Reanalysis Makna Kesetaraan Perempuan Bareng Abi Quraish

Oleh: Fafi Masiroh

Hari Minggu yang spesial adalah waktu yang tepat untuk membahas yang spesial. Bukan lagi martabak yang spesial, tetapi kaum perempuan jauh lebih spesial. Mayoritas kaum perempuan pasti sangat setuju dengan pernyataan saya bahwa mereka itu spesial lebih dari martabak, karena saya sendiri salah satu bagian dari kaum perempuan. Pun sebenarnya tidak karena itu saja, karena perempuan sebenarnya juga memiliki berbagai kemampuan yang membuatnya begitu spesial.

Sudah bukan kabar baru lagi jika perempuan, lebih spesifiknya perempuan yang sudah menikah (istri) dituntut untuk memiliki berbagai kemampuan dan tanggung jawab. Sang istri harus bangun pagi sebelum orang-orang di rumah terbangun, ia harus membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan di pagi buta untuk kemudian membantu anak dan suami pergi ke sekolah ataupun berangkat kerja. Hingga kemudian ia baru bisa memenuhi kebutuhanya setelah seluruh hal yang dianggap “kewajibannya” sudah selesai. Keadaan tersebut yang mendorong beberapa oknum untuk meminta “kesetaraan” bagi perempuan. Sayangnya, pemahaman perihal “kesetaraan” bagi perempuan kerap kali salah diinterpretasi oleh masyarakat umum. Makna kesetaraan bukan berarti perempuan menuntut kebebasan, jabatan ataupun kedudukan yang sama dengan laki-laki. Melainkan, menurut Abi Quraish Shihab dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa makna kesetaraan bukan berarti sama. Makna kesetaraan bagi perempuan menurut beliau yaitu ada beberapa pekerjaan yang diemban oleh perempuan tetapi mustahil diemban oleh laki-laki, pun ada pekerjaan yang diemban laki-laki tetapi berat jika harus diemban oleh perempuan. Keadaan yang seperti itu kemudian mendorong perempuan dan laki-laki untuk saling melengkapi dan menghargai sehingga menjadikan makna kesetaraan di antara keduanya.

Baca Juga:  Kita adalah Perempuan yang Membangun Peradaban

Problematika saat ini yang kerap kali terjadi yaitu budaya patriarki yang masih saja dibudidayakan. Perempuan tidak jarang dianggap sebagai suatu “barang” yang cantik dengan keontetikan paras dan postur tubuhnya. Misalnya yang sering terdengar dalam suatu akad seorang bapak mengatakan “kuserahkan anakku kepadamu” kepada sang laki-laki layaknya sebuah barang yang dialih pindahkan kekuasaannya. Padahal ucapan yang seharusnya alangkah lebih baik jika “kupasangkan anakku denganmu” yang menunjukkan makna kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Budaya patriarki ini justru sering dianggap lahir dari pemahaman agama islam. Misalnya makna suami sebagai imam keluarga sering diartikan bahwa suami memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan sesuatu dalam setiap keputusan. Sedangkan menurut Abi Quraish “suami sebagai imam keluarga” dalam pemahaman islam yang sebenarnya yaitu suami berkewajiban memimpin untuk berdiskusi dan bermusyawarah dalam menentukan setiap keputusan. Sejatinya dalam agama islam perbedaan antara perempuan dan laki-laki yaitu hanya pada kodrat.

Budaya patriarki jika masih saja dibudidayakan akan sangat mempengaruhi penurunan keberlansungan kehidupan di dunia. Misalnya saja beberapa perempuan di Jepang mengklaim dirinya untuk selalu lajang karena efek dari budaya patriarki. Mengutip japanesestation.com bahwa angka pernikahan di Jepang pada tahun 2018 mengalami titik terendah. Akibatnya pada tahun 2019 angka kelahiran bayi sangat rendah dan menurunkan produktivitas dalam segala bidang ke depannya. Hal tersebut yang menunjukkan bahwa makna kesetaraan perlu dianalisis kembali baik bagi kaum perempuan sendiri ataupun kaum laki-laki. Harapannya dengan analisis ulang tersebut, misinterpretasi perihal makna kesetaraan menjadi lebih jelas untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam menghapus budaya patriarki.

Baca Juga:  Resensi Buku: Politik Para Teroris

Budaya patriarki memang problem yang sering kali dibahas tetapi masih saja sulit untuk mendapatkan solusinya. Oleh karena itu diperlukan solusi dari kedua belah pihak, yaitu antara perempuan dan laki-laki. Kuncinya diperlukan kerja sama dan saling menghargai. Perempuan sendiri juga sebaiknya dituntut memiliki tanggung jawab untuk selalu berusaha mendapatkan kesetaraan tersebut. Perempuan juga perlu mendapatkan penguatan-penguatan untuk lebih menyadari atas keberdayaannya dalam memenuhi kebutuhan di sekelilingnya.

Referensi:

https://japanesestation.com/lifestyle/life-relationship/mengapa-wanita-jepang-tidak-mau-menikah diakses pada 8 Agustus 2021.

Penulis merupakan Mahasantri Pesantren Riset Al-Muhtada dan Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.

Related Posts

Latest Post