-hal buruk yang mungkin akan terjadi.
“Awali setiap hari dengan berkata pada diri sendiri: hari ini saya akan menemui gangguan, orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, hinaan, penghianatan, niat buruk, dan keegoisan-semua itu karena pelakunya tidak mengerti apa yang baik dan yang buruk. Saya tidak bisa disakiti oleh itu semua, karena tidak ada orang yang bisa menjerumuskan saya ke dalam perbuatan buruk, dan saya mampu tidak menjadi marah atau membenci sesame saya; karena seseungguhnya kita dilahirkan ke dunia ini untuk bekerja sama.” -Marcus Aurelius
Secara sekilas premeditatio malorum mungkin terkesan seperti negative thingking. Premeditatio malorum dilakukan dengan cara memikirkan apa-apa atau siapa yang akan merusak hari kita. Ini merupakan suatu praktek dimana kita mengubah hal-hal “tak terduga” (kejutan) menjadi suatu hal yang “telah diantisipasi” (tidak lagi menjadi kejutan). Sehingga ketika kejadian itu benar-benar terjadi, efek tidak enaknya akan lebih tidak terasa.
Dalam filosofi Stoisisme, positive thinking menjadi salah satu hal yang perlu dihindari, karena dengan melakukan positive thinking dalam mencapai sesuai secara tidak sadar pikiran kita menangkap bahwa sesuatu hal positif itu telah terjadi atau telah diraih. Sehingga menurunkan keuletan yang seharusnya ditingkatkan. Alih-alih positive thinking, kita lebih disarankan untuk melakukan premeditatio malorum, yaitu memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja akan terjadi untuk menjadikannya suatu antisipasi. Namun terlepas dari semua itu dikotomi kendali juga sangat berperan dalam mempraktekkan premeditatio malorum. Kita akan membahas mengenai dikotomi kendali di artikel selanjutnya. Terimakasih. [Dela Kurniawati]