Lima Kaidah Fikih: Pondasi dalam Penetapan Hukum Islam

Ilustrasi penetapan hukum islam
Ilustrasi penetapan hukum islam (Freepik.com - Almuhtada.org)

Almuhtada.org – Ilmu fikih adalah ilmu yang wajib dipelajari karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari manusia dalam beribadah.

Fikih juga tidak lepas dari pemecahan-pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memecahkan masalah atau persoalan tersebut diperlukan kaidah yang menjadi pedomannya. Apa saja sih kaidah-kaidah tersebut? Mari simak artikel berikut

1.  الأمور بمقاصدها (Segala sesuatu tergantung tujuannya)

Dasar hukum kaidah ini adalah:

إِنَّمَاالْأَعْمال بالنِّيَّةِ

Yang artinya : Segala sesuatu tergantung dengan niat.

Hadits tersebut adalah hadits yang shahih.  Hadits tentang niat tersebut merupakan sepertiga ilmu dan  Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Dawud dan lainnya sepakat mengenai hal ini. Tujuan adanya niat adalah untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan atau adat yang serupa dengannya. Begitu juga dengan ibadah yang wajib  dengan ibadah yang sunah maupun ibadah lainnya.

Contoh dalam membedakan ibadah dengan kebiasaan yaitu mandi sehari-hari dengan mandi jinabah atau mandi besar dimana sama-sama membersihkan badan namun hanya dibedakan dengan niat. Contoh lainnya yaitu puasa. Karena dalam puasa sama dengan orang yang tidak makan atau minum tanpa diniati.

Contoh dalam membedakan antara ibadah wajib dan sunah seperti shalat fardhu dan shalat sunah.

2. اليقين لا يزول بالشك(Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan sebab kerugian)

Dasar hukum kaidah ini adalah:

عَنْ أَبِي سَعِيدِ الْخُدْرِيِّ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا شَلَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِكُمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَ وَلَيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ مُسْلِمٌ

Baca Juga:  Berwudhu dengan Air Hangat yang Terkena Terik Matahari Apa Hukumnya?

Artinya : Ketika salah satu diantara kalian ragu dalam shalat, dan tidak tahu apakah sudah tiga atau empat rakaat, maka buanglah keraguan, dan tetapkan rakaat yang diyakini.

Kaidah ini diterangkan secara lanjut yaitu :

  1. Kaidah baqa’ ma kana ‘ala ma kana (Keadaan yang ada menetapi keadaan sebelumnya), artinya hukum yang berlaku sebelumnya tetap berlaku sebelum datang hukum yang baru, contohnya : Orang yang yakin bahwa dirinya suci, kemudian ragu apakah dirinya berhadas atau tidak, maka dihukumi suci. Dan orang yang yakin dirinya berhadas, kemudian ragu apakah sudah wudhu atau belum, maka dihukumi hadas.

Permasalahan yang tidak dibolehkan menggunakan kaidah ini yaitu orang yang akan shalat Jum’at tetapi ragu, apakah waktunya masih cukup untuk melaksanakan khutbah sekaligus shalat dua rakaat atau tidak. Dalam masalah ini tidak boleh shalat jum’at dan harus shalat dhuhur. Dan orang mempunyai harta yang sudah mencapai satu nishab, kemudian orang itu ragu, apakah ukurannya berkurang atau tidak. Maka, keraguan ini dapat mempengaruhi dan ia wajib menyempurnakan ukurannya. Sebab ada kemungkinan salah dalam penimbangan.

  1. Kaidah bara’ah adz-dzimmah (bebas dari menanggung hak-hak orang lain ketika hak-hak tersebut tidak menjadi tanggungan seseorang), artinya yaitu satu orang saksi saja tidak bisa menjadi dasar penetapan seseorang harus menanggung hak-hak orang lain, selama tidak ada bukti pendukung lain atau sumpah dari pihak penuntut.
  2. Kaidah man syakka hal fa’ala syai’an am la, fal ashl annahu lam yaf’alhu(orang yang ragu, apakah telah melakukan sesuatu atau belum, maka ida dihukumi ia belum melakukannya). Contohnya, orang yang ragu apakah telah melaksanakan qunut atau belum, maka dianjurkan melakukan sujud sahwi.
  3. Kaidah man tayaqqana al-fi’la wa syak fi al-qalil au al-katsir hummail ‘ala alqalil (orang yang yakin telah melakukan suatu perbuatan, dan ragu tentang sedikit banyaknya, maka dihukumi baru melakukan yang sedikit). Contohnya, orang yang sedang shalat dan ragu apakah telah mengerjakan dua atau tiga rakaat, maka dihitung baru melakukan duarakaat. Karena dua rakaat adalah jumlah yang tersedikit.
Baca Juga:  Inilah Rukun Haji dan Umrah yang Perlu Dipahami Oleh Umat Islam

Dan masih banyak yang lainnya.

3. المشقة تجلب التيسير (Kemudahan menuntut kesulitan)

Dasar dari kaidah ini adalah :

  1. a) Firman Allah Swt yang artinya : Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al-Hajj [22]:78)
  2. b) Terdapat juga dalam firman Allah Swt yang artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah [2]:185)

Sebab-sebab rukhsah (kemudahan atau keringanan) ada tujuh yaitu: Safar (bepergian), sakit, ikrah (keterpaksaan), nisyan (lupa), jahl (ketidaktahuan), ‘usr (kesulitan) dan naqshu (sifat kurang).

4. الضَّرَرُ يُزَالُ (Bahaya harus dicegah)

Dasar pengambilan kaidah ini adalah hadits Nabi Saw yang artinya : Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.

Kondisi darurat menurut Imam as-Suyuthi, ada 2 kaidah, yaitu kondisi darurat membolehkan keharaman dan perkara yang dibolehkan karena darurat dibatasi sesuai kadar kedaruratannya (seperlunya).

5. الْعَادَةُ مُحَكَمَةٌ (Kebiasaan bisa dijadikan sebagai hukum)

Dasar kaidah ini adalah hadits Nabi Saw yang artinya : apa yang dilihat (dianggap) baik oleh seorang muslim, maka menurut Allah Swt. adalah baik.

Adat adalah kebiasaan yang tidak atau sulit  untuk dirubah dan dilakukan secara berulang-ulang. Dalam kaidah ‘adah mu’tabarah, adat bisa dijadikan pedoman hukum jika berlaku secara merata di suatu daerah. Dengan gambaran adat di suatu daerah berbeda-beda, dari satu orang dengan orang lain berbeda-beda, maka adat seperti ini tidak bisa dijadikan pijakan hukum. [] Rani Alfina Rohmah

Baca Juga:  Mengapa Beberapa Hukum Islam di Indonesia Bercampur dengan Kebudayaan Tradisional?

Editor: Mohammad Rizal Ardiansyah

Related Posts

Latest Post