Almuhtada.org – Ghibah sebenarnya bukanlah hal yang baik untuk dilakukan, namun ada kondisi bahwa kita diperbolehkan untuk melakukannya. Inilah kondisi dimana ghibah itu diperbolehkan dan tidak ada dosa bagi kita. Sebelum itu kita perlu tahu dulu apa itu ghibah.
Ghibah adalah menyebut atau membicarakan sesuatu yang tidak disukai oleh orang lain (saudara kita). Jadi selama yang kita bicarakan bukanlah unsur kejelekan maka hal tersebut tidak dianggap sebagai ghibah.
Orang-orang disekitar banyak yang masih salah paham, dikiranya jika membicarakan orang lain itu pasti disebut sebagai ghibah, padahal itu belum tentu. Ingat selama tidak ada unsur menjelekan maka itu tidak bisa disebut sebagai ghibah.
Kemudian kita juga bisa saja didalam suatu kondisi dimana kita membicarakan kejelekan orang lain, namun kita juga tidak mendapatkan dosa. Lalu apa kondisinya? Al-Imam Nawawi menyebutkannya dalam enam kondisi, yakni :
Yang pertama ghibah untuk spek-up tentang orang yang mendzalimi kita. Misalnya, kita sekarang sedang didzalimi oleh seseorang. Lalu kita spek-up bahwasanya kita sedang didzalimi oleh orang tersebut. Kita sebagai pihak yang didzalimi boleh untuk ber spek-up. Dalam hal ini hukumnya halal jika kita membicarakan orang yang sedang mendzalimi kita.
Yang kedua, ghibah untuk meminta bantuan agar pelaku keburukan berubah. Contohnya, ketika ada orang yang melakukan tindakan-tindakan keburukan. Kemudian kita melaporkannya kepada orang yang kira-kira punya kendali atas dirinya.
Contoh ketika ada seorang murid yang nakal yang melakukan tindakan yang diluar batas, kemudian kita melaporkannya ke guru nya, dan meminta guru nya untuk menegurnya. Maka dalam kondisi tersebut kita diperbolehkan kejelekkan atau tindakan yang dilakukan oleh murid kepada gurunya.
Yang ketiga, ghibah untuk meminta fatwa kepada seorang ulama. Contohnya ketika kita mengetahui bahwa ada seseorang yang melakukan tindakan keburukan kemudian kita menceritakannya kepada seorang ulama untuk menanyakan hukumnya, maka itu boleh walaupun dianjurkan jangan menyebutkan nama seseorang tersebut.
Yang keempat, untuk mentahdzir atau menasehati orang agar menjauhi seseorang yang membawa dampak keburukan dalam Islam. Contohnya ketika ada orang yang membuat fatwa aneh, hadits palsu, membicarakan hal yang tidak jelas tentang agama, maka kita boleh menyebarluaskan kejelekkan tersebut untuk mengklarifikasi orang tersebut , maka ini termasuk ghibah yang diperbolehkan.
Yang kelima, ghibah untuk orang yang terang-terangan dalam melakukan maksiat (tidak berlaku bagi yang sembunyi-sembunyi). Misalnya, ada orang berbuat zina namun dibuat sebagai suatu konten, secara sengaja atas dasar kemauan dia sendiri. Maka ini tidak berdosa untuk kita mengghibahi orang semacam ini.
Yang keenam, ghibah untuk mengenalkan karakteristik. Ghibah untuk mengenalkan karakteristik disini memiliki suatu catatan dengan tidak untuk menjelekkan. Contohnya, ada seorang yang memiliki badan yang gemuk lalu kita sedang menceritakan orang tersebut pada orang lain dan itu bukan tentang keburukannya.
Kemudian orang yang kita ajak cerita ternyata kurang paham dengan orang yang kita maksud, lalu kita menyebutkan bahwa “ituloh orangnya yang memiliki badan gemuk”, namun disini kita menyebutkan kata “gemuk” bukan untuk maksud menjelekkan, namun sebagai unsur menyebutkan karakteristik orang yang kita maksudkan. [] Aisyatul Latifah
Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah