Al Muhtada.org – Dalam kehidupan manusia, konsep Tuhan sering menjadi perdebatan panjang yang merangkum dimensi teologi, filsafat, dan sosial. Ketika Friedrich Nietzsche memproklamirkan “kematian Tuhan,” ia bukan menolak eksistensi Tuhan secara total, melainkan menggugat konsep Tuhan formal yang ia pandang sebagai penghambat kebebasan manusia.
Nietzsche menciptakan “tuhan baru” berupa kebebasan, yang ironisnya, menggantikan Tuhan lama dengan entitas lain yang ia sembah. Dalam konteks ini, ateisme yang dipahami sebagai ketiadaan Tuhan secara mutlak menjadi konsep yang problematis.
Sebagaimana diungkapkan Nurcholish Madjid, ateisme dalam bentuknya yang murni hampir tidak pernah benar-benar ada. Manusia, secara fitrah, selalu membutuhkan sesuatu untuk dijadikan sandaran. Bahkan paham-paham ateistik seperti komunisme pun menciptakan “tuhan baru” berupa ideologi, pemimpin, atau sistem yang dikultuskan.
Pemujaan terhadap figur seperti Stalin, Mao Zedong, atau Kim Jong Un adalah bentuk politeisme kasar yang menempatkan manusia pada kedudukan yang sejajar atau bahkan lebih tinggi dari Tuhan. Fenomena ini menunjukkan bahwa manusia tidak pernah benar-benar bebas dari problem ketuhanan.
Dalam Al-Qur’an, problem utama yang ditekankan bukanlah ateisme, melainkan politeisme (syirik). Syirik dianggap sebagai dosa besar karena ia merusak fitrah manusia yang seharusnya hanya bergantung kepada Sang Pencipta.
Ketika manusia menggantungkan dirinya pada hal-hal selain Allah, ia menurunkan derajat kemanusiaannya. Sebagaimana mitos, syirik mengangkat sesuatu yang tidak benar untuk dianggap lebih berkuasa dibanding manusia itu sendiri.
Sikap politeistik ini tidak selalu berwujud penyembahan terhadap berhala atau benda mati, tetapi juga dapat berbentuk penghambaan terhadap hawa nafsu, otoritas, atau bahkan cinta buta kepada seseorang.
Dalam kehidupan modern, manifestasi politeisme menjadi semakin beragam. Ketaatan buta terhadap tokoh agama, ahli, atau pasangan hidup sering kali menjadikan mereka “tuhan baru” yang menentukan arah hidup seseorang.
Tauhid dalam Islam, yang dirumuskan dalam kalimat La ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah), menawarkan solusi terhadap problem ketuhanan manusia. Formula ini mengandung dua unsur: negasi (penolakan terhadap tuhan palsu) dan afirmasi (penegasan terhadap keesaan Allah).
Tidak mungkin seseorang mencapai tauhid yang murni tanpa terlebih dahulu mengosongkan dirinya dari keyakinan terhadap tuhan-tuhan semu. Penegasan terhadap Allah hanya bermakna jika manusia sudah bebas dari segala bentuk ketergantungan kepada entitas selain-Nya.
Mengapa tauhid ini penting? Sebab, pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan membebaskan manusia dari belenggu penghambaan kepada apapun di luar dirinya. Tauhid mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai makhluk yang mulia, yang hanya tunduk kepada Sang Pencipta.
Oleh karena itu, problem ketuhanan manusia bukan sekadar persoalan teologis, melainkan isu eksistensial yang menyentuh inti dari apa artinya menjadi manusia. Menjaga kemurnian tauhid adalah upaya untuk memerdekakan diri dari semua bentuk perbudakan, baik terhadap hawa nafsu, ideologi, maupun otoritas palsu.
Dalam dunia yang penuh dengan “tuhan-tuhan baru,” tugas manusia adalah terus-menerus menafikan ilah-ilah palsu dan memperkokoh pengakuannya terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang sejati. [] Sholikul Abidin