Hukum Gugat Cerai Karena Kebiasaan Buruk Suami Menurut Perspektif Hukum Islam

Ilustrasi hukum istri menggugat cerai suami yang berkelakuan buruk
Ilustrasi hukum istri menggugat cerai suami yang berkelakuan buruk (Pinteret - Almuhtada.org)

Almuhtada.org – Perceraian adalah sebuah keadaan dimana sepasang suami istri memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan masing masing. Perceraian di dalam islam tentu saja tidak diperbolehkan dilakukan dengan sembarangan.

Perceraian dapat di gugatkan ke pengadilan agama dengan harus berdasar pada alasan alasan tertentu yang memungkinkan untuk merugikan diantara salah satu pihak pasangan.

Lantas apakah kebiasaan kebiasaan buruk pada suami bisa di jadikan alasan untuk perceraian dalam hukum islam?

Dalam kehidupan rumah tangga, pernikahan bertujuan untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun, tidak jarang masalah muncul dan menyebabkan ketidakharmonisan. Ketidakharmonisan ini

Dalam hukum Islam, gugatan cerai oleh istri terhadap suami dikenal sebagai khul’, yaitu permohonan perceraian dari pihak istri dengan alasan tertentu, termasuk kebiasaan buruk suami.

Kebiasaan buruk yang dimaksud bisa berupa perilaku yang merugikan istri secara fisik, emosional, atau finansial, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kecanduan, tanggung jawab kurang, atau kebiasaan buruk lainnya yang membuat kehidupan berumah tangga tidak lagi harmonis.

Dalam hukum Islam, jika seorang suami memiliki kebiasaan buruk yang berdampak negatif pada kenyamanan istri, istri dapat mengajukan gugatan cerai. Misalnya, jika suami terlibat dalam kekerasan atau sering lalai terhadap kewajibannya sebagai suami, hal ini dapat menjadi dasar bagi istri untuk menuntut gugat cerai.

Dalam QS. Al-Baqarah ayat 231, Allah berfirman:

Baca Juga:  Inilah Perlakuan Kepada Jenazah yang Baru Saja Meninggal!

Artinya: “Dan apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang patut atau lepaskanlah mereka dengan cara yang patut (baik-baik)…”

Hadis Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa seorang istri yang merasa tidak lagi mampu hidup bersama suaminya karena alasan tertentu dapat mengajukan khul’.

Dalam kasus gugatan cerai, istri harus mengajukan permintaan perceraian di hadapan pengadilan agama. Khul’ adalah keadaan di mana istri meminta cerai dan mungkin harus memberikan tebusan berupa mahar yang diberikan suami ke istri pada saat pernikahan.

Dasar hukum khulu’ terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Selain ayat dalam Al-Baqarah, Hadis Rasulullah SAW diatas juga menyebutkan bahwa seorang istri dari Tsabit bin Qais meminta cerai kepada Rasulullah karena suaminya telah berani melakukan kekerasan kepadanya, sehingga disini Rasulullah mengatakan “Ambillah kembali apa yang pernah kamu berikan kepada istrimu, dan lepaskanlah dia”.

Rasulullah kemudian mengabulkan permintaan tersebut dengan syarat istri mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suaminya. dan disini telah terjadilah khul antara Tsabit bin Qais dan isterinya yang bernama  Rubayyi‟ binti Mu‟awwidz.  Hal ini dilakukan untuk menyelesaikan ikatan pernikahan, namun kebiasaan buruk suami dapat menjadi alasan kuat tanpa tebusan jika terbukti ada ketidakwajaran seperti kekerasan atau penelantaran.

Dalam hukum Islam, hakim akan menilai alasan yang diajukan istri. Jika alasan-alasan tersebut dianggap benar, seperti kebiasaan buruk yang membahayakan kehidupan rumah tangga jika terus dilanjutkan, maka hakim dapat mengabulkan permohonan cerai.

Baca Juga:  Sunnah yang Membantu Menghapus Dosa Kecil

Setelah cerai, istri berhak mendapatkan hak-haknya, termasuk nafkah iddah dan nafkah anak-anak jika memiliki anak dari pernikahan tersebut. [] Nailatuz Zahro

Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah

Related Posts

Latest Post