Al Muhtada.org- Kisah ini mengisahkan Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ulama besar dalam bidang hadis dan fiqih. Beliau merupakan putra dari seorang ibu tunggal bernama Shafiyyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Shafiyyah adalah sosok perempuan yang cerdas, tegar, dan tidak pernah mengeluh. Sejak kepergian suaminya, ia memutuskan untuk tidak menikah lagi dan mendedikasikan hidupnya untuk membesarkan Imam Ahmad seorang diri.
Dalam upaya memberikan pendidikan terbaik untuk putranya, Shafiyyah pindah ke Baghdad, sebuah kota yang saat itu dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Ia berharap anaknya dapat menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Di Baghdad, Shafiyyah menitipkan Ahmad kecil kepada seorang guru Al-Qur’an. Kecerdasan Imam Ahmad pun mulai terlihat sejak dini, dibuktikan dengan kemampuannya menghafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun.
Imam Ahmad pernah mengenang peran besar ibunya dalam perjalanan hidupnya:
“Ibundakulah yang menuntun diriku hingga aku hafal Al-Qur’an di usia 10 tahun. Ia selalu membangunkan aku jauh sebelum Subuh, memanaskan air karena cuaca Baghdad yang dingin, lalu memakaikan baju untukku. Setelah itu, kami pun menunaikan shalat bersama semampu kami.”
Shafiyyah juga memotivasi putranya untuk terus menuntut ilmu:
“Anakku, pergilah untuk menuntut ilmu hadis, karena hal itu adalah salah satu bentuk hijrah di jalan Allah. Sesungguhnya, Allah tidak pernah menyia-nyiakan titipan yang dipercayakan kepada-Nya. Aku titipkan dirimu kepada Allah yang selalu menjaga titipan-Nya.”
Berbekal doa dan dukungan ibunya, Imam Ahmad melanjutkan perjalanan ilmiahnya hingga ke Madinah. Sepulang dari perantauan, ia dinobatkan sebagai seorang imam besar yang menjadi rujukan utama dalam bidang hadis dan fiqih.
Kisah di atas bisa diterapkan oleh para ibu untuk diambil Ibrah dalam memilih kurikulum atau model pendidikan apa yang mestinya diberikan kepada anaknya kelak. [] Lailia Lutfi Fathin