Almuhtada.org – Keranda mayat merupakan salah satu benda yang sangat lekat dengan tradisi pemakaman dalam ajaran agama Islam. Keranda mayat adalah alat yang digunakan untuk membawa jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir, keranda memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam.
Dalam Islam, penghormatan terhadap jenazah adalah bagian dari adab yang diajarkan oleh syariat, termasuk cara mengurus, memandikan, mengkafani, menshalatkan, dan menguburkan jenazah.
Namun, dari mana asal-usul penggunaan keranda mayat ini? Apakah ia sudah digunakan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, atau merupakan inovasi budaya yang disesuaikan dengan konteks lokal masyarakat Muslim?
Simak artikel berikut agar kamu paham mengenai asal usul keranda mayat
Menurut Sirah Nabawiyah dan kitab Hilyah Al-Aulia, asal-usul keranda mayat berkaitan dengan sebuah kisah yang menunjukkan kemuliaan akhlak Sayidah Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW, dalam menjaga kehormatannya. Kisah ini menjadi inspirasi awal terciptanya keranda mayat, yang kini telah digunakan oleh umat Islam di berbagai belahan dunia.
Kisah ini menggambarkan rasa malu dan kehormatan yang dimiliki oleh Sayyidah Fatimah Az-Zahra menjelang wafatnya. Ketika beliau sakit, Asma binti Umais radhiyallahu ‘anha datang menjenguknya. Dalam percakapan mereka, Fatimah mengungkapkan kekhawatirannya:
“Wahai Asma, aku sangat malu jika nanti, setelah aku meninggal, tubuhku dibawa di hadapan para lelaki dengan peti mati seperti yang biasa digunakan.”
Pada masa itu, peti mati hanyalah sebuah papan kayu datar yang terbuka. Jenazah yang telah dikafani diletakkan di atasnya, kemudian ditutupi dengan kain tambahan.
Bentuk tubuh jenazah sering kali masih terlihat jelas di balik kain tersebut. Fatimah merasa sangat malu dan sedih jika lekuk tubuhnya dapat terlihat meskipun telah dibalut kain kafan. Beliau kemudian menyampaikan keprihatinannya:
Maka kemudian Sayidah Fatimah menyampaikan kepada Asma terkait kekhawatirannya itu :
إِنِّي قَدِ اسْتَقْبَحْتُ مَا يُصْنَعُ بِالنِّسَاءِ أَنْ يُطْرَحَ عَلَى الْمَرْأَةِ الثَّوْبُ فَيَصِفُهَا
“Sesungguhnya aku merasa malu dengan apa yang terjadi untuk para wanita ketika mereka dipakaikan sebuah kain kafan, maka kafan itu membentuk tubuhnya”.
Mendengar curhan hati dari Fatimah , maka Asma bintu Umais berkata padanya:
يَا ابْنَةَ رَسُولِ اللهِ أَلَا أُرِيكِ شَيْئًا رَأَيْتُهُ بِالْحَبَشَةِ
“Wahai putri Rasulullah , maukah aku kabarkan kepadamu sebuah peti mati yang aku lihat di Habasyah?” Maka Asma membuat peti mati yang tertutup dari semua sisinya seperti sebuah kardus.
Ketika peti mati sudah jadi, Asma kemudian menutup peti mati itu kembali dengan sebuah kain yang luas maka tubuh mayit yang dibawa di atasnya tidak akan mungkin terbentuk atau tersifati. Melihat perbuatan Asma tersebut, Fatimah begitu bahagia. Seketika, Fatimah berkata kepada Asma:
سترك الله كما سترتني مَا أَحْسَنَ هَذَا وَأَجْمَلَهُ تُعْرَفُ بِهِ الْمَرْأَةُ مِنَ الرَّجُلِ فَإِذَا مِتُّ أَنَا فَاغْسِلِينِي أَنْتِ وَعَلِيٌّ
“Semoga Allah menutup auratmu sebagaimana engkau telah berusaha untuk menutup auratku.”
“Betapa indahnya buatanmu ini, sehingga wanita yang meninggal bisa dibedakan dengan lelaki yang meninggal. Jika aku mati, maka mandikanlah diriku bersama Ali” (HR. Abu Nu’aim Al-Asbahani pada Hilyah Al-Aulia 2/43).
Subhanallah, kisah Sayyidah Fatimah Az-Zahra radhiyallahu ‘anha mengajarkan kita betapa tinggi rasa malu dan kehormatan yang beliau miliki, bahkan saat menjelang wafat. Meskipun tubuh beliau nantinya telah tertutup sempurna dengan lima lapis kain kafan, rasa malu itu tetap memenuhi hati beliau. Fatimah tidak mencurahkan perasaannya di tempat umum seperti pasar atau taman, melainkan dalam kondisi yang penuh kerendahan hati di ambang kematian.
Jika Sayyidah Fatimah menyimpan rasa malu begitu mendalam setelah wafat, bagaimana seharusnya wanita yang masih hidup menjaga rasa malu mereka? Betapa ironis jika dibandingkan dengan keadaan sebagian wanita di zaman sekarang yang kehilangan rasa malu, melepaskan hijab, dan memilih pakaian yang ketat atau minim hingga mengundang perhatian yang tidak pantas. Jika Sayyidah Fatimah menyaksikan pemandangan ini, apa yang akan beliau katakan?
Wanita masa kini sering kali lupa bahwa dengan menampilkan keindahan tubuh secara terbuka, mereka mengundang pandangan yang penuh syahwat dari laki-laki. Padahal, rasa malu adalah perisai utama kehormatan seorang wanita. Rasulullah SAW bersabda bahwa malu adalah sebagian dari iman, dan Sayyidah Fatimah telah mencontohkan bagaimana menjaga rasa malu sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala. [Juliana Setefani Usaini]
Ketinggian derajat Sayyidah Fatimah di sisi Allah adalah cerminan dari keimanan yang sempurna, yang menjadikan beliau panutan bagi wanita Muslim. [] Juliana Setefani Usaini