Oleh :
Gema Aditya Mahendra
“Everything we hear is an opinion, not a fact. Everthing we see is a perspective not the truth” – Marcus Aurelius. Apakah ada yang disebut dengan kebenaran mutlak? Misalkan kamu mengatakan bahwa warna lautan itu adalah biru, kemudian seorang tunanetra mengatakan bahwa warna lautan itu hitam pekat. Siapa yang benar? siapa yang salah? Dan apa tolok ukurnya untuk menyatakan salah dan benar?. Jika ada sebuah pernyataan yang menyatakan “Jakarta merupakan ibukota Indonesia” Apakah pernyataan tersebut mutlak benar? Bisa saja benar namun bisa juga salah, sebab sebelumnya Batavia, Jayakarta, dan Yogyakarta, pernah menjadi Ibukota Indonesia. Tidak ada jaminan pula bahwa 5 tahun kedepan Jakarta masih menjadi ibukota Indonesia, sekarang saja sedang digadangkan isu mengenai pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan. Artinya pernyataan tersebut belum mutlak benar, sebab masih dapat berubah nilainya bergantung pada waktu tertentu. Lalu apa yang disebut dengan kebenaran mutlak?
Apakah matematika sebagai ilmu ‘pasti’ adalah letak kebenaran mutlak?. Bagi anda 2+2 adalah 4, ya bisa saja benar jika merujuk pada penyepakatan yang telah dilakukan oleh para matematikawan sebelumnya. Lalu bagaimana jika saya mengatakan bahwa 2+2=22 karena nilai “+” menurut hemat saya adalah mekanis mendekatkan dua objek menjadi satu, apakah saya salah? Belum tentu juga karena matematika hanyalah bahasa. Penafsiran kita terhadap objek yang kita anggap memiliki pola dan periode kita konversikan kedalam angka-angka itulah yang kita sebut sebagai matematika. Bahkan didunia yang memuat berbagai macam entitas pun masih menjadi perdebatan apakah setiap objek dengan objek lain itu memiliki kausalitas yang berpola dan terstruktur (Pattern and Periodic) atau sekadar objek acak yang kebetulan ada (Randomness Theory).
Kebenaran mutlak atau absolute truth adalah kebenaran hakiki, sesuatu yang dapat kita nyatakan keseluruhan secara objektif. Kebenaran mutlak itu bersifat tunggal dan merupakan titik acuan bagi apapun yang dapat dikatakan relatif. Kebenaran mutlak ini juga harus universal dan berlaku untuk apa pun, siapa pun, dan kapan pun. Kebenaran mutlak juga bersifat kekal artinya tidak temporer, tidak akan berubah jika dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Kebenaran mutlak juga integral, artinya tidak boleh diperdebatkan dan tanpa salah sedikitpun (Kebenaran sesungguhnya). Contoh-contoh mengenai warna, ibukota Jakarta, dan matematika yang sudah saya sebutkan masih merupakan kebenaran relatif karena masih terikat oleh ruang waktu (kondisional) dan tidak bersifat universal.
Antitesis dari Absoluth Truth adalah Teori Keraguan Ala Rene Descartes (Scepticism Paradigm) yang menganggap bahwa basis kepercayaan haruslah mulai dari nol. Semua itu relatif, tidak ada kebenaran absolut. Apakah Ir.Soekarno itu benar-benar ada? Untuk meyakinkan bahwa beliau ada, paling tidak kamu harus melihatnya secara langsung dengan mata kepalamu sendiri walaupun tentu sebenarnya masih lebih kompleks jika menganggap bahwa dunia ini hanyalah propaganda dari simulasi tertentu. Memang benar ribuan ahli sejarah dan bahkan ilmuwan pun saat ini menyatakan bahwa Ir.Soekarno memang benar-benar ada karena bisa ditelisik rekam jejaknya, foto lawas beliau, dan konfrensi pers yang ada kala itu. Tapi tetap para penganut skeptisisme ini menanggap bahwa hal tersebut bisa jadi salah, Ir. Soekarno bisa jadi tidak eksis, dunia ini bisa jadi hanya ilusi, dan lain sebagainya.
Jika ingin melangkah lebih jauh, proses dialektika dari tesis Absoluth Truth dan antitesisnya yaitu Scepticism/Relativity ini melahirkan sintesis baru, yaitu Kesepakatan. Kesepakatan menyatakan bahwa suatu fenomena bisa mendekati kebenaran tapi tidak seutuhnya. Sesuatu yang dianggap benar bisa jadi mendekati kebenaran ketika setiap sumber informasi memiliki jawaban seragam atas fenomena yang diteliti. Misalkan 99% dari 1 juta orang menyatakan bahwa warna laut itu biru, maka berdasarkan teori kesepakatan dapat kita jadikan pegangan bahwa warna laut itu biru meskipun secara teori logika hal tersebut dikategorikan Argumentum Ad Populum Fallacy.
Klaim yang mengatakan bahwa kesepakatan rasio adalah mutlak objektif merupakan kekeliruan. Sebab kedua hal tersebut dua hal yang kontradiktif. Kesepakatan adalah intersubjektif bukan keobjektifan. Klaim sains pun sejatinya menurut asumsi ekstrim skeptisisme, juga masih bisa diragukan sebagai subjektivitas konvensional yang antroposentris. Sementara kita terbatas pada indera-indera ini, kita hanya bisa membedah suatu objek analisis melalui indera yang kita punyai saja. Kita tidak akan pernah tahu bila suatu objek analisis ternyata bisa dirasakan, di-experience melampaui indera yang kita punya atau properti yang dimilikinya lebih dari yang kita ketahui, hanya karena “kelebihan” itu tak terdeteksi oleh kita. Because we don’t have the sense. Sebagai contoh begini, misalkan saja ada hewan A yang karnivora, kucing. Dia tidak bisa mengecap rasa manis. Jika kucing ini melakukan observasi dan membuat conclusion/claim science terhadap gula, maka hasilnya akan parsial (tidak utuh) karena dia tidak suka manis tau bahkan tak punya sense untuk merasakan manis. Hasil observasi kucing hanya terbatas pada kemampuan subjektifnya. Coba bayangkan jika hal ini terjadi pada manusia (meskipun secara biologis kita adalah hewan, Zoon Politicon), kejujuran belum tentu bernilai positif, seperti yang disampaikan tadi. Positif atau negatif dari kejujuran itu jatuh pada sistem moralitas yang dianut. Jujur itu positif atau tidaknya tergantung outcome atau hasil akhirnya.
Bayangkan di suatu negara miskin yang sedang mengalami krisis berat, huru-hara dan kelompok militan mengepung masyarakat. Kelompok militan ini punya armada perang besar karena di-backing oleh negara Adidaya yang mau menghancurkan negara tersebut atas dendam masa lalu. Kemudian seorang presiden dari negara miskin tersebut memegang “kunci” final yang akan menentukan nasib seluruh seratus juta masyakaratnya yang disandera oleh negara adidaya tersebut. Dia hanya perlu menjawab singkat “iya/tidak”, jika iya maka dia berbohong. Namun, kebohongannya akan membebaskan seratus juta nyawa masyarakat yang innocent dan unarmed. Namun jika dia menjawab jujur dengan berkata “tidak”, dia jujur namun tidak tak akan menyelamatkan siapa-siapa selain dirinya sendiri. Semua hidup mati ratusan juta rakyatnya bergantung pada ujung lidahnya, sebatas kata ya dan tidak. Jika jujur, semua orang akan mati. Jika berbohong, semua orang akan selamat. Jadi haruskah dia berbohong atau tidak? Jawabannya jelas relatif.
Sebagai simpulan, di dunia yang serba relatif ini, maka kembali ke pertanyaan awal, apakah ada yang disebut dengan absolute truth? Yaa saya sendiri tidak bisa memastikan. Tapi kalau pun ada, yang jelas manusia bukanlah letak sumber kebenaran absolute truth karena manusia tidak memenuhi syarat-syaratnya. Ketika absolute truth terdapat pada objek lain, dan manusia berargumen untuk menafsirkan setiap kata, sifat, dan perbuatan yang dikeluarkan oleh objek tersebut maka akan menjadi relatif karena argumen tersebut dikeluarkan oleh manusia. Kita anggap absolute truth dari rasa apel adalah manis, namun
ketika manusia mengucapkan bahwa apel itu manis, maka akan menjadi relatif. Oleh sebab itu, mustahil kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia. Dengan sifat manusia yang serba relatif, paling tidak kita harus sadar bahwa setiap pendirian, keputusan, dan perbuatan yang kita lakukan hanyalah kebenaran relatif. Kita terkadang melupakan hal ini dan cenderung lebih suka memutlakkan sesuatu yang relatif.
Penulis adalah Santri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang