Oleh: Zeti Pazita
Semilir angin berhembus menelusup diantara rindangnya dedaunan pohon saga di tepi jalan sepi itu. Jika berjalan 20 meter ke arah barat daya darinya akan kau temukan sejulur tiang lampu yang tak pernah padam menghiaskan cahaya bagi jalan di kegelapan malam. Di bawahnya dapat kau jumpai sepasang kursi kayu tempat bersinggah. Kursi itu tak saling berhadapan, pun tak saling berpunggungan. Hanya saling berderet menggenggam satu dengan yang lain, seakan takut akan ancaman perpisahan.
Aku berjalan menyusuri jalanan sore dengan langkah setengah diseret. Baru-baru ini aku kehilangan semangat dan harapan tentang tujuan pulang. Ku lihat sepasang kursi lengang dibawah seonggok tiang, maka ku hampiri untuk beristirahat sejenak. Ku rebahkan bahu yang sarat akan keluh kesah duniawi di atas sandarannya. Ku pejamkan mata. Melodi penuh elegi bersusulan menyerbu isi kepalaku demi menumpahkan air mata. Ku nikmati dan ku biarkan mengalir begitu saja. Ku tenggelamkan diri di dalam lautan pikiran.
Selang beberapa waktu, sebuah suara membuyarkan ratapanku. Aku terkesiap dan langsung membenarkan posisiku. Aku duduk dengan sedikit kaku dan menunduk. Dalam diam, ku perhatikan. Waktu dan sepi menyapa bersusulan. Aku tertegun pada bayangan diri. Seakan tak siap menanggapi. Entah perihal rasa yang mana, aku bahkan sudah sedikit lupa. Entah kesedihan mana yang menyelimuti, aku bahkan sudah tak tau pasti. Namun, satu hal yang aku yakini bahwa setiap pertemuan akan menghantarkan diri pada gerbang perpisahan. Pun yang sedang aku hadapi. Karena sudah cukup bagiku menahan kepergiannya.
Karena jika kekaguman kita tak saling membawa pada jalan Tuhan Yang Menciptakan, sungguh kita sudah saling melalikan. Maka bergegaslah tinggalkan. Agar tak ada luka yang semakin menganga. Agar tak ada harap yang semakin melangit. Agar terjaga rasa dari hinanya patah hati di dalam kubangan dosa. Maaf, jika terluka, namun harus agar kita tau bahwa ada yang lebih indah dari sekedar cinta kepada makhluk. Cinta dan ridha-Nya adalah segala.
Wahai hati, berhenti mengingkari diri sendiri. Tak mengapa jika pada akhirnya tak bersama. Namun untuk saat ini, mari saling jaga dalam doa. Hantarkan puisi cintamu pada langit-Nya. Biarkan Allah mengurus sisanya. Karena usaha dan percaya adalah kombinasi tepat untuk menjaga hati. Puji syukur pada-Nya yang hingga saat ini masih memberikan kesempatan untuk saling kembali. Selamat berjumpa lagi pada versi terbaik diri.
Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.