almuhtada.org – Kesusastraan Jawa merupakan cermin peradaban Nusantara yang tak hanya mencatat sejarah, tetapi juga menyimpan berbagai mitos dan filosofi. Dalam gulungan-gulungan Babad dan Serat kuno, kita juga tak jarang menemukan kisah epik penyebaran Islam yang dilakukan oleh Walisongo. Namun, di antara cerita-cerita keagungan para Wali tersebut, terselip satu sosok yang selamanya menjadi kontroversi dalam kisah perjuangan para Wali, ialah Syekh Siti Jenar. Ia adalah figur yang bahkan asal-usulnya diselimuti misteri, konon lahir dari seekor cacing (atau ‘jelmaan naga’ dalam versi lain), dan saat kematiannya tiba, keluarlah pelangi dan semerbak wangi dari peti matinya. Lantas, siapakah beliau sebenarnya?
Asal Usul
Syekh Siti Jenar, yang juga dikenal sebagai Syekh Lemah Abang, memiliki banyak versi asal-usul. Namun, terdapat satu versi yang paling legendaris dan menarik. Versi tersebut menyebutkan bahwa ia bukanlah manusia biasa sejak awal, melainkan seekor cacing.
Kisah ini diceritakan saat Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga berada di atas perahu di tengah laut. Ketika perahu bocor, mereka menambalnya dengan tanah merah (lemah abang) yang ternyata di dalamnya ada seekor cacing. Sunan Bonang lantas menyampaikan ajaran tasawuf dan makrifat tingkat tinggi kepada Sunan Kalijaga. Ajaibnya, cacing yang menempel pada perahu itu ikut mendengarkan. Seketika, cacing tersebut menjelma menjadi manusia dewasa yang cerdas dan berilmu tinggi. Karena berasal dari tanah merah, ia diberi nama Syekh Siti Jenar (Siti berarti ‘tanah’, Jenar berarti ‘merah’ atau ‘kuning’).
Kisah ini mungkin terdengar tidak masuk akal sehingga hal ini membuat beberapa sastrawan Jawa menyebutkan bahwa kisah tersebut bukanlah fakta secara harfiah, melainkan cara Kesusastraan Jawa menjelaskan bahwa ilmu spiritual tertinggi tidak mengenal batas kasta atau asal-usul fisik. Siapa pun, bahkan dari asal yang paling rendah (cacing), bisa mencapai derajat pengetahuan tertinggi jika ia mendengarkan dan menghayati ajaran Tuhan.
Kontroversi Syekh Siti Jenar
Selain asal-usulnya yang dianggap aneh, ajaran yang dibawa juga sangat kontroversial sehingga membuat sosoknya menjadi begitu terkenal. Ajaran yang beliau bawa adaalah ajaran Manunggaling Kawula Gusti. Secara harfiah, ini berarti “Bersatunya Hamba dengan Tuhan”.
Berbeda dengan Para Walisongo yang mengajarkan Islam secara bertahap, fokus pada tata cara lahiriah (syariat) seperti salat, puasa, dan zakat, Syekh Siti Jenar mengajarkan bahwa Tuhan itu sudah sangat dekat, bahkan berada di dalam diri manusia itu sendiri. Pemahaman ini bertujuan untuk mencapai kesadaran diri (hakikat) dan budi pekerti luhur.
Sayangnya, ajaran yang sangat mendalam ini sering kali disalahpahami oleh masyarakat awam atau sengaja diinterpretasikan berbeda oleh kelompok yang berkuasa. Ketika Syekh Siti Jenar mengatakan, “Aku adalah Tuhan,” hal ini dianggap menyesatkan (sesat) dan menantang syariat yang sudah ditetapkan oleh Kesultanan Demak dan Walisongo. Sehingga konflik pun tak terhindarkan. [] Moh. Zadidun Nurrohman











